UNHCR: Pembatasan Baru AS Terhadap Pencari Suaka Mungkin Langgar Perlindungan Internasional

  • Associated Press

Seorang pria asal Guatemala dengan tangan terborgol duduk karena kelelahan setelah ditahan bersama migran lainnya yang bersembunyi usai masuk wilayah AS dari Meksiko, di Havana, Texas, Rabu, 11 Juni 2024. (Foto: Adrees Latif/Reuters)

Kepala badan urusan pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNHCR, mengatakan dia memahami bahwa pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden memberlakukan pembatasan-pembatasan baru terhadap pencari suaka yang memasuki Amerika Serikat (AS). Namun, dia memperingatkan bahwa beberapa aspek dari perintah eksekutif tersebut mungkin melanggar perlindungan pengungsi yang diwajibkan dalam hukum internasional.

Filippo Grandi, komisaris tinggi UNHCR (United Nations High Commisioner For Refugees), berbicara kepada Associated Press ketika lembaganya mengeluarkan laporan tahunan bertema "Tren Global” untuk 2023 padaKamis (13/6). Laporan itu menemukan bahwa jumlah kumulatif orang yang menjadi korban pengungsian paksa meningkat menjadi 120 juta pada tahun 2023 – 6 juta lebih banyak daripada tahun sebelumnya.

Badan urusan pengungsi itu mencatat bahwa jumlah total pengungsi kira-kira setara dengan seluruh penduduk Jepang.

BACA JUGA: UNHCR: Jumlah Pengungsi 2017 Catat Rekor Tertinggi

Laporan UNHCR menemukan bahwa tiga perempat dari orang-orang yang terpaksa mengungsi – termasuk pengungsi yang diusir ke luar negeri dan orang-orang yang terpaksa mengungsi di negara mereka sendiri – tinggal di negara-negara miskin atau berpendapatan menengah. Grandi menegaskan hal ini merupakan tanda bahwa arus migran dan pengungsi tidak hanya menjadi masalah bagi negara-negara kaya.

Dia menyesalkan krisis di Afrika yang banyak diabaikan, khususnya di Sudan, di mana sekitar 10,8 juta orang mengungsi pada akhir tahun lalu, setelah konflik meletus antara pasukan yang setia kepada jenderal-jenderal yang bersaing pada April tahun lalu.

Grandi mengatakan fokus dunia terhadap krisis yang dihadapi para pengungsi dan pengungsi internal sebagian besar berpusat di Gaza – tempat konflik dahsyat dan mematikan meletus pada Oktober tahun lalu – dan Ukraina, yang dibebani oleh invasi Rusia sejak Februari 2022.

Kepala UNHCR Filipo Grandi menjawab pertanyaan dalam konferensi pers di kantor pusat Uni Eropa di Brussels, 29 Oktober 2019. (Foto: Francisco Seco/AP Photo)

Ia menyesalkan betapa dunia mengabaikan krisis pengungsi yang diakibatkan oleh konflik di Sudan.

Sementara itu, Amerika Serikat menghadapi “tantangan paling rumit” dalam hal pengungsi dari negara mana pun di negara maju, kata Grandi – mengacu pada gelombang pengungsi yang melintasi perbatasan AS-Meksiko.

Kepala badan urusan pengungsi PBB itu mengkritik rencana pemerintahan Biden untuk memberlakukan pembatasan-pembatasan baru terhadap migran yang mencari suaka di perbatasan – yang dipandang oleh sebagian orang sebagai manuver politik menjelang pemilu nasional pada bulan November – sebagai kemungkinan pelanggaran terhadap hukum kemanusiaan internasional.

BACA JUGA: PBB: Bangladesh Butuh Bantuan Sangat Besar untuk Pengungsi Rohingya

Namun dia mengakui bahwa ambisi pemerintahan Biden untuk memukimkan kembali sekitar 125.000 pengungsi di Amerika Serikat merupakan “contoh yang sangat cemerlang dari kemurahan hati AS.”

Di AS pada Rabu (12/6), koalisi kelompok advokasi imigran menggugat pemerintah atas arahan baru-baru ini mengenai klaim suaka di perbatasan selatan, dengan mengatakan bahwa hal tersebut tidak jauh berbeda dengan langkah serupa yang dilakukan pemerintahan Trump yang diblokir oleh pengadilan.

UNHCR juga menyoroti kesulitan yang dihadapi oleh para pengungsi di tengah konflik di negara-negara seperti Kongo dan Myanmar, dan mencatat bahwa Suriah masih mengalami krisis pengungsi terbesar di dunia dengan hampir 14 juta orang terpaksa mengungsi baik di dalam maupun luar negeri. [ab/uh]