Bencana? Kontak Pak Topo

Sutopo Purwo Nugroho memberikan konferensi pers di kantor BNPB Jakarta, pasca gempa pertama di Lombok (29/7).

Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana BNPB bisa jadi merupakan narasumber yang paling mudah dan paling sering dihubungi ketika terjadi bencana dan krisis. Tetapi tak banyak yang tahu bahwa ketika dikontak, ia kadangkala sedang bed-rest atau bahkan menjalani kemoterapi akibat kanker paru-paru stadium empat yang dideritanya. Dihubungi VOA, Sutopo mengatakan ada dua alasan yang membuatnya tetap bekerja: menunjukkan kehadiran negara dalam penanganan bencana dan sekaligus mengalihkan rasa sakitnya.

Mendapatkan informasi secara cepat dan akurat saat terjadi bencana atau krisis, bukan hal yang mudah. Apalagi jika pada saat yang sama tersebar pula isu dan kabar bohong atau hoaks. Berbagai upaya harus dilakukan untuk mendapatkan informasi di lapangan, memastikan keakuratannya pada otorita berwenang dan memeriksa ulang sebelum mempublikasikannya. Tetapi semua hal rumit ini selesai di tangan satu tokoh: Sutopo Purwo Nugroho.

"Gempanya besar!" cuit Pak Topo, panggilan akrab wartawan kepadanya, hanya beberapa menit setelah gempa kedua melanda Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, 5 Agustus lalu. Sutopo biasanya mengawali informasi awal tentang bencana dengan pesan pendek tetapi bermakna, yang berisi jenis bencana, tingkat kedaruratan, lokasi dan dampak paling nyata.

​Setelah memperoleh informasi lebih lengkap, menganalisa dan memeriksa ulang, Sutopo akan mengirim rilis lengkap melalui email atau WhatsApp, dan memasang serangkaian cuitan bagi sekitar 79 ribu follower-nya di Twitter, lengkap dengan foto, video dan kontak yang bisa dihubungi wartawan di lapangan. Salah satu diantaranya adalah cuitan tentang evakuasi wisatawan asing dan domestik dari tiga pulau di Lombok pasca gempa 5 Agustus. Video yang dipasangnya ditonton lebih dari 220 ribu kali dan tersebar luas ke seluruh dunia.

"Setiap terjadi bencana atau krisis, selalu ada kendala dalam mendapatkan informasi, padahal masyarakat – dan khususnya pers – ingin sekali mendapatkan informasi dengan cepat dan akurat terkait dampak bencana dan penanganannya. Karena saya sudah berada di BNPB selama delapan tahun, saya memiliki jaringan teman-teman jurnalis lokal hingga internasional, yang semuanya saya manfaatkan untuk mendapatkan dan sekaligus menyampaikan informasi kepada publik. Biasanya jika terjadi bencana saya akan kirimkan informasi awal lewat berbagai fasilitas – terutama WhatsApp – dan kemudian langsungkan konferensi pers ketika sudah terkumpul informasi yang lebih banyak. Ini penting sebagai bagian dari pernyataan resmi bahwa negara hadir, bahwa negara melakukan penanganan, sehingga informasi yang beredar sama dan tidak menimbulkan kebingungan masyarakat," jelas Sutopo.

Jalani Perawatan Kemoterapi, Sutopo Tetap Bekerja

Tidak banyak yang menyadari bahwa ketika mengumpulkan informasi, menganalisa dan menyebarluaskannya kepada media, Pak Topo sebenarnya sedang menjalani perawatan medis.

"Sejak Januari 2018 saya divonis dokter menderita kanker paru-paru stadium empat, sudah menjalar ke tulang, terutama tulang belakang, dan sampai saat ini masih terus dalam proses pengobatan. Saya diinfus dengan kemoterapi, radiasi dan minuman-minuman herbal dan sebagainya… Akhir-akhir ini saya bahkan mengumpulkan informasi, menganalisa dan kemudian menjelaskan terjadinya bencana kepada teman-teman pers dalam kondisi berbaring, bed rest di rumah sakit karena sedang diinfus kemoterapi. Pernah saya baru selesai operasi penyedotan cairan di paru-paru yang terendam air, darah, dan sebagainya; saya tetap bersedia dikontak teman-teman. Justru dengan kesibukan-kesibukan itu mengalihkan rasa sakit saya, sehingga saya tidak terlalu merasakannya. Sungguh saya tidak pernah menganggap pekerjaan saya itu sebagai beban, saya jalani sebisanya," katanya.

Sutopo Purwo Nugroho menjalani kemoterapi, bagian dari perawatan kanker paru-paru yang dideritanya.

​Dibanding tahun-tahun sebelumnya, Pak Topo kini mengurangi aktivitas fisik. Ia tidak lagi langsung turun ke daerah bencana sebagaimana yang kerap dilakukannya, tetapi mengumpulkan dan menganalisa informasi dari tempat tidurnya di mana ia dirawat, dan sesekali dari kantornya. Ia bersahabat dengan lebih dari 3.000 wartawan dalam dan luar negeri, yang dikelompokkannya dalam sejumlah WhatsApp Group. Ini belum termasuk kontaknya dengan ribuan personil Badan Penanggulangan Bencana Daerah BPBD yang tergabung di 200 WhatsApp Group, dan kelompok-kelompok pemantau bencana di dalam dan luar negeri.

