Wabah virus corona menciptakan dampak yang berbeda-beda bagi masyarakat. Masyarakat marjinal atau rentan merupakan kelompok yang paling terdampak. Karena itulah, pemerintah didesak memberikan perhatian lebih kepada mereka. Sementara sejauh ini, upaya untuk itu nampak belum terlihat.
Suzanna Eddyono, dosen dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Fisipol UGM menyebut, ada sejumlah kelompok dalam masyarakat yang masuk golongan ini. Mereka antara lain masyarakat miskin, pekerja sektor informal, pekerja migran, pengungsi, perempuan dan anak penyintas KDRT, difabel, masyarakat minim akses internet, mereka yang kekurangan air bersih, hingga mereka yang memperoleh stigma negatif akibat wabah ini seperti tenaga kesehatan dan pasien.
Termasuk di dalamnya juga adalah kelompok masyarakat yang selama ini membutuhkan layanan kesehatan secara rutin.
“Yang paling penting sekarang ini adalah adanya kejelasan informasi di kalangan medis, rumah sakit yang bisa mendorong agar sistem referral-nya itu menjadi jelas. Ketika ada pasien-pasien yang harus cuci darah, harus mendapatkan kemoterapi, harus mendapatkan pengobatan khusus seperti HIV/Aids, bagaimana agar sistem informasi yang ada itu memungkinkan mereka untuk dapat mengakses ini,” papar Suzanna.
Suzanna berbicara dalam diskusi daring bertema "Menyelamatkan Kelompok Marjinal dari Hantaman COVID-19", Selasa (14/4). Turut berbicara dalam acara ini, Hendrie Adji Kuswara dari Pusat Studi Pariwisata UGM dan pengamat sosial politik Hempri Suyatna.
Selain itu, harus dipikirkan pula kemungkinan timbulnya dampak ikutan dari kondisi ini seperti stunting, kekerasan terhadap anak dan perempuan, ketersediaan pangan, akses air bersih serta masalah akses pelayanan kesehatan. Suzanna menambahkan dampak yang dirasakan akibat wabah virus corona sangat bervariasi. Dia menyatakan, akan ada keluarga-keluarga di Indonesia yang jatuh dalam kemiskinan akibat corona. Sementara sebagian keluarga lain cenderung bisa bertahan.
Your browser doesn’t support HTML5
“Kebijakan stay at home, work from home, itu memudahkan adaptasi dan perlindungan diri bagi warga yang memiliki tabungan atau penghasilannya memadai misalnya masih menerima gaji ketika bekerja dari rumah. Ketimbang sebagian besar warga lain yang ada dalam kelompok marjinal,” kata Suzanna.
Dia mengingatkan, pada awal wabah melanda dunia pemerintah Indonesia tidak mengakuinya. Jangan sampai sikap yang sama diambil, dengan abai terhadap kenyataan bahwa ada kelompok masyarakat yang merasakan dampak lebih berat dibanding kelompok lain, terkait wabah corona ini.
Peneliti Pusat Studi Pariwisata UGM, Hendrie Adjie Kusworo memberi contoh nyata, bagaimana wabah ini sudah menghantam sektor pariwisata. Wabah yang menyebar karena interaksi manusia ini berdampak langsung karena wisata adalah kegiatan yang melibatkan interaksi itu. Tidak mengherankan apabila begitu cepat terjadi pemutusan hubungan kerja atau hilangnya potensi bisnis di sektor ini.
Hantaman paling awal diterima oleh mereka yang masuk kelompok bukan penerima upah, seperti penyedia jasa pariwisata. Selain itu juga pekerja harian dan sektor informal terutama di perkotaan.
“Hari ini kita menyaksikan banyak sekali rumah makan, restoran, hotel, penyedia sarana hiburan dan sebagainya mengurangi atau merumahkan karyawannya dan bukan tidak mungkin pada suatu akan melakukan pemutusan hubungan kerja,” kata Adjie.
Masyarakat perkotaan, kata Adjie akan menerima dampak paling cepat dari wabah corona di sektor ekonomi. Pemerintah harus menjaga, agar dampak ini tidak meluas ke pedesaan, terutama di sektor pertanian. Muncul harapan agar dampak ekonominya dapat dibendung agar tidak meluas.
Pemerintah, kata Adjie harus mendasarkan kebijakan yang diambil menurut data yang ada. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) bisa menjadi rujukan, meski membutuhkan pemutakhiran karena wabah dapat merubah kondisi kelompok masyarakat tertentu. Pemerintah juga harus mengatasi hambatan informasi, dimana hal-hal yang lebih teknis dan detail seharusnya dapat disampaikan secara langsung melalui struktur Rukun Tetangga (RT).
“Satu hal yang menurut saya juga sangat penting, adalah adanya jeda waktu antara pengambilan kebijakan dan waktu implementasi di bawah,” kata Adjie.
Apresiasi diberikan kepada pemerintah yang sudah merancang banyak kebijakan, mulai dari relaksasi kredit, pemotongan dan bahkan pembebasan biaya listrik, kartu prakerja dan sejenisnya. Namun, pelaksanaan di lapangan masih ditunggu oleh masyarakat.
Pengamat sosial politik UGM, Hempri Suyatna mengingatkan, lebih dari 1,5 juta orang telah kehilangan pekerjaan akibat wabah ini. Pemerintah harus memiliki stamina yang cukup untuk menahan laju dampak buruknya. Ibarat bermain sepakbola, kata Hempri, saat ini baru masuk babak pertama.
“Babak pertama belum berakhir, babak kedua belum mulai apalagi perpanjangan waktu dan adu penalti. Saya kira ini prosesnya masih panjang dan saya belum melihat skenario besar pemerintah dalam jaring pengaman sosial yang panjang untuk sektor UMKM,” kata Hempri.
Hempri menambahkan, dalam krisis ekonomi 2008 dulu, sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dinilai sebagai penyelamat ekonomi Indonesia. Namun dalam wabah corona kali ini, lanjutnya, sektor ini nampaknya justru menjadi korban.
Hempri meminta pemerintah membuat strategi penanganan jangka panjang. Belum dapat diketahui kapan wabah corona ini akan berakhir. Tentu saja, masih sulit juga memprediksi sampai kapan dampak ekonomi dan proses perbaikan yang dibutuhkan ke depan. [ns/ab]