Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dr. Ir. Hetifah Sjaifudian menilai temuan Badan Intelijen Negara BIN bahwa 39 persen mahasiswa di Indonesia terpapar radikalisme, perlu ditindaklanjuti secara serius. Hal senada disampaikan Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Al Masyhari. Keduanya ketika dihubungi VOA Minggu malam (29/4) melalui telepon mengatakan temuan BIN itu mengejutkan dan “harus ditanggapi serius.”
Kepala BIN Budi Gunawan dalam ceramah umum di hadapan Badan Eksekutif Mahasiwa Perguruan Tinggi se-Indonesia di kampus Universitas Wahid Hasyim di Semarang, Sabtu (28/4), mengatakan bahwa 39 persen mahasiswa di Indonesia sudah terpapar paham radikal. Bahkan dalam riset yang dilakukan BIN tahun 2017 itu, ada tiga universitas yang menjadi perhatian khusus karena menjadi basis penyebaran paham radikal tersebut, meskipun tidak disebut nama universitas yang dimaksud tersebut.
Menanggapi hal ini, Hetifah Sjaifudian, yang duduk dalam Komisi X DPR RI, yang ikut mengawasi kinerja Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Kementerian Pariwisata, Kementerian Pemuda dan Olahraga, Perpustakaan Nasional dan Badan Ekonomi Kreatif, mengatakan harus segera ada upaya untuk mendekati mahasiswa yang dinilai telah terpapar ini.
“Generasi muda harus diselamatkan, pendidikan dan peran orang tua membangun pola pikir mereka tidak kalah pentingnya,” ujar Hetifah. Lebih jauh Hetifah mengatakan para mahasiswa ini perlu didekati dan tidak dikucilkan. “Pahami apa sebab dan apa kekecewaan mereka,” ujarnya.
Ketua Komisi I DPR : Segera Libatkan Rektor dan Dosen Antisipasi Temuan BIN
Hal senada disampaikan Ketua Komisi I Abdul Kharis Al Masyhari. Meski sering berkomunikasi dengan Kepala BIN dan perangkat kerja di bawah Komisi I, yang mencakup 17 kementerian/lembaga, termasuk BIN, Abdul Kharis mengatakan baru membaca temuan BIN itu dari media massa.
“Saya belum bisa berkomentar banyak karena baru mengetahui dari media. Saya belum tahu metodologi penelitian yang digunakan, berapa banyak sampel dan apa indikator penelitian sehingga menghasilkan kesimpulan seperti itu,” ujarnya kepada VOA.
Namun demikian jika temuan itu benar, maka “harus ada perhatian lebih serius pada dunia kampus,” tegas Abdul Kharis. Ditambahkannya, “jika kampus menjadi target utama paparan radikalisme, berarti kampus perlu segera dilibatkan, dalam hal ini rektor dan para dosen, untuk memahami seberapa jauh paparan radikalisme itu di kampus. Jangan-jangan mereka juga tidak mengerti karena ini informasi intelijen. Pihak rektor dan pengelola kampus harus diberitahu tentang paparan yang perlu mendapat perhatian lebih serius. Bukan untuk kemudian dibesar-besarkan dan dimusuhi, tetapi untuk dibimbing."
"Jangan jadikan mahasiswa 'musuh' karena mereka ada di lingkungan kampus, lingkungan akademis yang tentunya masih sangat mendengarkan dosen dan pembimbing lain,” imbuhnya.
Kepala BIN : Mahasiswa Jadi Target Cuci Otak Teroris
Dalam ceramah umum di Semarang itu, Kepala BIN Budi Gunawan mengatakan bahwa mahasiswa terbukti menjadi target cuci otak yang kemudian dicekoki pemahaman-pemahaman teroris. “Kampus jadi lingkungan menjanjikan bagi pengusung paham radikal dan menjadikan mahasiswa sebagai target cuci otak dengan memanfaatkan kepolosan mahasiswa,” tegasnya.
Riset BIN tahun 2017 itu juga mendapati bahwa 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA dan sederajat, setuju dengan tegaknya negara Islam di Indonesia.
Upaya memperoleh rincian hasil penelitian BIN ini masih belum membuahkan hasil. [em]