Dampak kudeta militer di Myanmar, bersama dengan dampak pandemi COVID-19, dapat menghapus kemajuan yang telah dicapai bertahun-tahun dan melipatgandakan jumlah warga negara itu yang hidup dalam kemiskinan, menurut sebuah laporan PBB.
Laporan yang disiapkan Program Pembangunan PBB (UNDP) menyatakan, 12 juta orang dapat jatuh ke dalam kesulitan ekonomi yang mengerikan sementara bisnis masih ditutup sewaktu terjadi kebuntuan antara junta dan gerakan pembangkangan sipil massal.
Kanni Wignaraja, direktur UNDP wilayah Asia Pasifik mengatakan, ”Tidak mengherankan bahwa semua kemajuan pembangunan dalam sepuluh tahun ini terjadi di tengah periode transisi yang rapuh, tidak sempurna tetapi demokratis, Dan dengan pandemi serta dampak krisis politik, kita dapat lihat pencapaian ini terhapus dalam beberapa bulan saja, dan membuat negara ini mengarah kembali ke tahun 2005, sewaktu separuh populasi Myanmar miskin.”
Krisis politik berkepanjangan dapat menyebabkan penurunan akses ke makanan, layanan dasar dan perlindungan sosial.
Sejak kudeta 1 Februari, di mana militer merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih, akses internet dibatasi ketat oleh militer dan protes ditumpas dengan kekerasan.
Banyak pabrik, kantor, bank dan fasilitas lain tutup dan perdagangan terganggu karena terhentinya pekerjaan dan gangguan lain di pelabuhan, kata para ekonom. Ini memperburuk kondisi yang sudah suram akibat pandemi.
Ekonomi tumbuh pesat setelah rezim militer terdahulu memprakarasai transisi parsial ke pemerintah sipil, sambil mempertahankan kontrol atas sejumlah kementerian penting, industri, dan kursi di parlemen.
Investasi asing dalam bidang manufaktur garmen, pariwisata dan industri lainnya telah menciptakan jutaan lapangan kerja, memberi dukungan penting bagi banyak keluarga yang tinggal di daerah pedesaan. Tetapi kemajuan ini terhenti karena kudeta menambah kesulitan akibat pandemi. [uh/ab]