Mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Komaruddin Hidayat mewakili sejumlah tokoh lintas agama/kepercayaan dan masyarakat sipil Indonesia mengutuk aksi penembakan yang dilakukan oleh Brenton Tarrant di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru pada 15 Maret kemarin yang menewaskan 50 warga sipil, di antaranya terdapat warga negara Indonesia.
Komaruddin mengatakan bahwa aksi teror berdarah tersebut tentu berlawanan dengan doktrin dan ajaran moral yang diperintahkan dalam semua agama dan kepercayaan dengan tujuan memecah belah persatuan dan kesatuan dan utamanya anti-manusia.
“Ideologi teror dan kebencian memang memiliki cara pandang yang khas, yaitu membelah dunia ke dalam dua kubu besar, “kami” versus “mereka”. Dan setelah itu menciptakan permusuhan permanen antara keduanya. Ideologi ini bisa muncul dengan baju agama atau tidak. Tetapi tujuannya jelas, yaitu menciptakan permusuhan permanen antara golongan-golongan yang berbeda. Tujuan ini jelas bertentangan dengan ajaran semua agama dan kepercayaan yang ada di dunia ini. Bahkan, tujuan ini jelas sangat anti-manusia,” ujar Komaruddin dalam Konferensi Pers, di Gedung Kementerian Agama, Jakarta, Rabu (20/3).
BACA JUGA: Erdogan: Brenton Tarrant Tak Ada Bedanya dengan Teroris ISISIa juga menyatakan bahwa motivasi di balik aksi teror ini adalah sebagai bentuk Islamofobia dan senofobia/kebencian pada orang asing, pemahaman tersebut sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Sejatinya, kata Komaruddin ajaran agama/kepercayaan apapun sudah pasti menyebarkan cinta antar manusia dan hidup bersama secara damai.
Pihaknya pun berharap, bahwa tidak ada satu orang pun memanfaatkan peristiwa ini untuk menyebarkan benih kebencian utamanya, kepada non-muslim atau terhadap dunia barat, apalagi digunakan untuk kepentingan politik semata.
"Kami dengan tegas mengecam dan menolak upaya sebagian kalangan untuk menggunakan aksi teror ini untuk menyebarkan kebencian kepada umat non-muslim atau terhadap dunia barat sebagaimana terlihat di media sosial kita. Tindakan semacam itu selain tidak bermoral, tidak bertanggung jawab, juga akan menciptakan lingkaran kebencian yang tiada habisnya. Kami juga menolak aksi ini digunakan sebagai komoditas politik," tambahnya.
Para tokoh lintas agama dan kepercayaan ini juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada PM Selandia Baru Jacinda Ardern yang mengulurkan tangannya dan simpati, serta dukungan kepada umat muslim di negerinya dan dengan tegas menolak ideologi kebencian yang merupakan motif di balik peristiwa berdarah ini. Penghargaan juga mereka alamatkan kepada Menlu Indonesia Retno LP Marsudi yang juga dengan tegas mengutuk aksi teror tersebut.
BACA JUGA: PM Selandia Baru Sebut Pelaku Pembantaian sebagai Teroris, Penjahat, dan EkstremisDalam kesempatan yang sama Alissa Wahid mengatakan bahwa sebenarnya ideologi “kami” versus “mereka” ini dimulai dari yang namanya prasangka yang terus menerus diperkuat sehingga kerap menumbuhkan kebencian terhadap suatu kelompok yang bisa memicu tindakan sadis, seperti halnya pelaku teror di Selandia Baru tersebut. Oleh karena itu, menurut Alissa penting sekali untuk berusaha meredam ideologi-ideologi yang berbahaya tersebut, utamanya di Indonesia.
“Karena itu mengelola isu perbedaan dan kemudian menghilangkan sikap penuh kebencian dan prasangka itu penting, dan kita tahu Indonesia saat ini berada dalam tahun politik yang seringkali sikap “us” versus “them” atau kita lawan mereka ini kemudian menjadi komoditi politik, atau yang seorang peneliti menyebutnya sebagai pelintiran kebencian, karena itu kami secara spesifik memasukkan menolak isu Selandia Baru dijadikan sebagai komoditas politik di Indonesia,” jelas Alissa.
BACA JUGA: Serangan Terhadap Masjid di Selandia Baru Timbulkan Gelombang Kejutan di Dunia MuslimIa menambahkan, bahwa internet merupakan bagian yang terpenting dalam penumbuhan paham radikalisme baik secara individual maupun kelompok. Oleh karena itu, kata Alissa pemerintah harus lebih sigap menangkap sinyal-sinyal paham radikalisme yang sangat dimungkinkan tumbuh di lingkungan masyarakat dengan menutup konten internet yang berbau radikalisme agar masyarakat tidak memliki pemahaman dan perubahan pemahaman dan sikap ke arah yang tidak diinginkan.
Your browser doesn’t support HTML5
Dalam kesempatan ini muncul 38 tokoh lintas agama/kepercayaan di antaranya Romo Frans Magnis Suseno, Muhammad Ziyad dari PP Muhammadiyah, Henriette Hutabarat Lebang dari Persekutuan Gereja-gereja Indonesia, I Ketut Purwata dari Parisadha Hindu Dharma Indonesia, dan tokoh-tokoh lainnya. [gi/em]