Tiga Tahun Berlalu, KontraS Nilai Jokowi Gagal Total Reformasi Kepolisian

Para aparat kepolisian tampak melindungi diri mereka dengan tameng ketika melakukan pengamanan dalam aksi unjuk rasa penentangan terhadap Undang-undang Omnibus di Jakarta, pada 13 Oktober 2020. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

KontraS menyoroti tiga tahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin yang dinilai tidak pernah melakukan reformasi Polri.

Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar mengatakan lembaganya masih menemukan sejumlah masalah serius di tubuh Polri. Masalah-masalah itu antara lain penggunaan senjata api, salah tangkap, rekayasa kronologis, dan penghilangan barang bukti. Contoh-contoh kasus yang paling mencolok mata adalah pembunuhan Brigadir J yang melibatkan mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo dan Tragedi Kanjuruhan.

Menurutnya, kasus-kasus ini melibatkan pejabat tinggi di kepolisian. Namun, kata dia, Presiden Joko Widodo terkesan lepas tanggung jawab dan tidak mengevaluasi kinerja kepolisian.

"Reformasi di tubuh kepolisian adalah keniscayaan. Tetapi keniscayaan ini harus didukung penguatan pengawasan," jelas Rivanlee di Jakarta, Kamis (20/10/2022).

BACA JUGA: Institusi Polri Semakin Tercoreng, Akankah Kepercayaan Publik Terkikis?

Rivanlee menambahkan perbaikan di tubuh Polri tidak boleh berpatokan pada citra semata, melainkan juga pada kinerja dan akuntabilitas publik. Karena itu, kata dia, pengawasan terhadap Polri perlu diperkuat.

Menurut Rivan, terdapat tiga lembaga eksternal di bawah presiden yang dapat mengawasi dan memperbaiki Polri yaitu Komnas HAM, Ombudsman dan Kompolnas. Namun, ia menilai, ketiga lembaga ini belum cukup mampu memperbaiki dan mereformasi Polri.

"Ini harus dicari ruang-ruang pengawasan eksternal yang fokus kepada satu institusi Polri sendiri," tambah Rivan.

Selain itu, Rivanlee menjelaskan persoalan-persoalan di tubuh kepolisian telah merugikan masyarakat. Ini setidaknya tergambar dari maraknya #PercumaLaporPolisi sebagai bentuk kritik masyarakat kepada Polri sejak Oktober 2021 lalu. Belum lagi, persoalan-persoalan terbaru seperti kasus narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa dan penembakan anggota FPI pada akhir 2020.

Divisi narkotika Polda Metro Jaya bersiap untuk memusnahkan narkoba yang terdiri dari 362,45 kilogram sabu, 1.052.000 butir ekstasi, dan 118,27 kilogram ganja di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng 5 Juli 2012. (Foto: REUTERS/Supri)

Presiden Minta Polisi Menjadi Sederhana

Di lain kesempatan, Menko Polhukam Mahfud MD memaklumi kritik publik kepada institusi Polri seiring dengan berbagai kasus yang muncul di tubuh kepolisian. Namun, ia juga meminta publik untuk melihat kasus-kasus ini dengan perspektif lain, yaitu kasus ini dapat terbongkar karena ketegasan Kapolri.

Menko Polhukam Moh. Mahfud MD

"Mungkin kita bisa kita lihat sebaliknya untuk mendukung Polri bersemangat. Karena semua yang terjadi ini justru merupakan langkah ketegasan Polri untuk mereformasi diri," jelas Mahfud MD secara daring melalui Youtube Kemenko Polhukam pada Sabtu (15/10/2022).

Ia meyakinkan bahwa kasus Teddy Minahasa yang tersandung kasus Narkoba membuktikan bahwa Polri telah berbenah. Sebab, kata dia, polisi bisa saja menutupi kasus tersebut tanpa sepengetahuan publik. Namun, hal tersebut tidak dilakukan Kapolri dan membuka kasusnya dengan terang ke masyarakat.

BACA JUGA: Pakar: Reformasi Polri Harus Dilakukan Pihak Eksternal

Selain itu, kata Mahfud, Presiden Joko Widodo juga telah memberi arahan kepada Polri agar personelnya hidup sederhana dan tidak sewenang-wenang kepada masyarakat.

"Marilah Polri kita bangun sebagai polisi rakyat yang sederhana bersama kehidupan rakyat, tidak pongah, tidak sewenang-wenang, tidak hedonis, tidak berlebihan dalam hidup," tambah Mahfud.

Your browser doesn’t support HTML5

Tiga Tahun Berlalu, KontraS Nilai Jokowi Gagal Total Reformasi Kepolisian


Kendati demikian, Mahfud menegaskan tidak ingin menghalangi kritik dari masyarakat soal kepolisian. [sm/ab]