Gugus Tugas Percepatan dan Penanganan Covid-19 seringkali menyebut kelompok usia di atas 50 tahun paling banyak meninggal akibat virus corona. Padahal risiko kematian pada anak-anak pun sama besarnya.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Pulungan kepada VOA mengatakan, tingkat kematian anak akibat virus ini di Tanah Air, merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. “Kalau dibanding negara lain, kita paling tinggi (tingkat kematian), dibandingkan Singapura, Malaysia, Vietnam,” ujarnya.
Berdasarkan data yang diperolehnya hingga 18 Mei lalu, jumlah anak yang positif Covid-19 di Indonesia mencapai 584 kasus. Sementara untuk jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) anak tercatat kurang lebih 3.400. Jumlah kasus konfirmasi positif anak yang meninggal sejauh ini mencapai 14 anak. Adapun PDP anak yang meninggal sebanyak 129.
Lalu, mengapa tingkat kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia tertinggi di ASEAN? Menurut Aman, hal ini dikarenakan tingkat pemeriksaan atau deteksi dini pada anak yang masih relatif rendah. Sampai detik ini, ia tidak pernah melihat pemerintah melakukan pemeriksaan khusus untuk anak. Anak, hanya akan diperiksa kalau orang tuanya terbukti positif virus corona.
“Karena memang jumlah anak yang diperiksa paling sedikit kan, dan banyak yang di screening di mall, kantor, asrama, pasar, bandara, anak-anak kan tidak masuk yang di screening. Jadi anak-anak yang kita periksa itu adalah anak-anak yang memang sudah ada gejala. Atau kalau misalnya orang tuanya ada gejala baru (diperiksa). Jadi tidak ada, karena kalau misalnya anak batuk pilek kan tidak semuanya langsung diperiksa kan,” jelasnya.
BACA JUGA: Komisioner KPAI: Siswa dan Orang Tua Beda Sikap Soal Masuk SekolahLebih jauh, sampai saat ini ia juga kerap melihat anak-anak masih bermain dan berkeliaran di luar rumah. “Anak kita masih banyak berkeliaran di luar sekarang, kecuali anak-anak yang memang mengikuti petunjuk orang tuanya. Tapi saya melihat di kompleks perumahan atau di daerah pinggiran Jakarta itu anak-anak masih di luar,” imbuhnya.
KPAI: Peran Orang Tua Sangat Penting dalam Mencegah Anak ke Luar Rumah
Dihubungi secara terpisah, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan tidak dapat dipungkiri bahwa kebosanan akan melanda anak setelah berada di rumah selama dua bulan ini. Oleh karena itu peran orang tua sangat penting untuk mengawasi sang anak ketika mereka, misalnya bermain di luar rumah, dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
“Tapi tentu saran kita, di samping soal sosialisasi terus menerus dikasih pemahaman secara baik kepada anak-anak. Tentu dipastikan pengawasan orang tua terkait protokol kesehatan ini kan bisa jalan, mislanya ketika anak berada di rumah tetap pakai masker, ketika anak berada di depan rumah bagaimana memastikan ketika dia memegang sesuatu setelah itu dia cuci tangan,” jelasnya kepada VOA.
Ditambahkannya, protokol kesehatan sedianya juga mudah dipahami anak-anak.
Senada dengan IDI, Jasra Putra setuju untuk melakukan tes masif bagi anak sehingga dapat membantu pemerintah menentukan saat yang tepat untuk memulai kembali tahun ajaran baru.
Meskipun demikian ia menilai rencana pemerintah membuka kembali sekolah pada era “new normal” atau era kelaziman baru ini belum tepat. Selain kurva kasus positif virus corona belum menurun, berkaca kepada negara lain yang sudah membuka kembali sekolah kemudian ditemukan kembali kasus positif yang menjangkit anak-anak.
BACA JUGA: Pemerintah Diminta Tak Gegabah Memulai Aktivitas Pendidikan di Tengah PandemiJasra mengatakan, “Jumlah penduduk kita itu 260 juta. Usia anak 0-18 tahun itu kan jumlahnya hampir 80 juta sepertiga jumlah penduduk di Indonesia. Maka pertimbangan untuk mengambil testing untuk anak kenapa tidak. Untuk antisipasi. Supaya jangan sampai anggapan bahwa selama ini imun anak kuat, lebih kecil datanya yang masuk dalam pengawasan termasuk dalam berobat ya ini kan harus dibuktikan dengan tes. Apa iya anak-anak kita, jangan-jangan mereka termasuk OTG (orang tanpa gejala, red.). Ini kan hal-hal yang dalam UU perlindungan anak ini, kesehatan yang maksimal ini kan harus diberikan kepada anak, dan itu bisa melalui pencegahan, sosialisasi."
