Dr. Dany Kurniadi Ramdhan, ahli bedah saraf yang memimpin tim EMT MER-C kelima, menggambarkan perjalanan mereka dari Dair Balah ke Rumah Sakit Indonesia di Gaza sebagai perjalanan yang penuh tantangan. Melalui Zoom dari Gaza, Dany menceritakan bagaimana timnya harus melewati berbagai pos pemeriksaan Israel, beberapa di antaranya memakan waktu hingga satu jam sebelum akhirnya diizinkan melanjutkan perjalanan. Akibat banyaknya pos pemeriksaan, jarak sekitar 15 kilometer yang biasanya singkat, harus ditempuh dalam lebih dari enam jam.
Tim EMT MER-C kelima ini mengikuti konvoi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) selama perjalanan tersebut. Namun, menurut Dany, rombongan MER-C berpisah dengan tim WHO di Rumah Sakit al-Ahli di Kota Gaza. Dari sana, tim MER-C pindah ke ambulans dan melanjutkan perjalanan ke Rumah Sakit Indonesia di Bait Lahiya. Tim MER-C tiba di sana sekitar pukul 16.00 waktu setempat pada Jumat (8/8).
Malamnya, empat dokter MER-C sudah menangani beberapa pasien korban pengeboman Israel, termasuk satu bayi meninggal. Ada empat orang mengalami trauma di kepala dan ada pula yang luka karena terkena serpihan bom.
Besok paginya, tim MER-C bertemu pihak manajemen Rumah Sakit Indonesia, termasuk direkturnya, dokter Marwan al-Sultan. Kemudian berkeliling rumah sakit untuk melihat kondisi kerusakan akibat serangan Israel. Secara umum, lanjut Dany, kerusakan di fasilitas itu terbagi dua: struktur bangunan dan sarana prasarana, termasuk alat-alat kesehatan.
Kerusakan struktur bangunan tidak terlalu ekstensif. Kerusakan lebih pada akses ke rumah sakit tersebut karena jalan-jalan dirusak pasukan Israel dengan menggunakan buldoser. Selain itu, banyak bangkai kendaraan berserakan. Kerusakan struktur ini berupa lubang akibat ledakan roket serta bekas kebakaran di lantai tiga dan empat. Secara umum, bangunan Rumah Sakit Indonesia di Gaza masih cukup bagus.
"Setelah kami survei keseluruhan, secara umum yang paling membutuhkan perbaikan segera adalah sumber listrik. Sumber listrik ada dua: panel surya dan generator," ujarnya dalam jumpa pers melalui zoom, Senin (12/8).
Dany menambahkan generator di Rumah sakit Indonesia di Gaza bergantung pada pasokan bahan bakar dari WHO. Badan PBB itu sudah menjanjikan akan menyuplai bahan bakar untuk generator minimum dua minggu sekali. Pasokan ini tergantung situasi. Kalaupun ada, jumlahnya belum tentu mencukupi.
Ia menutukan, dari semua panel surya yang dipasang di atap Rumah Sakit Indonesia di Gaza, yang masih berfungsi mungkin seperlimanya. Sisanya rusak akibat tembakan peluru dan ledakan. Dany menegaskan bahwa sumber listrik di Rumah Sakit Indonesia di Gaza mesti segera diperbaiki karena sangat vital bagi operasional rumah sakit.
BACA JUGA: Fasilitas Medis Utama Ditutup, Pasien Padati RS Indonesia di Kota GazaMenurutnya, Rumah Sakit Indonesia di Gaza tetap beroperasi, bahkan tetap berjalan meski listrik mati saat mengoperasi pasien. Selain itu, karena daya listrik naik turun, peralatan medis di sana cepat rusak.
Dany menjelaskan sebagian laboratorium di Rumah Sakit Indonesia masih bisa diselamatkan, tetapi beberapa tidak berfungsi karena rusak. Alat-alat pelengkap seperti CT Scan rusak dan alat USG hanya satu yang masih berfungsi. Alat-alat medis sekali pakai juga sudah habis, seperti implant ortopedi dan implant tulang belakang.
Dia menyebutkkan yang perlu dipikirkan adalah pegawai Rumah Sakit Indonesia adalah 80 persennya belum dibayar berbulan-bulan. Jika perang berkepanjangan, isu ini dapat menimbulkan masalah. Dany mengatakan tiap hari dokter dan karyawan Rumah Sakit Indonesia pulang pergi bekerja dengan berjalan kaki. Karena itu, MER-C akan menyumbang satu bus untuk transportasi mereka.
Petugas penghubung EMT MER-C, Marissa Noriti, menjelaskan tim kelima MER-C ini memang akan ditugaskan untuk mendukung pelayanan di Rumah Sakit Indonesia. Selain menempatkan tim medis, MER-C juga memiliki sejumlah program di Gaza, termasuk rencana mendirikan pusat layanan kesehatan di Rumah Sakit Nasser atas permintaan Kementerian Kesehatan Palestina.
Bantuan obat-obatan dan medis MER-C, lanjut Marissa, akan masuk ke Gaza melalui perlintasan Karem Shalom. Sedangkan pasokan dikirim lewat Yordania akan dikhususkan bagi Rumah Sakit Indonesia di Gaza.
Saat ini terdapat sembilan relawan MER-C di Gaza, terdiri dari lima dokter, tiga relawan nonmedis, dan satu petugas penghubung EMT MER-C. Marissa menjelaskan Rumah Sakit Indonesia kembali beroperasi Juni lalu setelah bulan sebelumnya pasukan Israel membakar lantai tiga dan empat rumah sakit. Hingga kini, layanan rumah sakit, meski terbatas, sudah bisa membantu warga Gaza dengan kapasitas 67 tempat tidur.
Sampai sekarang, katanya, okupansi tempat tidur Rumah sakit Indonesia sudah 150 persen, sehingga ada kasur-kasur tambahan yang diletakkan di lantai. Karena itu, sangat darurat untuk meningkatkan kapasitas ranjang perawatan. Tim Mer-C akan bertugas sekitar satu bulan di RS Indonesia untuk membantu pelayanan medis bagi pasien serta pemeriksaan lanjutan kondisi RS Indonesia.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) masih memiliki utang untuk memerdekakan bangsa Palestina.
“Saya ingatkan kembali bahwa dalam Arab Peace Initiative dan berbagai keputusan OKI, disebutkan bahwa perdamaian dengan Israel hanya akan dilakukan jika Israel menghentikan pendudukan terhadap Palestina,” ujar Retno.
“Sikap tersebut telah mengirim pesan yang sangat kuat bahwa tanpa kemerdekaan Palestina, tidak akan ada hubungan diplomatik dengan Israel. Dengan tegas, saya ingatkan bahwa keputusan dan pesan tersebut sudah seharusnya dipertahankan secara konsisten,” imbuhnya.
Menurut Retno, terwujudnya gencatan senjata di Gaza sangat penting untuk bisa menghentikan jatuhnya korban dan penderitaan warga Gaza. Gencatan senjata itu dapat menciptakan situasi kondusif bagi berlangsungnya perundingan menuju solusi dua negara. [fw/ka]