Penelitian awal menunjukkan, hampir seluruh pihak di kawasan bencana mengalami stress akibat erupsi Sinabung yang telah berlangsung selama lima bulan.
YOGYAKARTA —
Tim gabungan pakar berbagai bidang keilmuan yang dikirimkan Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, ke wilayah sekitar Gunung Sinabung, Sumatera Utara, melaporkan bahwa tingkat stress dan depresi di kalangan pengungsi gunung berapi cukup tinggi.
Dalam pertemuan dengan pers Selasa (4/2) di Yogyakarta, tim tersebut mengatakan pemerintah memerlukan perencanaan jangka panjang untuk para pengungsi, serta program bantuan yang harus disusun dengan tinjauan multi disiplin ilmu.
Kajian harus dilakukan dari sisi kebencanaan sendiri, ekonomi, pertanian, sosiologi, hingga psikologi, menurut para pakar tersebut. Bencana ini, meskipun tidak ditetapkan berskala nasional, menurut mereka, sebenarnya memiliki dimensi yang sangat kompleks. Masyarakat Tanah Karo dan sekitarnya mengalami guncangan emosional luar biasa, karena dalam ingatan mereka, Gunung Sinabung tidak pernah menjadi sumber bencana.
Menurut salah satu tim pakar dari UGM, Prof. Dr. Langkah Sembiring, masyarakat dan pemerintah daerah setempat sama sekali tidak siap menghadapi bencana ini. Jumlah pengungsi pun kini telah mencapai lebih 30 ribu orang, karena banyak warga yang tinggal di zona aman juga mengungsi karena ketakutan, ujarnya.
“Akibatnya, pengungsi ini banyak karena takut. Apalagi masyarakat Karo tidak punya ingatan kolektif tentang nomenklatur-nomenklatur tentang letusan gunung api. Istilah awan panas itu tidak dikenal di sana, begitupun istilah lava pijar, istilah lahar dingin, mereka tidak kenal,” ujar Sembiring.
“Pengungsi itu sebenarnya dari segi kecukupan pangan mungkin tidak ada masalah, kemudian juga selimut, pakaian, obat-obatan, maupun tempat. Masalah mereka adalah karena sudah tinggal di pengungsian masuk bulan kelima. Jadi tingkat kejenuhan di pengungsian itu sudah cukup tinggi, sehingga stress, sensitif bahkan di antara mereka ada yang saling berkelahi.”
Tim pakar dari UGM juga merekomendasikan program padat karya bagi pengungsi tidak meninggalkan profesi asal mereka sebagai petani. Pemerintah sebaiknya tidak mempekerjakan pengungsi ini dalam proyek pembuatan gorong-gorong, membersihkan selokan atau membuat kerajinan, ujar mereka. Para pengungsi telah mengajukan penolakan karena keahlian mereka adalah bertani sehingga program padat karya harus dipilihkan di sektor pertanian.
Dekan Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Supra Wimbarti menekankan, pemerintah harus segera memberikan perhatian kepada para pengungsi dari sisi psikologis. Tim UGM telah menemukan data bahwa ada salah satu pengungsi yang hendak bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban. Tanpa penanganan lebih serius, kasus semacam ini akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
“Ini yang terjadi sekarang adalah masalah psikososial yang sudah lima bulan dan mencakup 30 ribu pengungsi. Dari bayi, anak-anak, remaja, orang tua, sangat tua…itu ada semua. Itu permasalahannya yang sudah kami tengarai adalah gejala stress karena banyak yang kehilangan. Pegangan mereka yang bisa untuk hidup itu tanah pertanian, ternak, itu sudah tidak ada semua. Rumah tidak tahu bisa ditinggali lagi atau tidak. Keluarga ada yang meninggal. Kemudian gejala depresi juga sudah ditengarai oleh psikolog disana, bahwa ada yang sudah melakukan percobaan bunuh diri karena tidak bisa menerima cobaan yang mereka rasakan sangat amat berat,” ujarnya.
Dalam waktu dekat, UGM juga akan mengirimkan sejumlah mahasiswa psikologi untuk melakukan pendampingan selama satu bulan di lokasi bencana. Tidak hanya para pengungsi, tim UGM juga akan memberikan pendampingan psikologis kepada para relawan dan aparat pemerintah daerah setempat.
