Trauma Korban dan Proses Hukum Kerusuhan Wamena

  • Nurhadi Sucahyo

Presiden Jokowi saat meninjau Pasar Wouma Wamena, 28 Oktober 2019. (Foto: Humas Polda Papua)

Kota Wamena di Papua mengalami kerusuhan rasial besar, 23 September 2019. Sebagian pelaku kerusuhan akan segera dimejahijaukan. Sementara seorang korban bercerita, bagaimana trauma mencegahnya kembali ke sana.

Sudah lebih dua bulan terjadi, kengerian dari rusuh Wamena masih terbayang di benak Errisa Dwi Siswandani. Dosen di STISIP AI Yapis Wamena itu kini menenangkan diri di kota asal orang tuanya, Ponorogo, Jawa Timur. Dia menangis ketika bercerita pada VOA, tentang kekecewaan yang muncul akibat aksi kerusuhan itu.

“Kenapa kok begini? Saya ke sini itu mengajar. Dengan tulus hati memberikan ilmu. Saya kalau disuruh membayangkan lagi, jadi menangis. Saya besar di sana. Ada hati yang mau turut serta membangun SDM di sana. Mau memberikan ilmu. Tetapi ternyata, saya tersakiti. Saya belum sempat merasakan dan melihat mereka berubah seperti yang dicita-citakan,” papar Erissa.

Di mata Errisa, Papua khususnya Wamena bukan tanah asing. Dia lahir dan tumbuh di sana hingga usia 14 tahun. Ibunya seorang guru dan ayahnya bekerja di pemerintah daerah setempat. Pada Oktober tahun 2000, keluarga itu terpaksa meninggalkan Wamena, karena kerusuhan terkait pengibaran bendera Bintang Kejora. Setelah menyelesaikan kuliah di Jawa Timur, Errisa kembali ke Papua pada 2014. Baginya, itu adalah panggilan hati.

Erissa (baju biru) bersama mahasiswanya seusai menari Balada Cendrawasih. Tarian ini diciptakan Erissa untuk acara HUT kota Wamena. (Foto courtesy: Erissa)

“Karena saya lahir dan besar di sana, ada rasa ingin ke sana. Ingin mengabdi. Bagi sebagian orang, seperti saya, kembali ke Papua bukan karena sekedar mencari rejeki. Papua ada di hati saya, dan ada keinginan besar untuk ikut membangun tanah Papua,” kata Erissa.

Namun, lima tahun berbakti sebagai dosen di STISIP Al Yapis Wamena, kerusuhan besar melanda. Dia sedang mengajar di kelas, ketika kota mulai terbakar pada 23 September siang. Mahasiswa berlarian ke luar kampus, sementara para perusuh masuk dan membakar kendaraan serta bangunan. Errisa menyelamatkan diri ke belakang kampus, masuk ke sebuah honai milik warga. Beberapa jam kemudian tentara menemukan Errisa, membawanya ke markas Kodim Wamena. Sehari setelah itu, Errisa mencari tiket untuk pulang ke Ponorogo, sampai hari ini.

Dua kali dalam hidupnya Erissa terpaksa meninggalkan Wamena akibat kerusuhan, pada tahun 2000 dan 2019. Pada September lalu, dia bahkan tidak sempat menyelamatkan sedikitpun harta bendanya, karena harus pergi saat mengajar di kampus.

“Kalau ditanya apakah saya mau kembali ke Wamena atau tidak, sekarang ini jawabannya tidak. Selanjutnya ke depan saya tidak tahu seperti apa. Saya trauma. Saya kan mengajar di sana. Saya berhadapan dengan mahasiswa. Untuk membayangkan saya berhadapan dengan mahasiswa saja, sekarang saya ketakutan,” tambahnya.

Keadaan Pulih, Proses Hukum Jalan

Kerusuhan Wamena menelan korban 33 orang meninggal dunia dan lebih dari 11 ribu warga non Papua pergi meninggalkan kota itu. Data Kementerian PUPR menyebut, 10 kantor pemerintahan rusak berat dan delapan lainnya rusak ringan. Kerugian akibat rusaknya kantor pemerintahan itu tercatat Rp 25,6 miliar. Selain itu, setidaknya 26 sarana pendidikan, 450 ruko, dan 165 rumah warga rusak serta 220 unit kendaraan rusak atau terbakar.

