Rencana pemerintah memberlakukan tiket naik Candi Borobudur, Rp750 ribu untuk wisatawan lokal dan $100 untuk wisatawan asing, dapat dipahami sebagai upaya konservasi terhadap bangunan berusia lebih dari 1.250 tahun itu. Namun, pakar mengingatkan fungsi edukasinya harus tetap dijaga dengan menetapkan tiket yang terjangkau.
Pengamat pariwisata dari Sekolah Vokasi UGM, Ghifari Yuristiadi, meminta konsep pengelolaan candi Borobudur ke depan diterapkan melalui jalan tengah lebih baik. Pembatasan akses naik ke candi bisa dipahami, tetapi fungsi edukasi kawasan ini juga harus tetap diterapkan.
“Sekarang saja, dengan pembatasan akses ke atas, sebetulnya daya tarik Borobudur bagi sebagian wisatawan sudah agak berkurang. Namun, itu bisa dimaklumi karena untuk konservasi. Kita tahu, dari penelitian arkeolog memang ada aus terutama di bagian tangga Borobudur,” kata Ghifari kepada VOA, Minggu (5/6).
Ghifari menyebut, akses bagi wisatawan agar tetap bisa masuk area Borobudur meski tidak naik ke candi adalah salah satu jalan tengah. Namun, tiket untuk naik ke candi, seyogyanya ditetapkan pada besaran harga yang terjangkau.
BACA JUGA: Harga Tiket Candi Borobudur Untuk Turis Lokal Bakal Meroket ke Rp750 RibuGhifari mengingatkan, Candi Borobudur tidak bisa dilihat hanya sebagai kawasan milik pemerintah. Di dalamnya juga ada kepentingan publik, untuk bisa menikmati, belajar sekaligus mewarisi pesan dari cagar budaya tersebut. Karena itu, sekali lagi dia mengatakan, tiket untuk naik ke candi seharusnya cukup terjangkau.
“Borobudur dan Prambanan memang sebagai world heritage, tetapi di sisi lain adalah andalan biro perjalanan wisata, ketika menawarkan paket wisata ke Yogya dan sekitarnya,” tambahnya.
Salah satu jalan tengah yang bisa diambil, menurut Ghifari, adalah perbedaan akses seperti saat ini. Seperti konsep terbaru, pengunjung tetap bisa masuk ke area candi, tetapi tidak naik ke atas. Dibutuhkan biaya tambahan untuk naik ke candi, meski dengan catatan relatif terjangkau.
Jalan lain adalah penambahan fasilitas untuk meningkatkan pemasukan pengelola. Misalnya dengan menyediakan kendaraan di dalam kompleks candi, bagi wisatawan yang tidak mau berjalan jauh.
Prinsipnya, harus dipahami ada di luar soal candi, ada ribuan usaha kecil dan menengah di kawasan itu yang sangat mengandalkan mass tourism. Dalam perubahan konsep apapun, perhatian tetap harus diberikan kepada pelaku usaha ini, karena mereka bergantung pada kedatangan wisatawan dalam jumlah besar. Jika ditetapkan harga naik ke candi tinggi dan kemungkinan terjadi penurunan jumlah kunjungan, harus dihitung dampak ke kelompok usaha ini.
Ghifari merekomendasikan pemberlakuan uji coba terkait penetapan besaran baru naik ke candi Borobudur ini.
“Kalau memang mau diberlakukan, dilakukan uji coba dulu, saya kita enggak apa-apa. Dengan harga Rp 750 ribu, tetapi boleh naik hingga ke area Arupadhatu, dalam jumlah wisatawan tertentu. Kemudian bisa dihitung, faktor resiko atas cagar budaya ini,” tandasnya.
Pemerintah juga harus mempertimbangkan daya tarik tempat wisata di zona tiga, atau yang berada di luar pagar kawasan candi Borobudur. Apakah destinasi ini, misalnya Balkondes di desa-desa yang ada, sudah cukup mampu memiliki daya tari, tanpa memperhitungkan peran candi Borobudur.
Jika isunya adalah upaya pelestarian, Ghifari menekankan penting juga mengedukasi wisatawan untuk turut menjaga Borobudur selama berkunjung.
Tiket Mahal untuk Pelestarian
Selama dua tahun terakhir, kawasan inti candi Borobudur memang tertutup untuk pengunjung. Wisatawan hanya dapat menikmati candi dari area pelataran atau halaman. Dalam kunjungannya pada Januari 2022 lalu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Salahuddin Uno menyebut, akses naik candi akan segera dibuka, dengan pembatasan jumlah wisatawan yang bisa naik. Pemakaian sandal khusus juga akan diwajibkan untuk merawat batu candi.
Nampaknya, dalam waktu dekat apa yang disampaikan Sandi itu akan terwujud. Namun, seperti disampaikan dalam unggahan di akun pribadinya, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan menyebut harga tiket yang cukup tinggi untuk akses ke atas candi.
“Kami juga sepakat dan berencana untuk membatasi kuota turis yang ingin naik ke Candi Borobudur sebanyak 1.200 orang per hari, dengan biaya $100 untuk wisman dan turis domestik sebesar Rp750 ribu,” kata Luhut.
Khusus untuk pelajar, harga tiket justru lebih murah dari yang diberlakukan saat ini, yaitu Rp25 ribu diturunkan menjadi Rp 5 ribu.
“Sedangkan untuk masuk ke kawasan candi akan akan tetap mengikuti harga yang sudah berlaku,” kata Luhut.
