Cuaca dingin tidak menyurutkan semangat 50-an warga, dari berbagai suku dan agama, untuk menjelajahi kawasan Cibadak, Bandung, yang dikenal sebagai Pecinan. Para peserta ini mengunjungi 2 kelenteng, 2 vihara, dan satu rumah ibadah Khonghucu, kong miao.
Salah satu yang ikut berbaris rapi adalah Nungky Satrina Pangestu, mahasiswi Universitas Islam Bandung (Unisba). Dia mengatakan, belum pernah mengenal tempat-tempat ibadah ini secara dekat, termasuk ajaran agama masing-masing.
“(Teman-temanku) agama itu kalau nggak Kristen, Buddha. Kalau di sini lebih banyak agama-agama lainnya, kayak Khonghucu. Itu sesuatu hal yang baru. Aku juga ingin tahu tentang agama itu lebih dalam,” ujar mahasiswi ilmu komunikasi ini kepada VOA.
Hal serupa juga dirasakan Desi Rachmi Fitri, mahasiswi Universitas Padjajaran, yang penasaran dengan ajaran Tri Dharma. “Lebih nambah wawasan lagi ya. Saya tuh sebenernya awam banget soal apa-apa,” jelas mahasiswi antropologi ini.
Rupanya rasa ingin tahu itulah yang mendorong para peserta ikut tur malam ini. Selama tiga jam, peserta berjalan kaki mengunjungi rumah-rumah ibadah yang letaknya di Jl. Kelenteng dan Jl. Cibadak. Di masing-masing tempat, tuan rumah akan mengenalkan ajaran agama masing-masing termasuk sejarah bangunan.
Tur ini diawali di Kelenteng Xie Tian Gong, atau dikenal sebagai Kelenteng Besar, yang berdiri sejak 1885 dan jadi kelenteng tertua di kota Bandung. Pengurus kelenteng, Sugiri Kustedja, antusias menyambut para peserta.
“Ini miniatur Indonesia. Bisa rukun, guyub, bisa rukun bisa barengan, itu yang kita harapkan sebenarnya. Tidak secara formalitas saja tapi dalam kehidupan sehari-hari. Itu yang kita harapkan,” ujarnya di sela-sela tur.
Sugiri mengatakan para peserta punya keingintahuan yang sangat besar dan luas.“Hahaha mulai dari dodol sampai filsafat. Luas saja,” paparnya seraya tertawa.
Lewat proses bertanya itu, ujar Sugiri, tur ini mampu melunturkan prasangka terhadap masyarakat Tionghoa yang masih ada.
“Kecurigaan antar ras, itu kan paling gampang dibakar. Mengkafirkan orang lain. Kan itu paling gampang ya. Itu ketika tidak tahu. Ketika sudah tahu, oh begitu ceritanya, saya harap ini membantu kerukunan sesama anak bangsa,” ujarnya yang juga peneliti Pusat Studi Tionghoa Diaspora - Universitas Kristen Maranatha di Bandung.
Riset Wahid Foundation pada 2016 menunjukkan etnis Tionghoa menjadi salah satu kelompok yang dibenci oleh sebagian kelompok muslim Indonesia. Riset di 34 provinsi terhadap 1.520 responden itu menyebutkan sebanyak 59,9 persen responden memiliki kelompok yang dibenci, meliputi agama non-muslim, kelompok Tionghoa, komunis, dan lainnya. Dari 59,9 persen itu, sebanyak 82,4 persennya tak rela anggota kelompok yang dibenci itu menjadi tetangga mereka.
BACA JUGA: Kota Bogor Tetap Gelar Perayaan Imlek di Tengah PenolakanMenurut Aan Anshori, pegiat Jaringan islam Anti-Diskriminasi (JIAD), sentimen itu punya sejarah panjang. Pada zaman penjajahan, pemerintah kolonial Belanda memisahkan pedagang dari Tiongkok dengan warga Nusantara. Pemisahan itu juga terjadi lewat diskriminasi pada masa Orde Baru.
Melihat situasi itu, Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub) Bandung menggagas tur malam Imlek sejak 2013. Idenya sederhana: memberikan pengalaman bertemu dan bertanya langsung ke sumbernya.
Rupanya hal itulah yang dirasakan peserta seperti Nungky. Ketika mengunjungi Kong Miao Bandung, dia sempat bertanya tentang konsep kehidupan setelah mati dalam agama Khonghucu. Semakin banyak yang diketahui, ujarnya, rasa saling mengerti makin tumbuh.
“Supaya kita nggak ada prasangka. Jadi kita lebih tau apa yang mereka ajarkan, nilai-nilai keagamaan yang mereka anut tuh seperti apa. Jadi itu tuh lebih bikin erat tali persaudaraan antar-agama kita,” ujarnya di akhir tur.
Bagi peserta lain, ajang ini menjadi pengalaman yang membuka pikiran. Desi mengatakan, “tadi ikut dari sana sini kirain sama ternyata beda-beda tiap vihara dan kelentengnya. Agamanya juga beda-beda ajarannya. Ternyata patung-patungnya juga ada maknanya, tentang sesajinya juga,” jelasnya.
Simbolisme dalam ajaran Khonghucu juga menarik perhatian peserta lainnya, Ary Maulana. “Tadi kami berdua berpikir sesaji itu buat nabinya (nabi Khonghucu). Oh rupanya bukan. Ternyata itu sebagai ucapan penghormatan, terimakasih dan rasa syukur,” ungkapnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Ruang perjumpaan itu menjadi pengalaman tersendiri bagi para peserta. Ary, yang aktif di Sekolah Damai Indonesia (Sekodi), mendorong masyarakat umum berani bertanya soal anggapan yang dimiliki mengenai agama yang berbeda.
“Cobalah keluar dari zona nyamannya. Jangan takut jangan ragu-ragu. Ikut aja jalurnya dan prosesnya. Nikmati dan hayati. Pasti nanti akan ketemu nilainya sendiri,” ujarnya. (rt/em)