Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusi Yasonna Laoly mengklarifikasi pasal-pasal dalam RKUHP yang kontroversial dalam masyarakat. Menurutnya, pasal-pasal tersebut tidak bertujuan mengkriminalisasi masyarakat dan tidak lebih berat hukuman pidananya dibandingkan KUHP sekarang.
Ditambahkannya, pasal-pasal tersebut telah dibahas oleh pakar-pakar selama empat tahun dengan mempertimbangkan banyak hal. Salah satunya yaitu pasal penghinaan presiden dan wakil presiden.
"Jadi ini (pasal penghinaan presiden) delik aduan. Tapi ini juga tidak dapat diberlakukan kalau itu dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Bukan penghinaan istilahnya adalah merendahkan martabat Presiden dan Wapres secara personal," jelas Yasonna Laoly di kantor Kemenkumham, Jakarta, Jumat (20/9).
Yasonna juga membantah pasal-pasal lain seperti alat kontrasepsi, perzinahan, aborsi, dan tindak pidana korupsi. Ia meminta publik dan media massa untuk membaca draf RKUHP sebelum memprotes pasal-pasal tersebut.
BACA JUGA: ICW: Koruptor Diuntungkan Dengan Sejumlah Revisi UUNamun demikian, terkait transparansi draf RKUHP, Yasonna mengakui pemerintah kurang dalam mensosialisasikan ke masyarakat. Akibatnya, draf versi terakhir RKUHP yang sampai ke masyarakat merupakan draf lama yang beredar di sejumlah LSM. Hanya, ia membantah jika pemerintah tidak transparan dalam pembahasan RKUHP ini.
"Mungkin kesalahan kita adalah sosialisasi. Setiap ada perdebatan dari pakar, kami undang, dari Komnas HAM, dari KPK, dari mana saja. Ini adalah pertarungan ide, pembahasan apapun tidak pernah sembunyi-sembunyi," tambahnya.
Muladi Maklumi Penundaan Pengesahan RKUHP
Anggota tim perumus RKUHP Muladi memaklumi langkah pemerintah yang menunda pengesahan RKUHP. Namun, ia berharap RKUHP tersebut tetap disahkan menjadi undang-undang setelah penundaan ini.
"Pokoknya ini jangan sampai gagal, ditunda boleh, tapi kalau gagal berarti kita itu cinta kepada penjajahan. Jadi masuknya KUHP Belanda ini pada abad 18 melalui pendidikan hukum," jelas Muladi.
BACA JUGA: Jokowi Minta DPR Tunda Pengesahan RUU KUHPMuladi menjelaskan tim perumus telah mempertimbangkan Pancasila, UUD 1945, HAM dan asas-asas hukum umum dan adat dalam menyusun RKUHP. Ia mengatakan RKUHP juga memberikan alternatif pidana kurungan penjara, berupa denda pengawasan dan pidana sosial.
ICJR: Pernyataan Menkumham Bersifat Defensif
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara menilai pernyataan Menteri Yasonna sebagai sikap yang defensif dan sekaligus mengkonfirmasi pasal-pasal yang diinginkan Presiden Joko Widodo. Ia juga membantah pernyataan Yasonna yang menyebut pembahasan RKUHP dilakukan secara transparan.
Sebab, kata dia, ada beberapa pembahasan poin-poin penting RKUHP yang dilakukan secara tertutup oleh pemerintah dan DPR di hotel-hotel. Ia juga mengkritik kinerja pemerintah yang tidak bisa menyediakan sistem informasi RKUHP bagi masyarakat, meskipun sudah bekerja selama 4 tahun.
"Tidak semua transparan, karena ada rapat-rapat di hotel itu justru tidak transparan, tertutup rapatnya. Rapat-rapat di Panja memang terbuka, itu kita aspirasi. Tapi rapat konsinyering di hotel-hotel semua tertutup. Padahal pembahasan paling penting seringkali dilakukan di hotel itu," jelas Anggara.
Kendati demikian, Anggara mengatakan lembaganya mengapresiasi langkah Presiden Joko Widodo yang menunda pengesahan RKUHP pada DPR periode ini. Ia juga mendorong Presiden untuk segera membentuk Komite Ahli Pembaruan Hukum Pidana yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, antara lain: akademisi dan ahli dari seluruh bidang ilmu yang terkait seperti kesejahteraan sosial, ekonomi, kesehatan masyarakat serta masyarakat sipil. Menurutnya, komite tersebut penting untuk menjaga hukum pidana yang dibuat pemerintah sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan dibahas secara komprehensif serta mendapat dukungan luas dari masyarakat. (sm/em)