Ukraina Tuntut Gencatan Senjata dalam Perundingan dengan Rusia

Delegasi Rusia (kiri) dan delegasi Ukraina melakukan perundingan di daerah Gomel, Belarus hari Senin (28/2).

Ukraina mendesak diadakan gencatan senjata segera dan penarikan pasukan Rusia dari wilayahnya. Desakan itu disampaikan ketika delegasi Ukraina tiba di perbatasan Ukraina-Belarus pada Senin (28/2) untuk berunding dengan Rusia. Sementara Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mendesak Uni Eropa untuk segera memberi negaranya keanggotaan di blok itu.

Perundingan antara Ukraina dan Rusia dimulai di perbatasan Ukraina-Belarus. Kantor presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy mengatakan delegasi Ukraina termasuk Menteri Pertahanan Oleksii Reznikov dan penasihat presiden Mykhailo Podolyak.

BACA JUGA: Presiden Ukraina: Tahanan dengan Pengalaman Tempur Akan Dibebaskan

Zelenskyy meminta keanggotaan Uni Eropa dalam pesan video di mana ia juga mendesak pasukan Rusia untuk meletakkan senjata.

"Jatuhkan senjata kalian dan pergi dari sini. Jangan percaya komandanmu, jangan perpacaya dengan propaganda, selamatkan nyawa kalian dan pergi," ujarnya seperti dilaporkan AFP.

Sekjen NATO Jens Stoltenberg

Sementara, Sekjen NATO Jens Stoltenberg mengatakan ia berbicara dengan pemimpin Ukraina itu lewat telepon dan "memujinya atas keberanian rakyat dan angkatan bersenjata Ukraina."

"Sekutu-sekutu NATO meningkatkan dukungan dengan rudal pertahanan udara, senjata anti-tank, serta bantuan kemanusiaan dan keuangan," cuit Stoltenberg.

Rusia menghadapi tekanan diplomatik dan ekonomi pada Senin (28/2), hari kelima invasi. Majelis Umum PBB dijadwalkan mengadakan sidang darurat, kurs Rusia merosot ke rekor terendah dan sanksi-sanksi dijatuhkan ke bank sentral negara itu.

Kementerian pertahanan Inggris pada Senin (28/2) mengatakan pasukan Rusia berada 30 kilometer lebih di utara ibukota Ukraina, Kyiv. Mereka menambahkan bahwa "kegagalan logistik dan perlawanan Ukraina terus membuat frustrasi Rusia."

AS memberikan penilaian senada. Seorang pejabat pertahanan AS mengatakan kepada para wartawan Minggu (27/2), "Tidak ada indikasi bahwa militer Rusia telah merebut kontrol kota apapun."

Pasukan Rusia bisa segera mendapat dukungan dari pasukan Belarus yang bersekutu, menurut para pejabat AS yang berbicara kepada beberapa organisasi berita.

Sedikitnya 350 warga sipil telah tewas sejak Rusia menginvasi pekan lalu, dan 1.700 lainnya terluka, kata Ukraina pada Minggu (27/2). Belum ada informasi mengenai korban dari pasukan Ukraina. Dan meski Rusia mengaku ada korban dalam pasukannya, mereka belum mengumumkan jumlahnya.

BACA JUGA: Rusia Hadapi Tekanan Diplomatik, Ekonomi Sementara Ukraina Hadapi Invasi

Michele Bachelet, kepala HAM PBB, mengatakan dalam pertemuan Dewan HAM PBB bahwa sedikitnya 102 warga sipil telah tewas, dan ia khawatir angka pastinya "jauh lebih tinggi."

"Kebanyakan warga sipil tewas akibat senjata peledak yang mengenai wilayah yang luas, termasuk baku tembak dari artileri berat dan sistem peluncur roket, dan serangan udara," kata Bachelet, seperti dilaporkan Associated Press.

Komisioner Tinggi PBB urusan Pengungsi Filippo Grandi pada Senin (28/2) mencuit bahwa lebih dari 500.000 warga Ukraina telah mengungsi ke negara-negara tetangga.


Presiden Rusia Vladimir Putin memerintahkan menteri pertahanannya untuk menempatkan pasukan nuklir dalam “rezim tugas tempur khusus” pada Minggu (27/2). Ia mengatakan bahwa negara-negara kuat anggota NATO telah membuat “pernyataan agresif” dan memberlakukan sanksi keuangan karena Rursia menginvasi Ukraina.

Setelah pemungutan suara dalam sebuah sidang khusus PBB, Duta Besar Amerika Serikat (AS) untuk PBB Linda Thomas-Greenfield mengatakan Rusia “tidak berada di bawah ancaman NATO, aliansi pertahanan yang tidak akan berperang di Ukraina. Ini adalah langkah eskalasi dan tidak perlu yang mengancam kita semua. Kami mendesak Rusia untuk mengurangi retorika berbahayanya mengenai senjata nuklir.”

Your browser doesn’t support HTML5

Ukraina Tuntut Gencatan Senjata dalam Perundingan Rusia

Seorang pejabat pertahanan AS mengatakan kepada para wartawan bahwa keputusan Rusia untuk menyiagakan penangkal nuklirnya adalah langkah yang "tidak perlu" dan merupakan tindakan "eskalasi."

"Kami yakin kami memiliki kemampuan untuk membela tanah air dan membela sekutu-sekutu dan mitra-mitra, dan itu termasuk dengan upaya pencegahan strategis," kata pejabat itu. Ia menolak membahas lebih lanjut upaya pencegahan nuklir yang dilakukan AS.

Rusia memilih untuk menolak sidang khusus Majelis Umum PBB yang beranggotakan 193 negara yang akan diadakan pada Senin (28/2). Tapi Rusia tidak bisa menggunakan hak veto dalam pemungutan suara prosedural itu. China, Uni Emirat Arab dan India abstain mengenai pertemuan khusus tersebut. [vm/lt]