Ia menambahkan, "Kalau memang testing adalah bagian dari pencegahan kenapa tidak dilakukan kepada anak-anak kita sehingga data ini akan semakin kongkrit untuk melihat peta sebaran termasuk kalau misalnya membuka sekolah tentu sudah diketahui di daerah mana saja yang tentu anak-anak dengan situasinya statusnya itu bisa kita kendalikan dari awal."
Belum Ditemukan Komplikasi Covid-19 pada Anak di Indonesia
Di negara-negara, seperti di Italia, Inggris dan Amerika (AS) ditemukan fenomena komplikasi penyakit pada anak yang terjangkit Covid-19. Salah satu diantaranya adalah penyakit Kawasaki, yaitu suatu kondisi yang menyebabkan peradangan pada dinding pembuluh darah. Penyakit ini lebih sering menyerang pembuluh darah koroner yang bertugas menyuplai darah ke otot jantung.
Kawasaki bisa menyebabkan gejala yang khas, seperti demam tinggi, mata merah, ruam merah di badan dan area genital, hingga pembengkakan di beberapa area tubuh. Adanya gejala-gejala ini pada beberapa anak yang positif corona membuat para ahli menduga adanya hubungan antara kedua penyakit tersebut.
BACA JUGA: Selama Pandemi Corona, Banyak Kebutuhan Anak TerabaikanMeski begitu, hingga saat ini Aman Pulungan belum melihat adanya komplikasi Kawasaki ini terjadi pada anak di Indonesia yang terpapar Covid-19.
“Kita belum menemukan seperti itu. Tapi bisa saja setiap infeksi virus seperti itu. dan memang ini juga sudah kita bahas di eksekutif committee di International Pediatric Association, kita sudah pernah membahas ini, dan untuk saat ini belum typical gejalanya. Kita masih melihat dan masing-masing negara seperti Indonesia. Kita masuk di Asean ini yang paling banyak yang meninggal anak. Jadi memang kita masih belum tahu datanya. Kita lagi mau kumpulin data-data ini. Kesulitan kita adalah kita hanya tahu dari yang merawat, karena kita tidak bisa masuk ke setiap provinsi melihat data-datanya itu kan kalau disini,” jelasnya.
Sejauh ini gejala umum Covid-19 pada anak masih pada sebatas batuk, pilek, dan demam. Meskipun tidak dapat dipungkiri jika akhir-akhir ini ada laporan tentang gejala lain pada anak, yaitu gangguan pada saluran pencernaan seperti diare.
Dua per tiga anak yang dirawat karena Covid-19 datang pada kondisi yang sudah berat sehingga tidak jarang dalam kurang dari 24 jam nyawanya tak tertolong lagi. Hal ini diperparah dengan penyakit bawaan atau cummorbid yang di derita oleh anak-anak yang terpapar seperti asma, jantung, diabetes, dan auto immune.
“Jadi gini, rata-rata yang meninggal itu di rawatnya singkat sekali. Kenapa? karena memang screening, tracing kasus positif pada anak masih lemah sekali. Jadi kalau ada gejala, ya dibawa, parah, gak sampai lama meninggal. Jarang sekali anak yang dirawatya lama. Ada yang cuma 24 jam, dua kali 24 jam, tapi gak lama seperti orang dewasa begitu. Jadi datangnya itu cenderung dalam keadaan parah. Kalau kita lihat, seperti ini PDP yag meninggal sekitar 130-an terus konfimasi yang meninggal kan ditambah hampir 150. Ini pasti semuanya dalam keadaan yang tidak baik. Prosesnya penurunannya cepat sekali kalau pada anak,” paparnya.
Meski demikian selama tidak terlambat dideteksi, tingkat kesembuhan pada anak juga cenderung tinggi.
Aman Pulungan menggarisbawahi seruan pada pemerintah, khususnya Gugus Tugas Penanganan Covid-19 agar lebih gencar lagi melakukan pelacakan kasus positif dan tes PCR pada anak. “Banyak faktor. Keterlambatan datangnya, lebih banyak karena bukan ketidakmampuan merawa. Deteksi dini itu, makanya testing , sama tracing itu harus sebanyak mungkin dan anak itu harus di cegah keluar,” ujarnya. [gi/em]