Presiden Indonesia Joko Widodo menutup KTT ASEAN ke-42 dengan tiga kesimpulan penting, di mana salah satu di antaranya terkait konflik Myanmar. Selain menegaskan kembali urgensi menerapkan lima poin konsensus, yang telah memandatkan ASEAN untuk melibatkan semua pemangku kepentingan, Jokowi menegaskan demi kepentingan kemanusiaan maka Indonesia siap berbicara dengan siapa pun di Myanmar, termasuk junta militer yang berkuasa.
“Saya tegaskan bahwa engagement bukan recognition, melakukan pendekatan bukan berarti memberikan pengakuan sehingga saya tadi menyampaikan di pertemuan bahwa kesatuan ASEAN sangat penting. Tanpa kesatuan akan mudah bagi pihak lain untuk memecah ASEAN. Dan saya yakin tidak satu pun negara ASEAN menginginkan hal tersebut. tidak boleh ada pihak di dalam atau di luar ASEAN yang mengambil manfaat dari konflik internal di Myanmar, kekerasan harus dihentikan dan rakyat harus dilindungi,” tegas Jokowi.
Your browser doesn’t support HTML5
Lebih lanjut, Jokowi mengatakan Indonesia sudah berusaha untuk melibatkan seluruh pihak terkait di Myanmar untuk mencari berbagai solusi, termasuk mendorong lima poin konsensus yakni melangsungkan dialog konstruktif, menghentikan kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, memberikan bantuan kemanusiaan dan mengirim delegasi ASEAN ke Myanmar.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi yang turut mendampingi Jokowi menambahkan meskipun belum ada kemajuan yang signifikan dalam penyelesaian konflik di Myanmar, namun hal tersebut bukan berarti bahwa ASEAN menyerah begitu saja.
“Kurangnya kemajuan dalam implementasi Five Point Consencus, bukan berarti ASEAN menyerah, khususnya menyerah dalam prinsip yang tertuang di ASEAN Charter,” kata Retno.
Mencari Jalan Lain
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Padjajaran Teuku Rezasyah mengatakan Indonesia yang saat ini memegang keketuaan ASEAN tidak boleh kehilangan kreatifitas untuk menyelesaikan konflik Myanmar. Salah satu diantaranya memilih seorang tokoh dari Indonesia untuk bertemu dengan pimpinan junta militer sebagai utusan presiden, bukan utusan khusus biasa.
“Karena pertanggungjawabannya yang beda. Kalau envoy nanti berhubungannya dengan ASEAN, ini utusan khusus Presiden RI untuk berdialog langsung dengan Presiden. Beliau ini nantinya berhubungan langsung dengan rezim Myanmar, dan juga hasilnya ke Presiden langsung. Ini menunjukkan kita berinisiatif menggunakan semua energi yang ada. Karena jalur diplomatik tidak jalan, jalur ASEAN tidak jalan, kemudian hasil pertemuan Menlu tidak jalan. Jadi apakah kita mau tersandera seperti itu? tentunya engga,” ungkap Reza.
Menurutnya, sosok tepat yang bisa diutus oleh Jokowi adalah Wiranto, mantan panglima TNI yang pernah menjadi menkopolhukam dan memimpin partai politik. Kini Wiranto menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden.
“Pak Wiranto bisa diutus ke Myanmar sebagai utusan khusus presiden untuk berdialog langsung dengan pimpinan junta militer tentang proses demokratisasi yang terjadi. Tapi khusus untuk Myanmar harus tetap mengedepankan perlunya kepemimpinan militer karena tidak mungkin dia mencontoh model Indonesia. Namun Myanmar dapat mengambil hikmah dari pengalaman Indonesia dan meng-upgrade pengalamaan Indonesia itu untuk menjadi model pembangunannya Myanmar,” jelasnya. Ia yakin dengan pendekatan ini pihak Myanmar akan sangat terbuka untuk berbicara.
Migrant Care: Pemberantasan TPPO Harus Disertai Langkah Konkret
Selain Myanmar, Jokowi juga menyampaikan dua kesimpulan penting lainnya ketika menutup KTT ASEAN ke-42, yakni bahwa para pemimpin ASEAN menaruh perhatian penting terhadap apa pun yang menjadi kepentingan rakyat, termasuk perlindungan pekerja migran dan korban perdagangan manusia. Jokowi mengajak semua negara ASEAN untuk menindak tegas semua pelaku-pelaku utama kejahatan tersebut.
Diwawancara VOA hari Rabu (10/5), Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo, mengapresiasi pemerintah Indonesia dan pemimpin negara-negara ASEAN lainnya yang telah memberikan perhatian soal TPPO. Namun deklarasi tersebut harus disertai langkah-langkah konkret lainnya untuk memberantas perdagangan manusia di kawasan ASEAN. Di Indonesia misalnya, aparat penegak hukum diserukan untuk menggunakan pasal-pasal tindak pidana serius di KUHP, tidak sekedar pasal yang ringan.
"Saya kira ini harus dibarengi di tingkat kebijakan nasional. Artinya ada keseriusan dari pemerintah Indonesia untuk benar-benar menangani kasus. Harus diakui kasus biasanya baru direspons pemerintah kalau viral," ujar Wahyu kepada VOA, Rabu (10/5).
ASEAN Sepakat Bangun Ekosistem Mobil Listrik
Sementara terkait penguatan kerja sama ekonomi, para pemimpin ASEAN sepakat membangun ekosistem mobil listrik, dan ingin menjadi bagian penting dari rantai pasok dunia sehingga hilirisasi industri menjadi kunci yang sangat penting.
“Selain itu, implementasi transaksi mata uang lokal dan konektivitas pembayaran digital antar negara sepakat untuk diperkuat. Ini sejalan dengan tujuan sentralitas ASEAN supaya ASEAN semakin kuat dan semakin mandiri,” pungkasnya. [gi/em]