Terpidana kasus terorisme menyoroti nasib anak istri pelaku terorisme yang mengalami kesulitan ekonomi dan menghadapi stigma teroris.
Terpidana lima tahun penjara kasus terorisme di Medan, Khairul Ghazali, meluncurkan sebuah novel berjudul “Kabut Jihad” yang diterbitkan oleh Pustaka Bayan Bandung. Selain berkisah tentang kasus perampokan CIMB Niaga Medan dan penyerangan Polsek Hamparan Perak pada 2010, novel tersebut juga berisikan makna jihad dalam Islam menurut sang penulis.
“Ini adalah novel yang saya tulis dalam penjara. Dalam sel tiga kali empat meter, seorang diri, saya memahat kata demi kata,” tulisnya dalam halaman awal novel tersebut.
Meski baru menjalani sekitar dua tahun masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, Khairul Ghazali diberi kesempatan oleh Kementrian Politik Hukum dan Keamanan, melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk hadir di acara peluncuran buku karyanya di Jakarta Rabu (20/6).
Selain mengisahkan tentang kehidupan di dalam penjara, ia juga menceritakan nasib anak istri pelaku terorisme yang mengalami kesulitan ekonomi dan selalu dicap teroris di lingkungan mereka.
“Dalam buku ini ada penyesalan, karena ada anak-anak yang jadi yatim dan wanita-wanita yang jadi janda. Itu tanggung jawab siapa? Artinya mereka-mereka yang melakukan [aksi terorisme] ini kan anak-anaknya terlantar. Lalu bagaimana menderitanya seorang wanita yang terstigma teroris di kampungnya dan tidak diterima pekerjaan,” kata Khairul.
Khairul juga menuliskan pemikirannya soal makna jihad, yang menurutnya tidak berhubungan dengan merampok dan membunuh. Menurut ayah dari sembilan orang anak ini, Indonesia bukan medan jihad karena masyarakat masih bebas untuk mencari nafkah dan beribadah.
Menyambut baik penerbitan novel tersebut, kepala BNPT Ansyad Mbay mengatakan lembaga yang dipimpinnya itu mengedepankan pola pendekatan secara halus terhadap para mantan teroris, untuk meredam aksi-aksi radikal di masa mendatang.
“Penerbitan buku seperti ini sangat berarti sekali karena merupakan pencerahan. Di Medan, beliau [Khairul] ini dianggap tokoh ideologis oleh para tokoh teroris itu. Kita harapkan lebih banyak lagi tokoh-tokoh yang bisa muncul seperti itu,” ujar Ansyad.
Psikolog dari Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono melihat belum ada skema nasional konsep deradikalisasi yang melibatkan instansi terkait, seperti Kementrian Agama dan Kementrian Sosial. Ia berharap BNPT dapat melakukan koordinasi lintas instansi.
“Deradikalisasi oleh pemerintah dalam bentuk operasional sejauh ini menurut pendapat saya belum ada. Harus ada sebuah skema nasional yang dilakukan secara menyeluruh kemudian lintas instansi untuk melakukan deradikalisasi. Fungsi BNPT sebagai badan koordinasi harus makin ditingkatkan dan diefektifkan,” ujar Sarlito. (Andylala Walujo)
“Ini adalah novel yang saya tulis dalam penjara. Dalam sel tiga kali empat meter, seorang diri, saya memahat kata demi kata,” tulisnya dalam halaman awal novel tersebut.
Meski baru menjalani sekitar dua tahun masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan, Khairul Ghazali diberi kesempatan oleh Kementrian Politik Hukum dan Keamanan, melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), untuk hadir di acara peluncuran buku karyanya di Jakarta Rabu (20/6).
Selain mengisahkan tentang kehidupan di dalam penjara, ia juga menceritakan nasib anak istri pelaku terorisme yang mengalami kesulitan ekonomi dan selalu dicap teroris di lingkungan mereka.
“Dalam buku ini ada penyesalan, karena ada anak-anak yang jadi yatim dan wanita-wanita yang jadi janda. Itu tanggung jawab siapa? Artinya mereka-mereka yang melakukan [aksi terorisme] ini kan anak-anaknya terlantar. Lalu bagaimana menderitanya seorang wanita yang terstigma teroris di kampungnya dan tidak diterima pekerjaan,” kata Khairul.
Khairul juga menuliskan pemikirannya soal makna jihad, yang menurutnya tidak berhubungan dengan merampok dan membunuh. Menurut ayah dari sembilan orang anak ini, Indonesia bukan medan jihad karena masyarakat masih bebas untuk mencari nafkah dan beribadah.
Menyambut baik penerbitan novel tersebut, kepala BNPT Ansyad Mbay mengatakan lembaga yang dipimpinnya itu mengedepankan pola pendekatan secara halus terhadap para mantan teroris, untuk meredam aksi-aksi radikal di masa mendatang.
“Penerbitan buku seperti ini sangat berarti sekali karena merupakan pencerahan. Di Medan, beliau [Khairul] ini dianggap tokoh ideologis oleh para tokoh teroris itu. Kita harapkan lebih banyak lagi tokoh-tokoh yang bisa muncul seperti itu,” ujar Ansyad.
Psikolog dari Universitas Indonesia Sarlito Wirawan Sarwono melihat belum ada skema nasional konsep deradikalisasi yang melibatkan instansi terkait, seperti Kementrian Agama dan Kementrian Sosial. Ia berharap BNPT dapat melakukan koordinasi lintas instansi.
“Deradikalisasi oleh pemerintah dalam bentuk operasional sejauh ini menurut pendapat saya belum ada. Harus ada sebuah skema nasional yang dilakukan secara menyeluruh kemudian lintas instansi untuk melakukan deradikalisasi. Fungsi BNPT sebagai badan koordinasi harus makin ditingkatkan dan diefektifkan,” ujar Sarlito. (Andylala Walujo)