Jumlah warga Palestina yang tewas akibat perang Israel-Hamas selama lebih dari tiga bulan terakhir di Gaza telah melampaui 25.000 jiwa, kata Kementerian Kesehatan Gaza yang dikendalikan Hamas, hari Minggu (21/1).
Kementerian menyatakan bahwa jumlah persisnya mencapai 25.102 korban tewas, yang mencakup warga sipil dan petempur Hamas, di mana sekitar 70 persennya perempuan dan anak-anak. Pejabat setempat mengatakan 62.681 orang terluka dalam konflik tersebut.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada hari Minggu (21/1) kembali menegaskan sikapnya yang bertentangan dengan Presiden AS Joe Biden mengenai pendirian negara Palestina setelah perang di Gaza berakhir.
“Gaza harus didemiliterisasi, di bawah kendali penuh Israel,” kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan. “Desakan saya lah yang telah mencegah – selama bertahun-tahun – berdirinya negara Palestina yang dapat menimbulkan bahaya nyata bagi Israel. Selama saya menjadi Perdana Menteri, saya akan terus menekankan hal ini.”
BACA JUGA: Netanyahu Tolak Gencatan Senjata dan Pembentukan Negara PalestinaSehari sebelumnya, pada Jumat (19/1), Biden mengatakan ia memberi tahu Netanyahu kemungkinan solusi untuk pendirian negara Palestina yang merdeka, di mana salah satu bentuknya adalah sebuah pemerintahan non-militer. Ketika ditanya apakah solusi dua negara “tidak mungkin” terwujud selama Israel diperintah Netanyahu, Biden menjawab “Tidak, itu bisa terwujud.”
“Ada beberapa jenis solusi dua negara. Ada sejumlah negara anggota PBB yang masih belum memiliki militer sendiri. Sejumlah negara membatasi militer mereka. Jadi, saya rasa ada cara agar hal ini bisa berhasil,” ungkap Biden.
Dalam konferensi tingkat tinggi G77+China di Kampala, Uganda, hari Minggu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres kembali menyerukan solusi dua negara, di mana Israel dan Palestina saling mengakui kemerdekaan masing-masing dan hidup berdampingan.
Guterres mengatakan bahwa operasi militer Israel di Gaza “telah menyebarkan kehancuran besar” dan menewaskan warga sipil dalam “skala yang belum pernah terjadi sebelumnya,” di mana 150 staf PBB ikut terbunuh.
“Penolakan berulang kali terhadap solusi dua negara bagi Israel dan Palestina kemarin sama sekali tidak dapat diterima, seperti yang saya sampaikan pada pertemuan puncak Gerakan Non-Blok. Penolakan terhadap hak kenegaraan bagi rakyat Palestina akan memperpanjang konflik yang telah menjadi ancaman besar bagi perdamaian dan keamanan dunia, memperburuk polarisasi dan membakar semangat ekstremis di mana pun,” ungkap Guterres.
Your browser doesn’t support HTML5
Sementara itu, mantan penasihat keamanan nasional AS pada era kepemimpinan Donald Trump, John Bolton, meyakini bahwa solusi dua negara “sudah mati.” Ia mengatakan, rakyat Palestina perlu dimukimkan kembali ke tempat dengan “perekonomian yang layak.”
“Betapa pun populernya (solusi dua negara) ini, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa solusi dua negara sudah mati. Sesuatu harus dilakukan untuk rakyat Palestina. Mereka telah dianiaya. Mereka telah dijadikan senjata melawan Israel selama 75 tahun terakhir. Hal itu belum membuahkan hasil apa pun. Namun gagasan bahwa Anda akan membangun kembali Gaza dan membangun sebuah negara di lokasi itu, saya rasa itu tidak sesuai dengan kenyataan,” tukasnya.
Perang Israel-Hamas kembali pecah pada 7 Oktober, menyusul serangan mendadak Hamas ke Israel selatan, yang menyebabkan sekitar 1.200 orang tewas dan sekitar 250 lainnya diculik ke Gaza. Israel lantas melancarkan serangan balasan dengan membombardir Gaza dan melakukan invasi darat, yang telah menewaskan puluhan ribu jiwa penduduk Palestina. [rd/jm]