Lembaga Bantuan Hukum Anak Aceh baru-baru ini mendampingi sejumlah anak korban perdagangan manusia (human trafficking) jaringan internasional.
Para pengacara dari LBH Anak Aceh tengah menangani kasus tujuh anak yang jadi korban human trafficking ini. Korban trafficking sebagian besar merupakan pelajar perempuan berusia sekitar 14 hingga 16 tahun.
Menurut Manager Program LBH Anak Aceh Rudy Bastian mengatakan di Banda Aceh Sabtu (5/5), modus utama pelaku kejahatan trafficking, salah satunya dengan membujuk anak dan remaja Aceh untuk berwisata ke luar negeri untuk kemudian dipaksa menjadi pekerja seks komersial.
Menurut Rudy, pihaknya menangani kasus kejahatan trafficking pertama, dengan jumlah korban tujuh anak, seluruhnya perempuan. "Total ada enam kasus trafficking, dengan total (korban) tujuh orang. Alhamdulillah ke tujuh (korban) sudah selesai sekarang. Pelakunya tengah diproses melalui jalur hukum,” ungkap Rudy.
Lebih lanjut Rudy Sebastian mengatakan pihak kepolisian Aceh bekerjasama dengan jaringan Interpol berbagai negara tengah mengusut dan mengungkap dugaan keterlibatan sindikat (internasional) perdagangan manusia (human trafficking) yang beraksi di Aceh.
“Kepolisian mengatakan (kasus) ini terhubung dengan sindikat kejahatan internasional. Polisi sampai saat ini baru bertindak sampai tataran menagkap mucikari atau agennya. Pelakunya lokal, dia yang mencari, merekrut dan membujuk korban,” kata manajer LBH Anak Aceh ini.
Pihak kepolisian Aceh telah mengingatkan bahwa kasus perdagangan manusia (human trafficking) merupakan kejahatan lintas negara (transnational crime), praktik kejahatan tersebut cukup rentan menimpa anak-anak dan perempuan, terutama dari masyarakat yang memiliki pendidikan minim dan dengan latar belakang kemampuan ekonomi keluarga yang cukup terbatas.
Kepala Unit Pelayan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Daerah Aceh Ajun Komisaris Polisi (AKP) Elfiana mengatakan, polisi telah melimpahkan ke pihak kejaksaan setempat tersangka berinisial MI dan AY. Keduanya berdomisili di provinsi Aceh dan merupakan tersangka pelaku kejahatan trafficking terhadap beberapa anak asal Aceh.
“Tindaklanjutnya, kita (Polda Aceh) sudah mengirim berkas (perkara)-nya ke Jaksa Penuntut Umum,tinggal seorang tersangka yang di Batam, kita sudah buatkan surat panggilan , belum muncul dan kita masukkan ke datar pencarian orang atau DPO Polda Aceh,” kata Elfiana.
Dari pemeriksaan kedua tersangka MI dan AY, terdapat kemungkinan adanya keterlibatan pelaku dari sindikat internasional. Terutama terhadap seorang tersangka yang dimasukkan daftar pencarian orang (DPO) Polri, yang berdomisili di Batam. “Indikasinya ada (terutama) tersangka DPO asal Batam itu, kita telah layangkan surat untuk berelasi dengan Interpol,” lanjut Elfiana.
Kepolisian Daerah (Polda) Aceh menempuh langkah-langkah antisipasi mencegah kasus-kasus kejahatan perdagangan orang (human trafficking) di Aceh.
“Kita melakukan penyuluhan dan sosialisasi, terutama melalui program 'Polisi Saweu Sikula', melibatkan partisipasi murid-murid sekolah, masyarakat, aparat desa dan peran keluarga,” kata Elfiana.
Pihak pemerintah kota Banda Aceh sejauh ini ikut merespon dan menyatakan dukungannya terhadap langkah-langkah pencegahan yang dilakukan polisi. Namun Wakil Walikota Banda Aceh terpilih Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, memperkuat partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya pencegahan kejahatan trafficking .
