TPF Papua Bentukan Menkopulhukam Tidak Bekerja Maksimal

  • Nurhadi Sucahyo

Marinus Yaung (kanan) dan Pangdam Cendrawasih dalam sebuah diskusi mengenai pelanggaran HAM di Papua (Foto: VOA/Nurhadi)

Tim Pencari Fakta bentukan Menko Polhukam tidak membuat kemajuan berarti dalam mengungkap kasus pelanggaran HAM Papua. Padahal tim akan akan selesai masa tugasnya Oktober ini.

Harapan besar sempat mengemuka saat Menko Polhukam ketika itu, Luhut Binsar Panjaitan, membentuk Tim Pencari Fakta Kasus Pelanggaran HAM Papua pada bulan April 2016. Tim ini merupakan wujud nyata komitmen Presiden Jokowi, yang akan menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Jokowi ingin, Indonesia tidak memiliki beban masa lalu.

Namun, hingga Oktober ini, yang menjadi akhir masa kerja TPF tersebut, tidak ada kemajuan yang berarti dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM Papua,terutama dalam 3 kasus berbeda, yaitu kasus di Wasior, Wamena dan Paniai.

Dalam kasus Wasior tahun 2001, empat orang meninggal, 39 luka-luka dan terjadi penghilangan paksa terhadap lima orang. Sedang dalam kasus Wamena 2003, sebanyak 9 orang meninggal, 38 luka-luka, dan pemindahan paksa terhadap penduduk dari 25 kampung. Akibat pemindahan paksa ini, 42 orang meninggal karena kelaparan. Paniai adalah lokasi terjadinya pembunuhan terhadap lima orang, ketika pihak yang diduga aparat melakukan penembakan ke arah kelompok masyarakat yang sedang melakukan aksi damai. Tragedi ini terjadi pada 8 Desember 2014.

Kepada VOA, Marinus Yaung, salah satu anggota tim ini mengatakan, kebuntuan ini sebenarnya berdampak serius. Bagaimanapun, pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat di Papua adalah langkah penting untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah di Jakarta.

Marinus mengaku terus mendorong penyelesaian kasus ini di ranah hukum, selama keterlibatannya di dalam tim. Dia berkomitmen, tidak boleh ada jalan keluar non yudisial, terutama untuk kasus Wasior dan Wamena. Sayangnya, kata Marinus, ada perbedaan penafsiran antara Komnas HAM dan Kejaksaaan Agung dalam memilih landasan hukum penyelesaian kasus. Komnas HAM sudah menyatakan dua kasus itu sebagai pelanggaran HAM berat. Tetapi Kejaksaan Agung menganggap alat buktinya terlalu lemah.

“Perbedaan penafsiran ini merupakan kendala utama. Komnas HAM memakai UU HAM nomor 39 tahun 99 dan UU nomor 26 tahun 2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, tetapi Kejaksaan Agung menggunakan KUHP. Perbedaan dasar hukum ini melahirkan perbedaan penafsiran soal alat bukti sehingga kasus Wasior berdarah dan Wamena berdarah yang seharusnya sudah selesai sejak 2005, sampai sekarang masih menggantung,” kata Marinus Yaung.

Marinus masih menilai bahwa Presiden Jokowi punya komitmen kuat untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu di Papua. Tetapi dia melihat, para pejabat di bawahnya tidak memiliki semangat dan sudut pandang yang sama, sehingga cenderung menolak secara halus keinginan Jokowi.

Tidak hanya untuk kasus pelanggaran HAM berat di Papua, tetapi juga terhadap kasus-kasus sejenis di masa lalu. Marinus menilai, dibutuhkan pengawasan dan tekanan publik kepada presiden, agar dia tidak semakin jauh dari komitmen menyelesaikan kasus ini.

“Kami melihat kasus Papua ini sulit sekali untuk dituntaskan. Presiden harus tunjukkan kepada orang Papua bahwa dia bisa berkuasa penuh kepada aparat di bawahnya. Kalau ada pejabat di bawah presiden yang tidak menjalankan komitmen itu, harus ada tindakan. Penyelesaian kasus ini juga menjadi beban bagi masyarakat Papua sendiri,” kata Marinus Yaung.

Marinus menyayangkan keinginan sebagian pejabat pemerintah, yang ingin penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dilakukan di luar pengadilan. Padahal masyarakat Papua ingin kasus-kasus di tanah mereka sepenuhnya diselesaikan lewat jalur hukum.

Ketua Dewan Adat Paniai, John Gobay kepada VOA menuturkan, tidak maksimalnya kerja tim bentukan Menko Polhukam tidak terlepas dari kecilnya respon masyarakat. Presiden Jokowi sendiri berkomitmen menyelesaikan kasus tersebut, tetapi menurut John Gobay, tidak ada langkah maju sampai saat ini.

Tim bentukan Menko Polhukam, menurut John Gobay, bahkan membingungkan bagi masyarakat Papua. Tim ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Selain itu, masyarakat selama ini terus melakukan koordinasi dengan Komnas HAM. Adanya dua pihak yang melakukan proses investigasi ini justru menimbulkan rasa ketidakpercayaan masyarakat terhadap Jakarta.

Secara penuh, kata John Gobay, masyarakat Paniai hanya menginginkan tim bentukan Komnas HAM yang melakukan investigasi peristiwa tersebut. Tim bentukan pihak manapun, termasuk Menko Polhukam, pasti akan ditolak masyarakat. Dia juga menggarisbawahi, bahwa pelaku aksi penembakan harus diproses secara hukum. Masyarakat Paniai menolak penyelesaian melalui rekonsiliasi.

John Gobay mendesak Kejaksaan Agung segera membawa kasus ini ke pengadilan. Secara khusus, masyarakat Papua meminta sidang diadakan di tanah mereka, dan bukan di Pengadilan HAM Makassar.

Your browser doesn’t support HTML5

TPF Papua Bentukan Menkopulhukam Tidak Bekerja Maksimal

“Sesuai dengan undang-undang, rekonsiliasi itu kan dilakukan untuk kasus-kasus yang terjadi sebelum tahun 2000, sebelum ada Pengadilan HAM. Tetapi setelah ada UU Pengadilan HAM, nomor 26 tahun 2000, itu semua kasus pelanggaran HAM harus melalui Pengadilan HAM. Itu undang-undang Indonesia, bukan undang-undang Papua. Kalau presiden mau bicara soal rekonsiliasi, ya sekalian saja dibentuk Komite Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Kebenaran sejarahnya diberikan, rekonsiliasi kasus-kasus pelanggaran HAM, semua berjalan bersamaan,” kata John Gobay.

Selain kasus di Paniai, kasus Wasior dan Wamena dijadikan prioritas penyelesaian oleh pemerintah. [ns/ab]