Ke-26 anggota tim mengambil bagian dalam latihan pertama mereka di kompleks "City of Football" di ibu kota Portugal itu.
"Kami sangat senang dan ketika kami melihat lapangan bola, kami tidak percaya kalau kami bisa bermain sepak bola lagi. Salah seorang teman saya berkata kepada saya, 'hei, Banin aku tidak bisa tidur. Saya katakan, ‘ya ini benar, sungguh.' Kami dapat melanjutkan pendidikan dan sepak bola lagi di sini," kata Omul Banin Ramzi, gadis remaja Afganistan pemain sepakbola berusia 15 tahun.
Federasi Sepak Bola Portugal berperan aktif dalam menampung para pemain, yang semuanya diberi suaka oleh pemerintah negara itu, dan menempatkan mereka di lokasi baru mereka di Lisbon.
Omul Banin Ramzi pemain di tim yunior menambahkan: "Ketika kami masuk ke sini dan Federasi Sepakbola Portugis, semua orang sangat ramah. Di Afganistan mereka tidak berperilaku baik kepada kami."
Banin menceritakan kepada kantor berita Associated Press, ia berterima kasih bisa bermain sepakbola di Portugis dan merasa "berbahaya" bermain olahraga yang digemarinya itu di bawah aturan Taliban di Afghanistan.
Banin Ramzi juga mengatakan, ia takut akan keselamatan orangtuanya yang masih tinggal di Tanah Airnya.
Seorang teman Banin, yang juga berusia 15 tahun, Nakisa Amiri mengatakan, ada "rasa gembira" ketika timnya melihat sarana pelatihan di Lisbon untuk pertama kalinya.
“Di Afghanistan kami adalah tim nasional dan kami saling mengenal dengan akrab. Pemain tim nasional Afghanistan di bawah usia 17 tahun. Sebagian dari mereka baru dan seperti saya dan Banin, kami tiga tahun bermain untuk tim nasional," katanya.
Sejak pengambilalihan Taliban atas Afghanistan pada Agustus, ada kekhawatiran tentang bagaimana kelompok itu akan memperlakukan perempuan di negara itu.
BACA JUGA: Lagi, Sejumlah Perempuan Protes Hak-Hak Bekerja dan Sekolah di Afghanistan"Olahraga bukan untuk anak perempuan, mereka tidak bisa melakukan semua yang bisa dilakukan anak laki-laki. Mereka mengatakannya seperti itu, bahkan mereka tidak boleh pergi berbelanja, mereka tidak bisa berjalan-jalan. Orang lain tidak boleh melihat wajah mereka, bahkan berbicara dengan orang di jalan," kata Nakisa Amiri .
Temannya, Omul Banin Ramzi menambahkan: "Di kota kami, semua orang tahu bahwa saya adalah pemain sepak bola. Semua orang tahu, itu sangat berbahaya bagi kami. Saya lolos dari Taliban. Sungguh, Taliban sangat berbahaya bagi kami. Semua orang tahu kalau kami pemain sepak bola dan suatu hari mereka akan membunuh kami dalam satu menit. Saya dan keluarga saya."
Selama pemerintahan Taliban sebelumnya di Afghanistan pada 1990-an, anak perempuan dan perempuan tidak diberi hak atas pendidikan dan dilarang tampil dalam kehidupan publik.
"Ketika kami berada di kota Kabul dan Taliban datang, kami harus melarikan diri dan bersembunyi di suatu tempat, provinsi lain, provinsi Mazar-i-Sharif. Kami bersembunyi di tempat itu selama 20 hari dan bahkan tidak bisa ke luar. Hanya dalam satu kelompok dan satu kamar, kami makan dan tidur. Kami bahkan tidak bisa berjalan, dan tidak bisa bertemu keluarga kami. Separuh dari keluarga kami, tinggal di Afghanistan sampai sekarang. Ibu dan ayah serta tiga adik laki-laki di Afghanistan. Setiap hari saya menelepon, video-call... Saya datang dengan kakak laki-laki dan perempuan saya," papar Nakisa Amiri.
Omul Banin Ramzi menambahkan: "Sayangnya, mereka di Afghanistan. Ibu dan adik perempuan saya di Afghanistan. Hanya saya dengan saudara laki-laki saya ke sini, atau ayah dan paman saya karena setiap pemain mempunyai hak untuk memiliki pendamping yang mewakili dirinya."
"Kami melihat para gadis bisa bermain lebih baik dan kami sangat bahagia. Tetapi ketika kami berada di negara kami, tersenyum saja kami tidak bisa. Meskipun kami tertawa sepanjang waktu, kami menangis di dalam hati karena situasi yang buruk di negara kami," tambahnya. [ps/jm]