“Trial by Social Media” Dampak Kegandrungan Warga Selesaikan Kasus Kejahatan Lewat Sosmed

Bryan Kohberger (baju tahanan oranye), yang dituduh membunuh empat mahasiswa Universitas Idaho pada November 2022, hadir dalam persidangan di Pengadilan Distrik Latah County, negara bagian Idaho hari Kamis, 5 Januari 2023.

Tersangka pelaku pembunuhan empat mahasiswa Universitas Idaho ditangkap dan akan diadili. Kegandrungan warga terutama di dunia maya, untuk ikut menyelidiki kasus ini, memberi tekanan pada polisi dan pengadilan. Fenomena “trial by social media” ini tidak hanya terjadi di AS tetapi juga di Indonesia. 

Jaksa Latah County, negara bagian Idaho, Bill Thompson, mengumumkan tuntutan terhadap terdakwa Bryan Kohberger, seorang kandidat doktor di Washington State University, dengan empat tuduhan pembunuhan tingkat pertama. Kohberger, yang ditangkap di rumahnya di Pennsylvania pada akhir Desember, dipindahkan ke Idaho pada 4 Januari lalu.

Pembunuhan empat mahasiswa Universitas Idaho pada 13 November lalu mengguncang publik Amerika. Selain karena Moskow, kota kecil di mana kampus itu berada jarang diguncang kejahatan; jumlah korban dan cara mereka dihabisi membuat polisi kelimpungan menyelidiki kasus itu. Empat korban – yang terdiri dari tiga mahasiswi dan seorang mahasiswa – dibunuh di sebuah rumah sewa. Mereka adalah Kaylee Goncalves, Madison Mogen, Xana Kernodle dan Ethan Chapin. Dua mahasiswi lain di rumah itu selamat dan sama sekali tidak mengetahui insiden pada Minggu dini hari itu hingga mereka terbangun pada siang harinya.

Perkuliahan di kampus yang terletak di kawasan perbukitan yang indah itu sempat ditangguhkan, sementara kelompok-kelompok “detektif” kecil-kecil bermunculan secara daring dan luring, mendesak polisi untuk segera menemukan tersangka pelaku dan mengetahui motifnya. Radio, televisi dan surat kabar di seluruh Amerika secara reguler memberikan update informasi terkini.

BACA JUGA: Penangkapan Tersangka Pembunuh 4 Mahasiswa di Idaho Melegakan

Sementara di Facebook muncul puluhan kelompok – yang masing-masing memiliki ratusan ribu anggota – yang secara intensif berdiskusi dan berbagi informasi tentang kasus pembunuhan itu. Belum termasuk TikTok, Reels dan podcast baru yang bermunculan.

Berbeda dengan aparat keamanan yang bekerja dengan sangat hati-hati sebelum mencurigai seseorang, kelompok warga yang gandrung dengan kasus kejahatan ini tidak segan-segan menunjuk mereka-mereka yang dicurigai tahu atau bahkan terlibat dalam pembunuhan itu. Tak terkecuali mantan pacar salah seorang korban, tetangga rumah naas itu hingga kedua mahasiswi yang selamat dalam insiden itu. Mereka yang diburu akhirnya menarik diri dengan mengundurkan diri dari kampus, atau keluar dari daerah itu untuk sementara waktu.

Pakar: Self-Awareness Effect vs Bystander Effect

“Trial by the social media” ini menjadi satu kajian yang menarik, terlebih hal ini tidak saja terjadi di Amerika, tetapi juga di Indonesia dan banyak negara lain. Pakar komunikasi dan digital media di Universitas Indonesia Dr. Firman Kurniawan mengatakan kegandrungan masyarakat menyelesaikan kasus kejahatan lewat media sosial, dikarenakan secara tidak langsung publik merasa terhubung.

Doktor Firman Kurniawan, pemerhati komunikasi dan budaya digital, sekaligus pengajar di Universitas Indonesia.

“Oh saya ikut terlibat dalam upaya memecahkan persoalan ini. Oh jika saya ikut membantu aparat menyelesaikan kasus ini, publik melihat saya berkontribusi. Zaman digital yang membuat kita terhubung satu sama lain, memicu untuk melakukan tindakan agar menjadi bagian yang dilihat pengguna media sosial lain dan sebagainya. Mereka tidak menyadari bahwa hal itu mencampuri wewenang aparat keamanan,” jelasnya.

Firman menyebut teori self-awareness effect, di mana ketika orang sadar ada yang orang lain yang melihat, ada sorotan kamera dan media, mereka membantu secara berlebihan. Walhasil mereka tidak saja mencampuri wewenang aparat keamanan, tetapi juga ikut menekan proses pengadilan, atau bahkan main hakim sendiri. Kebalikan teori ini, papar Firman, adalah teori bystander effect, di mana orang cenderung tidak memberi pertolongan jika ada orang lain di lokasi, karena mereka saling mengandalkan satu sama lain. Walhasil tidak ada yang membantu.

Your browser doesn’t support HTML5

“Trial by Social Media,” Dampak Kegandrungan Warga Selesaikan Kasus Kejahatan Lewat Sosmed


Jessica “Diadili” Sosmed Sebelum Vonis Pengadilan

Anda masih ingat kasus kopi racun di Grand Indonesia kan? Lima tahun lalu, pada 6 Januari 2016, Wayan Mirna Salihin kejang-kejang dan meninggal tak lama seusai menyeruput kopi yang ternyata berisi racun sianida. Teman kuliahnya Jessica Kumala Wongso dituding memasukkan racun itu.