Setelah melakukan penyelidikan menyeluruh, kepolisian menetapkan 21 orang tersangka pelaku kerusuhan Wamena. Menurut aktivis HAM Pegunungan Tengah Papua yang tinggal di Wamena, Theo Hesegem, keadaan sudah berangsur pulih.

Polres Jayawijaya menyalurkan bantuan untuk korban kerusuhan di berbagai tempat di Wamena pada 24 November 2019. (Foto: Humas Polda Papua)

“Kondisinya aman-aman saja, tetapi kalau pasukan TNI dan Polri tetap siaga. Hubungan dengan warga lain semua baik dan saling menjaga satu sama lain, baik warga non Papua dan orang asli Papua,” kata Theo.

Theo bersama sejumlah pengacara, aktivis HAM dan relawan geraja membentuk Tim Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia Untuk Papua. Tim ini telah mendampingi proses hukum bagi 21 tersangka di Wamena.

“Situasi pasca kerusuhan berlanjut pada proses hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian kepada masyarakat di Wamena, melalui penangkapan dan penahanan terhadap masyarakat sipil terutama pelajar dan mahasiswa,” kata Theo yang juga Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua.

Dari 21 tersangka itu, 16 orang ditahan di Rutan Polres Jayawijaya, satu orang ditahan di rutan Lembaga Permasayarakat Wamena, satu orang ditahan di rutan Sektor Kawasan Bandara Wamena, dan tiga orang dikirim ke rutan Polda Papua.

Persidangan Diharapkan di Wamena

Pengacara Mersi Fera Waromi akhir pekan lalu kepada VOA mengatakan, dari seluruh berkas, baru satu yang sudah P21 dan dilimpahkan ke Kejaksaan. Mersi Fera Waromi adalah Koordinator Tim Koalisi Penegak Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk Papua di Kota Wamena. Dalam tiga minggu terakhir, pengacara yang biasanya tinggal di Jayapura ini, berada di Wamena untuk memperlancar proses hukum bagi kliennya.

Secara umum, kata Mersi, situasi Wamena aman dan kondusif. Meski begitu, dia menceritakan ada sejumlah warga yang memilih mengungsi ke kampung-kampung, karena takut sesuatu yang buruk kembali terjadi di kota Wamena.

“Banyak masyarakat yang mengungsi ke kampung jadi yang di kota sini mereka takut kalau terjadi sesuatu, karena pengamanannya ini, pokoknya di setiap sudut berapa meter itu ada tentara, polisi. Jadi mereka memilih untuk lebih baik mengungsi ke kampung mereka,” ujar Mersi.

Ipda Made Ambo dari Polda Papua memimpin Satgas trauma healing Ops Kasih Matoa 2019 pasca kerusuhan, di TK Mutiara Hati, Wamena, Selasa (26/11). (Foto: Humas Polda Papua)

Terkait persidangan bagi para tersangka kasus kerusuhan Wamena yang akan segera dilaksanakan, tim pembela hukum berharap lokasinya tetap berada di Wamena. Sebelum ini, muncul berbagai wacana untuk memindahkan persidangan ke kota lain dengan alasan keamanan. Menurut Mersi, keluarga seluruh tersangka bersedia menjamin, bahwa mereka akan menghormati proses hukum yang berjalan.

“Memang jaminan dari keluarga, mereka pastikan bahwa jika persidangan dilakukan di Wamena mereka menjaminkan persidangan akan berjalan lacar, menghormati dan menghargai proses hukum yang saat ini dijalani oleh anak atau saudara mereka yang ada di dalam tahanan,” ujarnya.

Para tersangka ini didakwa melanggar ketertiban umum sesuai pasal 170 KUHP dengan ancaman pidana lima tahun enam bulan. Sejauh ini, hak-hak para tersangka, menurut Mersi cukup terjamin, meski kadang ada peristiwa di mana titipan daging atau ubi dari keluarga untuk mereka tidak tersampaikan dengan baik. Selain itu, ada tahanan mahasiswi yang dalam kondisi sakit dan membutuhkan perhatian lebih.

Di luar persoalan hukum ini, Mersi berharap upaya pemberian ganti rugi kepada para korban kerusuhan dapat dilakukan dengan baik, terutama oleh pemerintah pusat melalui aparat daerah. Proses ganti rugi diharapkan mampu mendukung upaya perdamaian, setelah pecahnya kerusuhan pada akhir September itu. [ns/ab]