Ukraina pada Selasa (6/6) secara lantang menyebut Rusia sebagai negara teroris di hadapan pengadilan tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Sebutan tersebut diungkapkan Kyiv ketika dimulainya sidang terkait dukungan Moskow terhadap separatis pro-Rusia yang menembak jatuh Malaysia Airlines MH17 pada 2014.
Sidang tersebut menjadi ajang pertama kalinya bagi pengacara Ukraina dan Rusia bertemu secara langsung di Mahkamah Pengadilan Internasional (ICJ), juga dikenal sebagai Pengadilan Dunia, sejak Moskow menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Masing-masing negara mengirim tim hukum yang terdiri dari belasan orang.
Sebuah panel yang terdiri dari 16 hakim di ICJ mulai mendengar klaim Ukraina bahwa Moskow melanggar perjanjian anti-terorisme PBB dengan memperlengkapi dan mendanai pasukan pro-Rusia yang menembak jatuh pesawat jet tersebut. Akibatnya 298 penumpang dan awaknya tewas.
Dalam klaim yang sama, Ukraina juga meminta pengadilan yang berbasis di Den Haag itu untuk memerintahkan Rusia menghentikan diskriminasi terhadap kelompok etnis Tatar di Krimea, semenanjung Ukraina yang diduduki Rusia sejak 2014.
Hakim Ketua Hendrik Steenhuis memeriksa rekonstruksi reruntuhan MH17 di Reijen, Belanda, 26 Mei 2021. (Foto: REUTERS/Piroschka van de Wouw)
Dalam sambutan pembukaan, Duta Besar Ukraina Anton Korynevych mengomentari peledakan bendungan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Nova Kakhovka beberapa jam sebelumnya di wilayah yang dikuasai Rusia di wilayah Kherson selatan Ukraina. Kyiv mengatakan Rusia meledakkan bendungan; Kremlin menyalahkan apa yang dikatakannya sebagai sabotase Ukraina.
"Rusia tidak dapat mengalahkan kami di medan perang, sehingga menargetkan infrastruktur sipil untuk mencoba membekukan kami agar tunduk," kata Korynevych dalam persidangan, menggambarkan tindakan Rusia sebagai "tindakan negara teroris."
"Baru hari ini Rusia meledakkan bendungan besar ..., menyebabkan evakuasi warga sipil yang signifikan, kerusakan ekologi dan mengancam keselamatan pembangkit listrik tenaga nuklir Zaporizhzhia."
Moskow mencoba untuk membatalkan kasus tersebut, dengan alasan ICC tidak memiliki yurisdiksi.
BACA JUGA: Dewan Penerbangan PBB Setuju Adili Rusia Terkait Insiden MH17
Penerbangan MH17 ditembak jatuh oleh rudal buatan Rusia pada 17 Juli 2014 di atas wilayah Ukraina timur yang dikuasai separatis yang pro-Rusia.
November lalu, pengadilan Belanda menghukum dua orang Rusia dan seorang separatis Ukraina secara in absentia atas peran mereka. Pengadilan juga menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada mereka. Dalam sidang ditemukan Rusia memiliki "kendali menyeluruh" atas pasukan separatis.
Ukraina ingin membawa masalah itu ke pengadilan agar memutuskan Moskow melanggar perjanjian anti-terorisme dengan memasok dana dan senjata kepada pasukan pro-Rusia di Ukraina sejak 2014, termasuk kelompok yang diduga menembak jatuh MH17.
Rusia memboikot sidang di pengadilan pada Maret 2022 yang menangani permintaan Ukraina untuk memberlakukan tindakan darurat dalam kasus ICJ lainnya, di mana Kyiv melawan klaim genosida Rusia terhadap penutur bahasa Rusia di Ukraina. Kyiv menyebut klaim itu sebagai pembenaran palsu atas invasi Rusia.
Bendungan Kakhovka di Ukraina selatan yang diledakkan Rusia. (Foto: via AFP)
Ukraina juga berpendapat Rusia melakukan diskriminasi terhadap etnis Ukraina dan Tatar di Krimea dalam upaya untuk menghapus budaya mereka.
"(Rusia) sedang mengejar proyek jangka panjang untuk menghapus hak dan budaya yang membuat Ukraina bangga, bangsa multi-etnis, untuk menghapus apa yang membuat Ukraina, Ukraina, dan apa yang membuat Tatar Krimea, Tatar Krimea," kata Harold Koh, seorang pengacara pemerintah Ukraina.
Rusia menyangkal pelanggaran HAM sistematis di wilayah Ukraina yang didudukinya.
BACA JUGA: Mantan Pemimpin Rusia: Penangkapan Putin di Luar Negeri akan Jadi 'Deklarasi Perang'
Pengadilan ditunda pada Selasa pekan depan setelah Ukraina mengakhiri presentasinya. Rusia akan memiliki kesempatan untuk menanggapi kasus Kyiv pada Kamis di pengadilan.
Putusan ICJ, pengadilan tinggi PBB untuk perselisihan antar negara, bersifat mengikat tetapi tidak memiliki mekanisme penegakan.
Presiden Rusia Vladimir Putin juga menjadi subjek surat perintah penangkapan oleh Mahkamah Pidana Internasional, yang juga berada di Den Haag, atas tuduhan kejahatan perang terkait deportasi paksa anak-anak Ukraina. Kremlin menyangkal hal ini. [ah/rs]