“Semua ini tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah , tetapi harus melibatkan masyarakat, antara lain mukim, pemuda, kelompok perempuan agar mampu mendeteksi dini berbagai kejahatan yang berpotensi muncul di lingkungan masyarakat,” kata Illiza Sa'aduddin Djamal.
Manajer Program LBH Anak Aceh Rudy Sebastian menghimbau agar masyarakat meningkatkan peran pengawasan mulai dari lingkungan keluarga, sehingga generasi muda Aceh terhindar dari para pelaku kejahatan perdagangan manusia.
“Hati-hati dengan pacar anak-anak kita, dalam kasus trafficking ada temuan ada pacar yang membawa lari anak gadis , pacar itu sebenarnya agen, lebih lembut sehingga orang tua cenderung percaya anaknya jalan-jalan, itu awal kasus terjadi,” jelas Tudy.
LBH Anak Aceh menjalin kerjasama dengan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), AusAID (Australia), Caritas Jerman, termasuk dengan Unicef selaku induk organisasi perlindungan anak internasional.
Para aktivis di lembaga tersebut mencatat kasus tujuh anak Aceh korban trafficking tersebut terungkap pertama kalinya pada bulan Januari 2012 lalu. Sejak saat itu upaya advokasi LBH Anak Aceh mendapat respon sejumlah kalangan terutama, aparat penegak hukum pemerintah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan pada masyarakat internasional untuk memperkuat upaya untuk memerangi perdagangan manusia. Pihak PBB menyebut, lebih dua juta orang di seluruh dunia menjadi korban perdagangan manusia.
Dalam pertemuan Majelis Umum khusus tentang perdagangan manusia baru-baru ini di Markas PBB di New York AS, Kepala Badan Narkotika dan Kejahatan PBB, Yuri Fedotov mengatakan, 80 persen korban trafficking dieksploitasi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pengamat mengatakan, para pelaku kejahatan perdagangan manusia mengeruk keuntungan dari bisnis tersebut hingga 32 Miliar Dolar AS.
Menurut Manager Program LBH Anak Aceh Rudy Bastian mengatakan di Banda Aceh Sabtu (5/5), modus utama pelaku kejahatan trafficking, salah satunya dengan membujuk anak dan remaja Aceh untuk berwisata ke luar negeri untuk kemudian dipaksa menjadi pekerja seks komersial.
Menurut Rudy, pihaknya menangani kasus kejahatan trafficking pertama, dengan jumlah korban tujuh anak, seluruhnya perempuan. "Total ada enam kasus trafficking, dengan total (korban) tujuh orang. Alhamdulillah ke tujuh (korban) sudah selesai sekarang. Pelakunya tengah diproses melalui jalur hukum,” ungkap Rudy.
Lebih lanjut Rudy Sebastian mengatakan pihak kepolisian Aceh bekerjasama dengan jaringan Interpol berbagai negara tengah mengusut dan mengungkap dugaan keterlibatan sindikat (internasional) perdagangan manusia (human trafficking) yang beraksi di Aceh.
“Kepolisian mengatakan (kasus) ini terhubung dengan sindikat kejahatan internasional. Polisi sampai saat ini baru bertindak sampai tataran menagkap mucikari atau agennya. Pelakunya lokal, dia yang mencari, merekrut dan membujuk korban,” kata manajer LBH Anak Aceh ini.
Pihak kepolisian Aceh telah mengingatkan bahwa kasus perdagangan manusia (human trafficking) merupakan kejahatan lintas negara (transnational crime), praktik kejahatan tersebut cukup rentan menimpa anak-anak dan perempuan, terutama dari masyarakat yang memiliki pendidikan minim dan dengan latar belakang kemampuan ekonomi keluarga yang cukup terbatas.