Jauh sebelum polisi menarik kesimpulan dan pengadilan menetapkan putusan, publik lewat berbagai teorinya, sudah terlebih dahulu menyatakan Jessica bersalah. Perempuan kelahiran tahun 1988 itu akhirnya memang divonis 20 tahun penjara, tetapi menurut sejumlah pakar ketika itu, tidak ada bukti yang benar-benar menguatkan bahwa Jessica membunuh Wayan Mirna.

BACA JUGA: Pengacara Jessica Sangkal Pembunuhan Gunakan Sianida

Associate Profesor di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo Nurwanto adalah salah seorang yang menyesalkan kuatnya tekanan terhadap pengadilan ketika itu.

Associate Profesor di Fakultas Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo Nurwanto. (Foto: Dok Pribadi)

“Sejak awal orang sangat yakin Jessica pelakunya, padahal tidak cukup bukti. Di CCTV pun tidak kelihatan jika dikatakan Jessica meletakkan sianida ke cangkir kopi Wayan Mirna. Tapi pengaruh di media sosial kuat sekali," katanya.

"Hakim pun yakin Jessica bersalah. Padahal hanya ada dua bukti yang memberatkan Jessica: keyakinan hakim dan kegagalannya dalam tes kebohongan. Tidak ada bukti yang kuat. Sama halnya dengan kasus Ferdi Sambo sekarang ini, orang sudah keburu yakin Sambo bersalah dan Putri (istri Sambo.red) adalah biang kerok. Soal dugaan Joshua memperkosa Putri tenggelam dengan opini bahwa Sambo bersalah dan Putri biang kerok. Padahal tidak mungkin Sambo semarah itu jika tidak ada api,” ujar Heru.

Kasus pembunuhan Brigadir Joshua yang melibatkan Ferdi Sambo (tengah), telah menyeret masyarakat untuk ikut memberikan "tekanan" terhadap proses pengadilan melalui media sosial. (VOA/Indra Yoga)

Lain lagi kasus di India pada pertengahan tahun 2018. Kekesalan warga melihat tidak kunjung tertangkapnya pelaku penculik anak-anak, membuat mereka menyebarluaskan sketsa wajah pelaku dan berita yang dibesar-besarkan lewat WhatsApp. Empat orang yang dinilai memiliki wajah mirip dan gelagat mencurigakan, diserang. Satu orang tewas, tiga lainnya luka parah.

Kasus serupa juga terjadi di Meksiko, Myanmar, Sri Lanka dan negara-negara lain.

Sosmed Ikut Dorong Penyelidikan

“Ada rasa saling mempengaruhi di antara masyarakat pengguna media sosial. Ada resonansi. Ketika ada yang pernah mengatakan “ya saya ada di situ, atau saya tinggal di dekat situ,” maka ia diburu dengan pertanyaan-pertanyaan: “apa yang kamu dengar, mengapa kamu tidak mendengar atau melihat sesuatu yang mencurigakan, dan lain-lain. Padahal warga sosmed ini tidak punya wewenang untuk itu, tidak tahu batasannya, atau tidak memiliki kemampuan menyelidiki hal itu. Walhasil bisa berpotensi merusak TKP, membuat orang yang diburu kabur, dan bahkan menyulitkan pengungkapan kasus,” ujar Firman Kurniawan.

BACA JUGA: Johnny Depp Menangkan Gugatan Pencemaran Nama Baik terhadap Amber Heard

Namun media sosial juga memiliki sisi positif dalam mengungkapkan kasus kejahatan dan menyeret pelakunya ke muka hukum. Dalam kasus di Idaho ini, besarnya tekanan publik membuat aparat keamanan bekerja tanpa henti dengan berbagai badan lain di negara-negara bagian berbeda; dan sesama pengguna media sosial memberikan lebih dari 20.000 petunjuk kepada polisi, yang sebagian di antaranya berkontribusi pada penangkapan Kohberger.

Bukti di Pengadilan?

Tetapi sebagaimana dengan kasus serupa di Indonesia, Heru Susetyo Nurwanto ragu jika bukti dari media sosial dapat digunakan di pengadilan.

“Alat bukti itu ada lima, yaitu keterangan ahli, keterangan saksi, bukti surat dan petunjuk, serta keyakinan hakim. Apa yang didapat dari media sosial itu bisa masuk kategori petunjuk, meskipun tidak semua harus ditelan oleh hakim. Hakim bisa memilih mana yang betul, mana yang hoaks/fake news (berita bohong, red). Informasi di media sosial separuhnya itu hoaks, karena tidak ada klarifikasi, check-recheck. Hakim harus punya kemampuan menilai pada yang benar-benar justified, research based, dan mana yang provokatif,” ujar Heru.

Sebagai pakar komunikasi, Dr. Firman Kurniawan mengakui munculnya “kepelikan baru” ketika kasus-kasus hukum berkelindan dengan media sosial.

Dalam kasus di Idaho, pengadilan diperkirakan akan membutuhkan waktu yang tidak sedikit untuk menetapkan juri yang bisa obyektif menilai kasus ini, meskipun sudah diberitakan luas di media mainstream dan media sosial. Sementara di Indonesia, mengingat putusan ada di tangan hakim, maka ia sedianya membuka semua indra, memiliki pemahaman hukum yang teguh dan mengabdi pada keadilan. [em/lt]