Laporan: UU Penistaan Agama Pakistan Sering Disalahgunakan

Seorang anggota komunitas minoritas Pakistan meneriakkan slogan-slogan selama demonstrasi menentang hukuman seorang pria Kristen atas tuduhan penistaan ​​agama dan mengutuk undang-undang penistaan ​​agama di negara itu, 2 Juli 2024 (foto: dok).

Sebuah laporan baru mendapati bahwa undang-undang penistaan agama Pakistan disalahgunakan secara signifikan, dengan banyak terdakwa menghadapi tuduhan yang tidak berdasar, pertempuran hukum yang berlarut-larut, dan hukuman penjara praperadilan yang panjang sementara hakim berhati-hati untuk menghindari menyinggung kelompok agama.

Yayasan Clooney untuk Keadilan (Clooney Foundation for Justice/CFJ) yang berbasis di AS pada hari Senin (16/9) merilis temuannya setelah memantau 24 gugatan penistaan agama selama enam bulan pada tahun 2022 di Lahore, ibu kota provinsi terpadat di Pakistan, Punjab.

CJF mengatakan 15 terdakwa menghadapi hukuman mati jika terbukti bersalah. Namun, laporan tersebut mengatakan pemantaunya mencatat sedikit kemajuan dalam sebagian besar kasus, dengan 217 dari 252 sidang ditunda, sehingga membuat banyak terdakwa terjebak dalam penahanan praperadilan.

“Laporan ini menunjukkan proses yang penuh dengan penundaan dan ketidakadilan yang signifikan, memperburuk iklim penyalahgunaan, diskriminasi, dan intimidasi yang meluas yang telah berkembang di sekitar hukum penistaan agama Pakistan,” kata Zimran Samuel, pakar hukum CFJ dan profesor tamu di London School of Economics.

“Ketentuan penistaan agama Pakistan dalam bentuknya saat ini dan yang sedang dilaksanakan sangat membutuhkan reformasi dan pertimbangan ulang,” kata Samuel.

BACA JUGA: Pakistan Tangkap Pemimpin Kelompok Radikal yang Ancam Penggal Hakim

Membuat pernyataan yang merendahkan Islam atau Nabi Muhammad di Pakistan yang mayoritas penduduknya Muslim dapat dihukum mati berdasarkan UU penistaan agama negara itu, meskipun tidak seorang pun pernah dieksekusi berdasarkan UU tersebut.

Laporan CFJ mengkritik UU penistaan agama negara tersebut karena tidak konsisten dengan standar internasional, khususnya Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR).

Studi tersebut mencatat bahwa banyak tuduhan penistaan agama tidak memiliki bukti, dan pengadu sering kali tidak menyaksikan tindakan yang dituduhkan. Dalam beberapa kasus, tambah laporan itu, kata-kata penghujatan tertentu bahkan tidak diidentifikasi.

Meskipun ada perlindungan yang berlaku, seperti persyaratan persetujuan pemerintah atas suatu tuduhan, hal itu sering kali diabaikan, demikian tuduhan laporan tersebut. [lt/uh]