Namun, sebagaimana dilaporkan Kepala Biro Gedung Putih Patsy Widakuswara, presiden terpilih itu mungkin perlu menyeimbangkan pendiriannya itu dengan haluan utama Amerika untuk melindungi Israel, mengisolasi Iran dan berurusan dengan Rusia, Turki dan aktor-aktor lain.
Warga Suriah masih merayakan tergulingnya Presiden Bashar Al Assad, yang kini melarikan diri ke Rusia. Tetapi masa depan negara itu masih belum jelas seiring tindakan yang dilakukan kekuatan-kekuatan di kawasan itu, yang berebut mengamankan kepentingan mereka.
Dari selatan, Israel melancarkan serangan untuk melemahkan apa yang tersisa dari militer sekutu Iran. Di utara, kelompok pemberontak yang didukung Turki merebut sebagian wilayah dan membuat menyebabkan warga Kurdi-Suriah melarikan diri.
Sementara Presiden AS Joe Biden juga bergerak cepat dengan meluncurkan serangan udara terhadap target-target kelompok ISIS di Suriah.
“Amerika akan bekerja dengan mitra-mitra dan pemangku kepentingan di Suriah untuk membantu mereka mengambil peluang dalam mengelola risiko,” kata Biden.
BACA JUGA: Menlu Amerika Serikat Blinken ke Timur Tengah Saat Suriah Susun Masa Depan Pasca-AssadSebaliknya presiden terpilih Donald Trump mengisyaratkan pendekatan yang lebih lepas tangan. “Sepertinya dunia saat ini sedang sedikit gila,” ujarnya.
Amerika telah menyatakan Hayat Tahrir Al-Sham, kelompok yang menggulingkan Assad, sebagai organisasi teroris asing. Namun Trump tetap menginginkan Amerika tidak terlibat dengan konflik di Suriah ini. “Ini bukan perang kita,” cuitnya di media sosial.
Tulsi Gabbard, yang dipilih Trump untuk menjadi kepala badan intelijen, setuju.
“Sebagaimana yang telah disampaikannya berulang kali, Trump berkomitmen penuh untuk mengakhiri perang, menunjukkan perdamaian lewat kekuatan, dan mengutamakan kepentingan keamanan nasional serta keselamatan, keamanan, dan kebebasan rakyat Amerika,” ujar Gabbard.
Namun, dengan lengsernya Assad, Trump mungkin perlu menyeimbangkan sikap nonintervensionisnya dengan haluan utama AS untuk melindungi sekutu-sekutunya – seperti Israel dan Yordania – serta menghindari kebangkitan kelompok-kelompok teroris seperti ISIS.
Christopher O’Leary yang memusatkan perhatian pada kontraterorisme di Soufan Group mengatakan, "Mengurangi akses terhadap senjata kimia, mengurangi kemampuan organisasi teroris di wilayah yang tidak memiliki pemerintahan atau di wilayah di negara yang gagal, di mana tidak ada orang lain yang dapat melakukannya. Menurut saya ini langkah yang sangat cerdas. Dan saya pikir kemungkinan besar itulah yang akan terus dilakukan oleh Presiden Trump.”
Pada masa jabatan pertamanya, Trump memerintahkan serangan terhadap rezim Assad sebagai respons terhadap serangan senjata kimia, namun lebih fokus untuk mengalahkan ISIS.
Trump juga memerintahkan pasukan AS keluar dari Suriah pada tahun 2019, dan hanya meninggalkan beberapa ratus tentara AS untuk melindungi ladang-ladang minyak.
Kebijakan itu membuatnya dikecam luas karena dinilai meninggalkan sekutunya. Setelah penarikan tersebut, Turki melancarkan serangan terhadap pasukan Kurdi yang bertempur bersama tentara Amerika untuk menghancurkan ISIS di Suriah.
Kali ini Trump mengatakan, “Biarkan saja. Kita tidak perlu terlibat.”
Namun dengan banyaknya kepentingan AS di kawasan ini, hal ini mungkin lebih mudah diucapkan daripada dijalankan. [em/jm]
Simak juga:
Your browser doesn’t support HTML5