Ia mengatakan, "Saya memiliki banyak sistem dan jalur untuk mendapatkan informasi yang terkait bencana. Saya memiliki “Indonesia All Warning and Risk Evaluation,” yang dibantu Pacific Disaster Center, dan dibiayai pemerintah Amerika. Mekanisme kerjasama ini sudah berjalan selama lima tahun. Lewat hal ini kami bisa memantau bencana di seluruh dunia, sehingga apa yang terjadi di Amerika, Eropa atau kawasan negara-negara lain, kami juga mendapatkan informasinya. Sistem informasi ini kemudian kami perluas agar BPBD di tingkat kabupaten juga bisa mendapat akses untuk menginformasikan apa yang terjadi di daerah mereka."

Sutopo Purwo Nugroho (BNPB) membangun jaringan sistem peringatan/penanganan bencana bersama FEMA di Washington D.C. (Foto courtesy: BNPB)

Sutopo: "Bangun dan Jaga Kepercayaan Publik untuk Mendapatkan Informasi Akurat"

Sutopo Purwo Nugroho yang menyelesaikan pendidikan strata tiga di Institut Pertanian Bogor IPB memiliki kekhasan ketika menyampaikan informasi, yaitu menyampaikannya sesegera mungkin secara berkala setelah terkonfirmasi.

"Kita tidak perlu menunggu data lengkap sekali baru mengeluarkan pernyataan, karena dalam kondisi bencana atau krisis di mana senantiasa terjadi update informasi, bisa-bisa tidak pernah keluar pernyataan jika harus menunggu. Yang pasti orang tahu jika ingin mendapatkan informasi akurat, mereka hanya perlu melihat data di BNPB. Ini penting. Memang tidak mudah membangun dan menjaga kepercayaan publik ini dan karenanya kita harus siap bekerja di luar cara-cara normal atau cara-cara rutin. Apalagi bencana di Indonesia sering terjadi pada akhir pekan, kalau mengikuti pola normal berarti informasi baru beredar pada hari masuk kerja. Humas bukan sekedar menyelenggarakan konferensi pers, meliput pimpinan atau acara2 seremonial pada hari kerja. Humas harus bekerja cepat, kapan pun, di mana pun," paparnya.

Sutopo Sesekali Bisa Melucu

Pak Topo yang dikenal sigap, tidak selamanya serius. Sesekali ia memancing senyum dengan cuitan-cuitannya. "Ternyata elektabilitas saya tertinggi. Mengalahkan yang lain. Tapi hanya di informasi bencana.. heheheh" cuitnya pada 10 Agustus lalu seiring maraknya pemberitaan dengan penunjukan calon wakil presiden.

Atau ketika beredar kabar bohong bahwa BNPB menahan bantuan kemanusiaan dan isu-isu lain, dengan santai Pak Topo mencuit "keep calm and listen to Pak Sutopo."

Wartawan Merasa Berhutang Budi pada Sutopo

Banyak wartawan merasa berhutang budi dengan gerak cepat Pak Topo, di antaranya Christine Tjandraningsih, wartawan kantor berita Jepang – Kyodo News – di Jakarta.

"Pak Topo is the best spokesman ever, setara dengan mantan Menlu Marty Natalegawa sewaktu menjadi jubir Kemenlu dan mantan jubir kepresidenan Teuku Faizasyah. Dia bisa dihubungi kapan pun dan selalu menjawab. Saat sibuk, dia memang tidak menjawab pertanyaan atau mengangkat telepon, tapi setelah waktunya luang, pasti dijawab. Di antara semua jubir kementerian dan lembaga pemerintahan, informasi yang beliau sampaikan selalu yang tercepat dan akurat. Bahkan sebelum memasuki ruang operasi, bisa-bisanya beliau masih membuat press release dan dengan cepat menyebarkannya lewat semua akun sosial media yang dimiliki. Pokoknya, Pak Topo top-lah," kata Christine.

Sejumlah wartawan menjenguk Sutopo seusai perawatan medis di rumahnya. Wartawan senantiasa merasa berhutang budi dengan informasi akurat terkait bencana yang dirilis Sutopo dengan cepat.

Hal senada disampaikan wartawan surat kabar Straits Times Wahyudi Soeriaatmadja.

"Banyak yang tidak sadar bahwa dalam setiap bencana, informasi cepat kepada masyarakat yang terkena dampak langsung atau tidak langsug, sangat penting. Informasi cepat dapat mencegah jatuhnya lebih banyak korban, membantu mengatasi tantangan di lapangan dan memberi informasi pada warga yang anggota keluarganya terdampak. Pak Topo bekerja tanpa kenal lelah dan waktu. Beberapa menit saja terjadi bencana, Pak Topo sudah bisa kasih info situasi terakhir dengan keterangan sejelas-jelasnya, yang mudah dipahami masyarakat awam," ujar Yudi.

Sutopo: "Saya Ingin Terus Bekerja"

Kepada VOA, Pak Topo mengatakan terharu dengan begitu banyak dukungan yang disampaikan kepadanya dari dalam dan luar negeri agar ia segera sembuh kembali.​

"Saya mendapat banyak sekali doa dari masyarakat di Indonesia dan luar Indonesia, agar saya sembuh, kembali sehat dan beraktivitas normal kembali. Ini membuat hati saya kuat dan ingin bekerja keras. Jika merasakan sakit, ya saya memang sakit. Apalagi ini kanker sudah di level empat, lever terminal. Tetapi saya tetap berusaha dan berdoa. Saya ingin terus bekerja." [em]