Unggahan Luhut di laman media sosialnya ini sempat menjadi pro-kontra, karena disalahpahami sebagai kenaikan harga tiket masuk. Padahal sebenarnya, pemerintah menerapkan dua sistem tiket, yaitu tiket masuk dengan besaran seperti saat ini berlaku, dan tiket naik candi sebagai skema baru. Tiket naik candi diberlakukan, sekaligus untuk membatasi jumlah wisatawan yang dapat mengakses bagian atas candi Borobudur.
Memahami bahwa unggahan tersebut mengundang kegaduhan di antara netizen, Luhut memberikan keterangan tertulis pada Minggu (5/6). Ia mengaku memahami kekhawatiran dan masukan yang muncul dari masyarakat mengenai tarif untuk turis lokal yang dianggap terlalu tinggi.
“Saya mendengar banyak sekali masukan masyarakat hari ini terkait dengan wacana kenaikan tarif untuk turis lokal. Karena itu nanti saya akan minta pihak-pihak terkait untuk segera mengkaji lagi supaya tarif itu bisa diturunkan. Saya sampaikan terima kasih kepada semuanya atas perhatian yang begitu besar kepada warisan budaya kebanggaan kita semua ini,” terang Luhut, sambil menegaskan keputusan tarif wisman dan siswa sudah final.
BACA JUGA: Upacara Waicak di Candi Borobudur Terimbas PandemiPada kesempatan tersebut, Luhut menjelaskan kebijakan ini diambil semata-mata demi menjaga kelestarian kekayaan sejarah dan budaya Nusantara. Organisasi pendidikan, keilmuan dan kebudayaan PBB, UNESCO, kata Luhut telah mencatat adanya penurunan candi. Kondisi situs bersejarah itu saat ini mulai mengalami pelapukan. Selain itu, perubahan iklim, erupsi gunung berapi, gempa bumi, juga menjadi tantangan tersendiri. Penelitian sejumlah ahli juga menyimpulkan kondisi yang sama.
“Belum lagi perilaku pengunjung yang suka melakukan vandalisme, menyelipkan benda tertentu di sela-sela batu candi, membuang sampah sembarangan, dan yang lebih parah adalah tidak bisa menghargai Candi Borobudur sebagai situs umat Buddha. Ini semua kan perlu penanganan khusus,” ujar Luhut.
Pemberlakuan Dua Tiket
Pelaku wisata melihat, angka Rp750 ribu untuk wisatawan Nusantara dan $100 untuk wisatawan asing sebenarnya cukup masuk akal untuk tiket naik candi. Namun, tiket masuk kawasan candi, tetap harus murah. Pendapat itu disampaikan pengelola Balai Ekonomi Desa (Balkondes) Ngadiharjo, Ahmad Syaiful Huda EM ketika dihubungi VOA.
“Yang Rp750 ribu itu tiket yang khusus bisa naik ke atas mungkin masuk akal, jadi yang tetap di bawah, yang di pelataran itu tetap tiketnya Rp50 ribu. Kalau dia benar-benar mau naik ke atas seperti dulu, bisa jadi tiket Rp750 ribu, itu masuk akal. Kalau menurut saya,” kata Huda, Minggu (5/6).
Itu artinya, kata Huda, akan diberlakukan dua harga tiket untuk dua fasilitas yang berbeda. Wisatawan yang membayar Rp 750 ribu memiliki akses lebih banyak, dibanding mereka yang membayar dengan harga lama. Huda meminta, harga tiket masuk yang tanpa fasilitas naik ke candi, sebaiknya tidak berubah, atau meski naik angkanya tetap terjangkau.
“Kalau menurut saya, sebenarnya harga tiket masuk Rp50 ribu yang terakhir itu ideal. Kalau mau dinaikkan saya pikir di angka Rp75 ribu,” kata Huda.
BACA JUGA: Pengembangan Destinasi Wisata dan Upaya Pelestarian LingkunganHuda mengingatkan, pasca pelonggaran yang diterapkan saat ini, jumlah wisatawan ke Candi Borobudur dan sekitarnya baru beranjak naik. Meski belum kembali ke angka seperti sebelum pandemi, pelaku wisata bersyukur kondisi sudah jauh lebih ideal. Mereka meminta, wacana yang disampaikan Luhut tidak mengganggu upaya menaikkan kembali kunjungan wisatawan itu.
Huda juga mengakui, ada dua kemungkinan jika harga tiket naik candi ditetapkan tinggi.
“Bisa jadi nanti candi sepi, sekitar candi wisatanya ramai, itu yang pertama. Yang kedua, yang saya khawatirnya itu ketika naik candinya mahal, berarti tidak ada pengunjung yang datang ke candi. Akhirnya KSPN yang digadang-gadangkan jadi itu malah tidak berhasil,” kata Huda.
KSPN adalah Kawasan Strategis Pariwisata Nasional, proyek nasional di sektor pariwisata dengan mengembangkan satu kawasan secara terintegrasi. Borobudur menjadi salah satu kawasan dalam skema ini, antara lain dengan pembangunan belasan Balkondes di sekitarnya. Balkondes adalah pusat wisata desa, yang menjadi pusat kuliner, penginapan dan atraksi.
Di antara dua kemungkinan yang dipaparkan Huda di atas, dia menilai kemungkinan kedua lebih besar terjadi. Bagaimanapun, magnet utama kawasan itu adalah Candi Borobudur.
“Kalau orang tidak datang ke candi, lingkungan sekitarnya sepi,” ujarnya. [ns/ah]