Sewaktu masih calon presiden tahun lalu, Donald Trump berjanji akan menjadi pemersatu, bukan pemecah. Tetapi dalam tujuh bulan menjabat, terbukti sulit untuk memenuhi janji itu.
Komentar kontroversial Trump yang menyalahkan kedua belah pihak dalam kekerasan baru-baru ini di Charlottesville, Virginia, telah membawa fokus baru pada pertanyaan, apakah presiden mengambil langkah untuk memulihkan negara ini dalam kesatuan atau perpecahan.
Seminggu ini penuh dengan ucapan Presiden Trump yang bertentangan. Berbicara kepada kelompok veteran di Nevada, presiden berbicara tentang persatuan.
"Sudah waktunya untuk menyembuhkan luka-luka yang membelah kita dan mencari kesatuan baru berdasarkan nilai-nilai bersama yang menyatukan kita," kata Trump.
Tetapi sehari sebelumnya pada satu rapat umum bergaya kampanye di Phoenix, Trump menyerang lawan politiknya dan media. Dia juga membela komentar kontroversialnya yang menyalahkan kedua belah yang menyebabkan terjadi kekerasan di Charlottesville.
"Ada supremasi kulit putih, neo-Nazi, saya tahu semuanya di sana. Mari kita lihat, KKK (Ku Klux Klan). KKK juga ada di sana. Jadi mereka (media) menghadapi kesulitan. Jadi apa yang mereka katakan? "Seharusnya tanggapan presiden lebih cepat. Dia seorang rasis!," sindir Trump.
Rapat umum Trump juga dihadiri pemrotes yang mendapat semangat dari peristiwa Charlottesville.
Seorang pemrotes anti Trump mengatakan, "Saya benar-benar tercengang dengan perilaku pria itu dalam menjabat. Sama sekali kacau."
Peristiwa yang terjadi di Charlottesville tidak membantu jajak pendapat tentang Trump yang memang sudah lemah, kata sejarawan Allan Lichtman.
"Dibandingkan dengan presiden lain dalam krisis lain yang berhasil membawa negara ini bersatu, Trump dinilai gagal," ulasnya.
Ketegangan yang meningkat antara Trump dan para pemuka Fraksi Republik di Kongres bisa menimbulkan masalah, kata Larry Sabato.
"Harus ada inisiatif di Kongres dari Fraksi Republik. Mereka mayoritas di keduanya, DPR dan Kongres, dan mereka bakal menghadapi pemilihan berikutnya. Trump tidak ikut dalam pemilihan tahun 2018," tutur Sabato.
Sebuah jajak pendapat Quinnipiac baru mendapati, 62 persen dari mereka yang disurvei melihat Trump sebagai pemecah, sementara 31 persen melihatnya sebagai seorang pemersatu. [sp/al]