Kepala Unit Pelayan Perempuan dan Anak (PPA) Kepolisian Daerah Aceh Ajun Komisaris Polisi (AKP) Elfiana mengatakan, polisi telah melimpahkan ke pihak kejaksaan setempat tersangka berinisial MI dan AY. Keduanya berdomisili di provinsi Aceh dan merupakan tersangka pelaku kejahatan trafficking terhadap beberapa anak asal Aceh.
“Tindaklanjutnya, kita (Polda Aceh) sudah mengirim berkas (perkara)-nya ke Jaksa Penuntut Umum,tinggal seorang tersangka yang di Batam, kita sudah buatkan surat panggilan , belum muncul dan kita masukkan ke datar pencarian orang atau DPO Polda Aceh,” kata Elfiana.
Dari pemeriksaan kedua tersangka MI dan AY, terdapat kemungkinan adanya keterlibatan pelaku dari sindikat internasional. Terutama terhadap seorang tersangka yang dimasukkan daftar pencarian orang (DPO) Polri, yang berdomisili di Batam. “Indikasinya ada (terutama) tersangka DPO asal Batam itu, kita telah layangkan surat untuk berelasi dengan Interpol,” lanjut Elfiana.
Kepolisian Daerah (Polda) Aceh menempuh langkah-langkah antisipasi mencegah kasus-kasus kejahatan perdagangan orang (human trafficking) di Aceh.
“Kita melakukan penyuluhan dan sosialisasi, terutama melalui program 'Polisi Saweu Sikula', melibatkan partisipasi murid-murid sekolah, masyarakat, aparat desa dan peran keluarga,” kata Elfiana.
Pihak pemerintah kota Banda Aceh sejauh ini ikut merespon dan menyatakan dukungannya terhadap langkah-langkah pencegahan yang dilakukan polisi. Namun Wakil Walikota Banda Aceh terpilih Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, memperkuat partisipasi masyarakat merupakan salah satu upaya pencegahan kejahatan trafficking .
“Semua ini tidak bisa hanya dilakukan oleh pemerintah , tetapi harus melibatkan masyarakat, antara lain mukim, pemuda, kelompok perempuan agar mampu mendeteksi dini berbagai kejahatan yang berpotensi muncul di lingkungan masyarakat,” kata Illiza Sa'aduddin Djamal.
Manajer Program LBH Anak Aceh Rudy Sebastian menghimbau agar masyarakat meningkatkan peran pengawasan mulai dari lingkungan keluarga, sehingga generasi muda Aceh terhindar dari para pelaku kejahatan perdagangan manusia.
“Hati-hati dengan pacar anak-anak kita, dalam kasus trafficking ada temuan ada pacar yang membawa lari anak gadis , pacar itu sebenarnya agen, lebih lembut sehingga orang tua cenderung percaya anaknya jalan-jalan, itu awal kasus terjadi,” jelas Tudy.
LBH Anak Aceh menjalin kerjasama dengan Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), AusAID (Australia), Caritas Jerman, termasuk dengan Unicef selaku induk organisasi perlindungan anak internasional.
Para aktivis di lembaga tersebut mencatat kasus tujuh anak Aceh korban trafficking tersebut terungkap pertama kalinya pada bulan Januari 2012 lalu. Sejak saat itu upaya advokasi LBH Anak Aceh mendapat respon sejumlah kalangan terutama, aparat penegak hukum pemerintah.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan pada masyarakat internasional untuk memperkuat upaya untuk memerangi perdagangan manusia. Pihak PBB menyebut, lebih dua juta orang di seluruh dunia menjadi korban perdagangan manusia.
Dalam pertemuan Majelis Umum khusus tentang perdagangan manusia baru-baru ini di Markas PBB di New York AS, Kepala Badan Narkotika dan Kejahatan PBB, Yuri Fedotov mengatakan, 80 persen korban trafficking dieksploitasi sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pengamat mengatakan, para pelaku kejahatan perdagangan manusia mengeruk keuntungan dari bisnis tersebut hingga 32 Miliar Dolar AS.