Presiden Amerika Serikat terpilih Donald Trump memilih sekutu lama dan orang luar yang dinilai oleh banyak pihak sebagai pengganggu, untuk memimpin badan-badan intelijen Amerika saat ia bersiap memulai masa jabatan keduanya pada 20 Januari mendatang.
Trump pada Selasa (12/11) sore mengumumkan dia berencana mengangkat John Ratcliffe sebagai direktur CIA. Pada masa kepresidenan Trump yang pertama, Ratcliffe menjabat sebagai direktur intelijen nasional.
Dalam pengumuman kedua pada Rabu (13/11) malam, Trump mengatakan akan mencalonkan mantan anggota DPR dari Partai Demokrat Tulsi Gabbard sebagai direktur intelijen nasional, yang akan mengawasi 18 badan intelijen pemerintah AS. Kedua pencalonan tersebut harus memperoleh konfirmasi dari Senat AS, yang kini dikuasai Partai Republik.
Dari kedua pencalonan tersebut, keputusan Trump dalam menunjuk Gabbard sebagai pejabat intelijen utamanya mengejutkan sejumlah anggota Kongres dan mantan pejabat intelijen.
BACA JUGA: Trump Tunjuk Aktivis Anti-Vaksin Robert F. Kennedy Jr. sebagai Menteri KesehatanGabbard, yang merupakan seorang veteran di Pasukan Tentara Nasional, pernah bertugas di Irak dan Kuwait, serta kemudian menjadi pemeluk Hindu pertama yang terpilih menjadi anggota DPR Amerika Serikat, mewakili negara bagian Hawaii dari Partai Demokrat.
Selama lebih dari 20 tahun bertugas di Tentara Nasional, Gabbard dianugerahi lencana medis pertempuran, namun tidak pernah memegang jabatan pemimpin senior.
Trump, yang berjanji untuk memberantas apa yang ia sebut sebagai korupsi di badan-badan intelijen dalam kampanyenya, memuji pendekatan yang dilakukan Gabbard.
"Saya tahu Tulsi akan membawa semangat berani kepada Komunitas Intelijen kita, yang telah ia tunjukkan selama karirnya, mengusung Hak Konstitusi kita, dan mencapai Perdamaian melalui Kekuatan," ujarnya dalam sebuah pernyataan.
BACA JUGA: Pete Hegseth, Sosok Anti-Woke yang dipilih Trump Sebagai Kandidat Menteri PertahananNamun Gabbard memiliki pendapat yang kontroversial di masa lalu, yang kerap menuai kritik baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial pada Maret 2022, Gabbard menuduh terdapat lebih dari 25 biolab yang didanai AS di Ukraina, "yang melakukan penelitian tentang patogen berbahaya." Dia menyerukan pemerintah AS dan sekutunya, serta Rusia dan Ukraina, untuk mengimplementasikan gencatan senjata untuk memastikan agar patogen itu tidak merebak.
Senator Partai Republik Mitt Romney menanggapi hal itu dengan menuduhnya telah "menyuarakan propaganda palsu Rusia."
"Pengkhianatannya mungkin akan menelan korban jiwa," tegas Romney.
Beberapa hari sebelumnya, para pejabat senior intelijen AS mengatakan kepada anggota Kongres bahwa mereka tengah memerangi operasi pengaruh yang diarahkan oleh Rusia, yang bertujuan untuk meyakinkan publik bahwa Ukraina sedang mengupayakan senjata biologis.
Gabbard juga dikritik pada tahun 2017 karena melakukan perjalanan ke Suriah dan bertemu dengan Presiden Bashar al-Assad, yang dituduh melakukan kejahatan perang. Dia membela lawatan itu dengan mengatakan, penting untuk bertemu dengan musuh kalau "Anda serius hendak memperjuangkan perdamaian."
Anggota Partai Demokrat di DPR dari negara bagian Virginia, yang juga mantan pejabat Badan Keamanan Siber dan Keamanan Infrastruktur (CISA), Abigail Spanberger, menulis di X pada Rabu (13/11) malam bahwa ia "terkejut" dengan pencalonan Tulsi.
"Tidak hanya ia tidak siap dan tidak memenuhi syarat, tetapi dia menyebarkan teori konspirasi dan bersahabat dengan diktator seperti Bashar al Assad dan Vladimir Putin," tulis Spanberger. "Saya sangat prihatin dengan apa yang ditimbulkan oleh pencalonan ini terhadap keamanan nasional kita." [jm/em/rs]