Liza, seorang perempuan asal Nusa Tenggara Barat NTB, menikah pertama kali ketika baru berusia 15 tahun. Pernikahan itu hanya bertahan tiga bulan. Tak lama kemudian ia menikah lagi dengan seorang laki-laki yang masih duduk di bangku kelas dua SMA. Pernikahan kedua ini pun tak bertahan lama. Pada usia 17 tahun Liza sudah menikah dan bercerai dua kali, hal yang membuatnya malu melanjutkan sekolah meskipun sangat menginginkannya.
Hal ini disampaikan Kepala Perwakilan Dana Kependudukan PBB (UNFPA) Indonesia Anjali Sen dalam webinar bertema “Pencegahan Perkawinan Anak,” yang diselenggarakan oleh BKKBN dan UNFPA, 2 Juli lalu.
“Perkawinan sebelum usia 18 tahun membawa berbagai risiko terhadap anak perempuan seperti membahayakan nyawa, tingkat kematian ibu yang tinggi dan memaksa anak perempuan untuk membesarkan anak saat mereka sendiri masih anak-anak,” ujar Anjali Sen.
Dia menambahkan perkawinan anak terjadi karena faktor kemiskinan, kurangnya perlindungan dan akses pendidikan bermutu, dan terbatasnya peluang kerja sehingga perkawinan anak sering dilihat sebagai pilihan terbaik untuk anak perempuan atau sebagai cara orangtua mereka mengatasi kondisi ekonomi yang sulit.
“Walaupun sulit untuk memperhitungkan harga dari hak, pilihan dan peluang setiap anak perempuan, upaya untuk mengukur potensi manusia mendapati bahwa harga ekonomi dari perkawinan anak sangatlah tinggi. Bank Dunia memperkirakan kerugian modal manusia di 12 negara yang angka prevalensi perkawinannya tinggi pada tahun 2017 hingga 2030 nanti, akan mencapai 64 miliar dolar Amerika,” papar Anjali Sen.
UNFPA Puji Amandemen UU Perkawinan 1974
UNFPA mengapresiasi amandemen Undang-Undang Perkawinan pada September 2019 yang menaikkan batas usia minimal bagi anak perempuan untuk bisa menikah dengan izin orangtua dari 16 menjadi 19 tahun. Strategi Nasional untuk Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) yang diluncurkan pada Februari 2019 juga menandakan komitmen pemerintah untuk mengakhiri praktik perkawinan anak melalui pendekatan multi sektoral, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Your browser doesn’t support HTML5
Pandemi virus corona saat ini juga menimbulkan pengaruh pada upaya menyudahi kawin anak. “Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2018, satu dari setiap sembilan perempuan berusia 20-24 tahun sudah menikah sebelum mencapai usia 18. Saat ini, ada sekitar 1,2 juta perkawinan anak yang memposisikan Indonesia di peringkat delapan angka perkawinan anak terbesar di dunia,” ungkap Anjali Sen. [yl/em]