Ratusan orang dari berbagai kelompok hari Senin (5/12) berdemonstrasi di depan gedung DPR di Senayan, Jakarta, untuk memrotes pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), terutama pasal-pasal yang dinilai akan semakin mengintimidasi masyarakat. Sedikitnya 400 personil polisi disiagakan untuk mengamankan aksi damai tersebut.
Pengacara publik di LBH Jakarta, Citra Referandum, menyerukan pada pemerintah agar tidak terburu-buru mengesahkan RKUHP. "Pemerintah dan DPR seharusnya mendengar dan mempertimbangkan secara bermakna pendapat dari masyarakat, bahwa permintaan kami agar pasal-pasal bermasalah yang ada di RKUHP seperti pasal anti-demokratis itu dicabut," ujar Citra.
Ia juga mengkritisi draft resmi yang sebelumnya tidak bisa diakses publik, dan hanya bisa dilihat baru-baru ini, untuk selanjutnya akan segera disahkan.
Sementara Jihan Fatihaah, pengunjukrasa lain dari Perempuan Mahardika, mengatakan salah satu isi RKUHP bahkan cenderung memberatkan dan memojokkan kaum perempuan.
"Negara sudah bisa mengatur ranah privat perempuan, salah satunya pilihan mereka tentang alat kontrasepsi dan aborsi. Karena misalnya, perempuan menjadi korban kekerasan seksual, kita tahu perempuan yang paling banyak menjadi korban kekerasan seksual, ketika diperkosa dia akan kesulitan mengakses aborsi atau kontrasepsi," terang Jihan, yang berharap pemerintah mengkaji ulang RKUHP itu.
Seorang pengunjukrasa lain yang berasal dari elemen buruh yang juga Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Sunarno, mengatakan RKHUP jelas menghambat buruh berdemokrasi.
"Karena kami sering melakukan advokasi-advokasi pelanggaran yang ada di pabrik-pabrik, ke pengadilan lalu ke disnaker. Dalam prosesnya, kami melakukan unjuk rasa protes. Dengan adanya pasal karet yang dihidupkan kembali, yang dianggap menghina pejabat atau instansi pemerintahan, itu bisa terjerat oleh pasal-pasal karet tersebut," jelas Sunarno.
BACA JUGA: Indonesia Siap Sahkan KUHP Baru yang akan Larang Hubungan Seks di Luar NikahPasal karet yang dimaksud pengunjukrasa itu antara lain adalah pasal 256 tentang Penyelenggaraan Pawai, Unjuk Rasa atau Demonstrasi. Dalam draft RKHUP versi 30 November lalu, pasal ini menyatakan “Setiap orang yang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu kepada yang berwenang mengadakan pawai, unjuk rasa, atau berdemonstrasi di jalan umum atau tempat umum yang mengakibatkan terganggunya kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau hura-hara dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.”
RKUHP Melindungi Penyelenggara Negara, Bukan Warga Negara
Diwawancarai melalui telepon, pengamat tata negara Feri Amsari mengatakan penangguhan yang dilakukan oleh pemerintah hanya untuk meredam sementara kemarahan masyarakat karena pada kenyataannya pemerintah tetap akan mengesahkan RKUHP tersebut. "Sudah dari awal pemerintah sudah betul-betul berupaya memaksakan ini disahkan. Penundaan kemarin, menurut saya hanya basa-basi, untuk meredam amarah publik. Padahal banyak sekali hal-hal yang mestinya dibenahi karena pasal-pasal masih cenderung bermasalah, bertentangan dengan undang-undang dasar," ujarnya.
Menurut Feri, seharusnya undang-undang dibuat untuk melindungi warga negara, bukan untuk melindungi penyelenggara negara. Karena tidaklah benar jika undang-undang dibuat untuk melindungi penyelenggara negara yang nantinya justru membatasi hak-hak konstitusional publik.
"Harusnya yang dibatasi itu adalah tindakan kebijakan dari penyelenggara negara untuk kemudian bisa melindungi warga negara dari sifat menyimpangnya kekuasaan penyelenggara negara. Bagi saya, di titik itu saja secara substansial dan mendasar, negara sudah salah dalam meletakkan posisi KUHP dengan mengabaikan standar atau nilai-nilai dasar dari Undang-Undang Dasar 1945," lanjut Feri.
Ditambahkannya, penolakan terhadap RKUHP merupakan hal yang wajar terjadi. "Karena harus disadari, kekuasaan besar yang dimiliki, berpotensi untuk disimpangkan dan dimanfaatkan untuk membuat warga negara kehilangan hak-haknya. Oleh karena itu, aneh kalau tidak ada keinginan untuk menghapuskan pasal-pasal yang bermasalah. Tanpa pasal-pasal itu, KUHP tetap bisa berjalan. Dan pasal-pasal itu bukanlah pasal-pasal pidana yang secara universal perlu diatur," tutup Feri.
Menkumham: Silakan Gugat ke Mahkamah Konstitusi
Berbicara pada wartawan seusai rapat dengan Komisi III DPR, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan RKUHP yang akan disahkan tersebut sudah disosialisasikan ke seluruh elemen masyarakat dan sudah lebih reformatif dibanding KUHP versi Belanda.
Saat ditanya wartawan terkait demo penolakan RUKHP di depan Gedung DPR, Yasonna mengatakan bahwa RKHUP mungkin saja tidak disetujui oleh semua pihak. Untuk itu ia mempersilahkan kepada mereka yang tidak menyetujui RKUHP untuk menempuh jalur judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"Kalau ada perbedaan, silahkan nanti jika sudah disahkan, gugat saja di MK, itu merupakan mekanisme konstitusional," ujarnya.
Yasonna juga mengatakan bahwa sebagai negara demokrasi, perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar. Menggugat ke MK merupakan langkah yang lebih elegan, jelasnya.
Menurut rencana DPR akan mengesahkan RKUHP ini dalam rapat paripurna hari Selasa (6/12). [iy/em]