PM China Li Keqiang pada Jumat (11/3) mengatakan AS dan China seharusnya tidak “menutup” pintu budaya antara negara-negara sementara sanksi-sanksi ekonomi terhadap negara tetangganya, Rusia, meningkat.
“Karena kedua pihak telah membuka pintu satu sama lain (50 tahun silam), mereka seharusnya tidak menutupnya, apalagi memisahkan diri,” kata Li, mengacu pada peringatan 50 tahun hubungan diplomatik antara AS dan China yang dimulai dengan kunjungan tahun 1972 ke Beijing oleh presiden AS ketika itu, Richard Nixon.
Seraya menggaungkan beberapa pernyataan damai oleh para pemimpin China sejak invasi Rusia terhadap Ukraina akhir Februari lalu, Li menerima bahwa Washington dan Beijing memiliki persepsi berbeda mengenai krisis yang terjadi di kawasan timur Eropa.
“Kami percaya kerja sama seharusnya menjadi jalur utama karena perdamaian dunia dan pembangunan bergantung pada itu,” kata Li kepada wartawan pada akhir sidang tahunan parlemen. “Meskipun kita adalah pesaing pasar dalam bidang ekonomi dan perdagangan, hubungan kita seharusnya menyenangkan dan setara.”
Presiden China Xi Jinping pada 8 Maret mengatakan negaranya siap untuk “bekerja secara aktif” dengan masyarakat internasional dalam menyelesaikan konflik di Ukraina.
Uluran damai atau lindungi kepentingan?
Namun sebagian pengamat mengatakan Beijing mungkin mengulurkan tawaran itu untuk alasan finansial dan politik.
“Menurut saya Presiden Xi dan pemimpin China sedikit gelisah oleh apa yang mereka lihat di Ukraina,” kata direktur Badan Intelijen Pusat CIA William Burns dalam kesaksiannya di hadapan Kongres baru-baru ini. “Mereka tidak mengantisipasi kesulitan signifikan yang akan dihadapi Rusia.”
Burns mengatakan China juga khawatir mengenai dampak geopolitik dari invasi Rusia, termasuk “dengan cara di mana (presiden Rusia) Vladimir Putin mendorong Eropa dan Amerika menjadi jauh lebih dekat.”
BACA JUGA: Gedung Putih: Jika Bantu Danai Rusia, China akan Hadapi KonsekuensiSebagian analis menyatakan Beijing sedang berupaya mengulur waktu hingga negara itu mampu mengajukan respons kebijakan yang tepat untuk situasi yang terus berubah. Meskipun sanksi-sanksi itu menarget perdagangan Rusia, dampaknya yang meluas akan dirasakan berbagai perusahaan dan bank China yang melakukan transaksi dengan entitas Rusia.
“China tidak ingin menyinggung Barat pada tahap ini, Tetapi kemungkinan besar China akan mengubah pendekatan jangka panjangnya terhadap AS,” kata Alexander Sandkamp, asisten profesor dan pakar ekonomi China di Universitas Kiel, Jerman, kepada VOA.
Para pejabat China mengira tidak akan ada jeda dalam persaingan ekonomi yang sengit dan bahkan gesekan diplomatik dengan AS, kata berbagai sumber. Tetapi mereka juga melihat ruang untuk kerja sama yang memadai karena dua ekonomi terbesar dunia ini akan berupaya untuk saling melengkapi dalam bisnis dan bidang-bidang lainnya.
BACA JUGA: Redam Dampak Sanksi Barat, Rusia Andalkan ChinaScott Kennedy, penasihat senior dan ketua bidang bisnis dan ekonomi China di lembaga kajian Center for Strategic and International Studies, mengatakan, keliru bila mengira China mengubah strateginya terhadap AS pada tahap ini.
“Meskipun Beijing telah berupaya memisahkan diri dari konsekuensi paling brutal karena invasi Rusia, China belum bergabung dengan aliansi Barat dalam menentang langsung invasi itu sendiri,” ujarnya.
“China masih percaya bahwa Rusia memiliki kekhawatiran keamanan yang sah yang belum diatasi,” lanjutnya. “China masih berkolaborasi dengan Rusia dalam menyebarluaskan disinformasi, dan masih menentang keras sanksi-sanksi Barat terhadap Rusia. Hingga dapat menyesuaikan diri dalam bidang-bidang ini, pembicaraan mengenai Beijing menyesuaikan sikapnya terhadap AS akan menjadi spekulasi semata.” [uh/ab]