Psikiater dr. Ida Rochmawati mengatakan, dalam merespons perubahan, sangat alamiah jika manusia mengalami stres. Apalagi dalam situasi pandemi seperti sekarang, ketika banyak hal berubah seketika.
Pusat Kesehatan Umum (PKU) Muhammadiyah, Wonosari, DI Yogyakarta, ini mengatakan beberapa orang bisa saja mengalami gangguan penyesuaian. Hal ini ditandai dengan gejala gangguan fisik, psikologis, dan perilaku.
BACA JUGA: PBB Desak Fokus Layanan Kesehatan Jiwa dalam Respons Pandemi Corona"Gangguan fisik itu, misalnya, kita jadi sering berdebar-debar, nafas cepat, diare, dan tremor. Kemudian ada gejala psikologi, jadi sering depresi, cemas, khawatir, kurang konsentrasi, mudah tersinggung,” jelasnya dalam diskusi virtual kesehatan jiwa di era pandemi, Senin (1/6) siang.
"Kemudian ada gangguan perilaku, misalnya agresif, kadang ingin menyakiti diri sendiri, penyalahgunaan obat dan alkohol, kesulitan sosial dan pekerjaan,” tambahnya.
Ida menjelaskan, gangguan penyesuaian adalah respons yang wajar dan akan berlangsung selama 1-3 bulan. Sangat jarang yang sampai lebih dari 6 bulan.
Bila Mengganggu, Cari Bantuan
BACA JUGA: Jelang "New Normal", Pakar Ingatkan Indonesia Belum Capai Standar WHODia menggarisbawahi, jika gejala-gejala tersebut berlanjut, dan disertai gangguan fungsi sosial, orang tersebut sebaiknya menemui psikiater. Gangguan fungsi sosial yang dimaksud adalah ketika seseorang tidak bisa melakukan tanggung jawab sehari-hari, misalnya sebagai ibu, ayah, pekerja, atau pelajar. Di samping itu, bisa juga ada gangguan interaksi sosial.
“Orang tidak nyaman dengan kita, atau mungkin kita juga tidak nyaman dengan orang lain. Nah itu gambaran dari seseorang yang sebaiknya membutuhkan pertolongan profesional,” ujarnya yang bergabung di Perhimpunan Dokter Spesialis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI) Yogyakarta ini.
Ida menjelaskan, ada 5 tahap kesedihan dalam psikologi yang diperkenalkan Kübler dan Ross. Tahap-tahap tersebut adalah penyangkalan (denial), amarah (anger), menimbang-nimbang (bargaining), depresi (depression), dan penerimaan (acceptance).
Menurut Ida, fase-fase ini wajar dialami semua orang. Namun ada sebagian yang berkutat pada penyangkalan dan amarah.
Your browser doesn’t support HTML5
"Karena berkutat dengan menyangkal, marah, dan mencari-cari kesalahan, akan membuang waktu dan energi,” pungkasnya.
Pentingnya Menerima Situasi
Supaya kesedihan dapat diatasi, Ida mengatakan penting untuk mengakui kesedihan atau ketidaknyamanan.
"Karena berkutat dengan menyangkal, marah, dan mencari-cari kesalahan, akan membuang waktu dan energi. Segera menerima, hidup memang harus berubah,” jelasnya lagi.
Hal itu didukung oleh Benny Prawira, pendiri komunitas kesehatan jiwa, 'Into The Light Indonesia.' Mengakui perasaan tidak nyaman, ujarnya, adalah pintu untuk menangani stres itu sendiri.
Dalam menghadapi banyak perubahan saat ini, ujar Benny, penting untuk tidak larut dalam situasi.
"Tetap kita harus waspada, tapi jangan sampai dilumpuhkan dengan rasa tidak berdaya,” ujar penyandang gelar master di bidang Psikologi Sosial ini.
Caranya, tambah Benny, adalah dengan mengingat bahwa kita pernah mengalami kesusahan dan berhasil melewatinya.
"Dan itu yang akan terus menerus membuat kita bisa tetap berjalan, bergerak, dan juga nanti mencapai tujuan-tujuan kita. Mungkin secara lebih pelan, tapi setidaknya kita mencapai itu semua,” dia menekankan. [rt/ft]