Hal ini diperlukan, menurut mereka, karena penelitian awal menunjukkan, hampir seluruh pihak di kawasan bencana mengalami stress akibat erupsi Sinabung yang telah berlangsung selama lima bulan.
Dalam pertemuan dengan pers Selasa (4/2) di Yogyakarta, tim tersebut mengatakan pemerintah memerlukan perencanaan jangka panjang untuk para pengungsi, serta program bantuan yang harus disusun dengan tinjauan multi disiplin ilmu.
Kajian harus dilakukan dari sisi kebencanaan sendiri, ekonomi, pertanian, sosiologi, hingga psikologi, menurut para pakar tersebut. Bencana ini, meskipun tidak ditetapkan berskala nasional, menurut mereka, sebenarnya memiliki dimensi yang sangat kompleks. Masyarakat Tanah Karo dan sekitarnya mengalami guncangan emosional luar biasa, karena dalam ingatan mereka, Gunung Sinabung tidak pernah menjadi sumber bencana.
Menurut salah satu tim pakar dari UGM, Prof. Dr. Langkah Sembiring, masyarakat dan pemerintah daerah setempat sama sekali tidak siap menghadapi bencana ini. Jumlah pengungsi pun kini telah mencapai lebih 30 ribu orang, karena banyak warga yang tinggal di zona aman juga mengungsi karena ketakutan, ujarnya.
“Akibatnya, pengungsi ini banyak karena takut. Apalagi masyarakat Karo tidak punya ingatan kolektif tentang nomenklatur-nomenklatur tentang letusan gunung api. Istilah awan panas itu tidak dikenal di sana, begitupun istilah lava pijar, istilah lahar dingin, mereka tidak kenal,” ujar Sembiring.
“Pengungsi itu sebenarnya dari segi kecukupan pangan mungkin tidak ada masalah, kemudian juga selimut, pakaian, obat-obatan, maupun tempat. Masalah mereka adalah karena sudah tinggal di pengungsian masuk bulan kelima. Jadi tingkat kejenuhan di pengungsian itu sudah cukup tinggi, sehingga stress, sensitif bahkan di antara mereka ada yang saling berkelahi.”
Tim pakar dari UGM juga merekomendasikan program padat karya bagi pengungsi tidak meninggalkan profesi asal mereka sebagai petani. Pemerintah sebaiknya tidak mempekerjakan pengungsi ini dalam proyek pembuatan gorong-gorong, membersihkan selokan atau membuat kerajinan, ujar mereka. Para pengungsi telah mengajukan penolakan karena keahlian mereka adalah bertani sehingga program padat karya harus dipilihkan di sektor pertanian.
Dekan Fakultas Psikologi UGM, Prof. Dr. Supra Wimbarti menekankan, pemerintah harus segera memberikan perhatian kepada para pengungsi dari sisi psikologis. Tim UGM telah menemukan data bahwa ada salah satu pengungsi yang hendak bunuh diri akibat tidak kuat menanggung beban. Tanpa penanganan lebih serius, kasus semacam ini akan terus terjadi dalam beberapa waktu ke depan.
“Ini yang terjadi sekarang adalah masalah psikososial yang sudah lima bulan dan mencakup 30 ribu pengungsi. Dari bayi, anak-anak, remaja, orang tua, sangat tua…itu ada semua. Itu permasalahannya yang sudah kami tengarai adalah gejala stress karena banyak yang kehilangan. Pegangan mereka yang bisa untuk hidup itu tanah pertanian, ternak, itu sudah tidak ada semua. Rumah tidak tahu bisa ditinggali lagi atau tidak. Keluarga ada yang meninggal. Kemudian gejala depresi juga sudah ditengarai oleh psikolog disana, bahwa ada yang sudah melakukan percobaan bunuh diri karena tidak bisa menerima cobaan yang mereka rasakan sangat amat berat,” ujarnya.
Dalam waktu dekat, UGM juga akan mengirimkan sejumlah mahasiswa psikologi untuk melakukan pendampingan selama satu bulan di lokasi bencana. Tidak hanya para pengungsi, tim UGM juga akan memberikan pendampingan psikologis kepada para relawan dan aparat pemerintah daerah setempat.
Hal ini diperlukan, menurut mereka, karena penelitian awal menunjukkan, hampir seluruh pihak di kawasan bencana mengalami stress akibat erupsi Sinabung yang telah berlangsung selama lima bulan.