Seorang perempuan tewas Sabtu lalu, di Charlottesville, Virginia, setelah sebuah mobil berkecepatan tinggi dengan sengaja menabrak kerumunan demonstran yang menentang pawai itu. Tragedi ini membangkitkan kembali perdebatan mengenai batas antara kebebasan berbicara dan kejahatan bermotif kebencian.
Di Gedung Putih, Senin, Presiden Trump mengeluarkan pernyataan yang menurut sejumlah pihak seharusnya disampaikan dua hari sebelumnya.
"Rasisme adalah kejahatan. Mereka yang memicu kekerasan dengan mengatasnamakan rasisme adalah penjahat, termasuk Ku Klux Klan, neo-Nazi, kelompok-kelompok supremasi kulit putih dan kelompok-kelompok kebencian lain. Semua itu bertentangan dengan apa yang dijunjung tinggi oleh rakyat Amerika,” ujar Presiden Donald Trump.
Pernyataan Trump yang ditayangkan televisi ini muncul menyusul kecaman bipartisan terhadap pernyataan awal Trump Sabtu lalu, yang mengungkapkan bahwa ia mengecam kebencian dan kefanatikan namun tidak secara tegas menentang kelompok-kelompok supremasi kulit putih dan lainnya yang menyelenggarakan pawai itu.
Pawai akbar itu berubah menjadi aksi kekerasan setelah para partisipannya bentrok dengan para penentangnya yang juga menyelenggarakan demonstrasi tandingan.
Heather Heyer yang berusia 32 tahun termasuk dalam kelompok yang menentang pawai itu. Ia tewas setelah sebuah mobil berkecepatan tinggi dengan sengaja menabrak kerumunan massa yang menentangnya.
Permohonan pembebasan dengan jaminan yang diajukan oleh pengendara mobil itu, James Fields Jr, 20 tahun, ditolak oleh pengadilan, Senin. Ia menghadapi tuduhan melakukan pembunuhan tidak direncanakan, dan sejumlah dakwaan lain.
Para aktivis hak sipil mengatakan, memutuskan kapan kebebasan berbicara bisa dianggap memicu kekerasan adalah tantangan besar bagi para penegak hukum dan sistem hukum Amerika
Laura Murphy adalah pakar kebebasan berbicara yang pernah mengabdi di Serikat Kebebasan Sipil Amerika (UCLA) selama hampir 20 tahun.
"Sangat penting untuk membedakan antara tindakan dan sekadar pernyataan. Mahkamah Agung mengizinkan pernyataan yang sangat provokatif dan diwarnai kebencian untuk diungkapkan. Saya kira itu merupakan hal yang baik karena jika orang-orang tidak boleh mengungkapkannya, mereka tidak bisa melakukan apa-apa mengenai hal itu,“ ujar Laura Murphy.
Gabe Rottman adalah pakar keamanan nasional dan konstitusi di organisasi Pen America.
"Amademen Pertama konstitusi tidak berarti apa-apa jika kita tidak bisa secara bebas mengungkapkan pendapat kita. Para penegak hukum tidak boleh membungkam seseorang atau sebuah pihak untuk mengungkapkan pendapat, sekalipun ada peluang memicu kekerasan, Yang dapat mereka lakukan adalah meningkatkan proteksi di kedua belah pihak, untuk memastikan tidak terjadi bentrokan kekerasan,” ujar Gabe Rottman.
Rabi Marvin Hier dari Simon Wiesenthal Center di Los Angeles mengatakan intoleransi bisa mengubah kata-kata menjadi tindakan dengan sangat cepat.
"Ketika kita menyaksikan secara jelas terminologi yang sama digunakan berulangkali, kita harus menghimpun kekuatan, kekuatan edukasi. Kita tidak boleh membiarkannya begitu saja. Di sekolah orang tahu bagaimana sejarah mengenai ajaran Nazi,” papar Marvin Hier.
Departemen Kehakiman AS telah menggelar penyelidikan hak sipil terkait kekerasan Sabtu lalu itu. [ab/lt]