Masyarakat berkumpul di sekitar kompleks katedral yang telah dijaga polisi dan Dinas Rahasia Amerika Serikat di tengah suhu minus 6 derajat Celsius sejak setidaknya pukul 8 pagi. Beberapa mengabadikan momen ketika rombongan mobil jenazah melintas, memasuki jalan di depan katedral, sementara lainnya menyaksikan dengan khidmat prosesi itu.
Segelintir lainnya membawa poster-poster berisi pesan unjuk rasa, dari dukungan bagi Palestina hingga pesan anti-Trump. Sementara itu, salah seorang pejalan kaki yang berpapasan dengan VOA kebingungan dan menanyakan kepada kami, “Ada apa sih di sini?”
Ketika VOA menjelaskan acara di dalam katedral, ia terkejut, “Ya Tuhan, saya tidak tahu. Jangan sampai kedinginan, ya,” pesan pria itu sebelum menjauh.
Dua hari sebelumnya, pada Selasa, barisan pelayat juga hadir di sepanjang Jalan Pennsylvania, Washington DC, ketika jenazah mendiang Carter baru tiba di ibu kota untuk disemayamkan di US Capitol. Beberapa di antara mereka tampak berpelukan, lainnya membawa poster bertuliskan, “Seluruh dunia mencintaimu, Presiden Carter.”
Salah satu di antara barisan pelayat yang hadir pada hari itu adalah Fauzan Malufti, diaspora Indonesia yang sedang menjalani studi di Washington, DC. Fauzan mengaku, ia hadir di sana karena ingin melihat secara langsung prosesi pemakaman seorang mantan presiden di Amerika.
“Ini pertama kali untuk melihat langsung prosesi pemakaman mantan presiden (Amerika Serikat), karena sebelumnya di Indonesia juga belum pernah saya melihat langsung prosesi pemakaman mantan presiden, jadi cukup berkesan,” ungkapnya. “Keamanannya ketat, tapi di saat yang bersamaan juga cukup rapi, publik juga masyarakat juga tetap diberikan ruang untuk melihat langsung dan mengikuti prosesinya.”
Saat ditanya kesannya tentang sosok Jimmy Carter, Fauzan mengatakan bahwa ia pertama kali mengenal presiden AS ke-39 itu ketika menjalani studi Hubungan Internasional untuk gelar sarjananya dulu.
“Kalau dari saya sih sosok Jimmy Carter paling utamanya yang mengingatkan itu bagaimana dia berhasil mendorong adanya perjanjian antara Israel dan Mesir di Camp David accord, kalau nggak salah, tahun 1978. Kemudian yang berkesan juga menurut saya bagaimana dia dan juga istrinya tetap bisa memberikan kontribusi positif baik itu ke Amerika Serikat maupun ke masyarakat global setelah dia tidak lagi menjadi presiden,” urai Fauzan.
Kesan yang didapat Fauzan nyatanya selaras dengan penilaian Komite Nobel yang mengganjar Jimmy Carter dengan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2002, berkat kontribusinya dalam memperjuangkan hak asasi manusia, menjadi penengah dalam berbagai perundingan damai, serta kerja-kerjanya untuk kesejahteraan masyarakat.
“Saya lihat luar biasa ketangguhan [mantan Presiden Carter], dedikasi yang tidak pernah putus,” ungkap mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai sosok Jimmy Carter, ketika diwawancarai jurnalis VOA Ahadian Utama di Semarang, awal pekan ini.
Yudhoyono, yang akrab disapa dengan nama SBY, bertemu dengan Carter dan mantan Ibu Negara Rosalynn Carter pada tahun 2004, ketika lembaga nirlaba yang dipimpin mantan presiden AS itu, Carter Center, melakukan pemantauan pemilu yang dilakukan secara langsung untuk pertama kalinya di Indonesia. Yudhoyono membawa Jimmy dan Rosalynn Carter ke markas kampanye pemenangannya di Jakarta.
“Tentu saya mengucapkan terima kasih, karena Carter Center ikut peduli bakal berlangsungnya pemilihan presiden yang pertama kali dipilih oleh rakyat untuk bisa berjalan secara free and fair,” imbuhnya.
Your browser doesn’t support HTML5
Sepanjang hidupnya, Carter telah mengunjungi lebih dari 80 negara dengan demokrasi yang terkendala untuk memantau pelaksanaan pemilu di negara-negara tersebut.
Yudhoyono, yang memerintah Indonesia pada periode 2004-2014, mengaku terinspirasi oleh kegigihan mendiang Carter sebagai seorang mantan presiden.
“Carter salah satu sosok yang memberikan inspirasi, saya kira, sebagai model, ternyata banyak hal yang bisa dilakukan oleh former leader, kalau itu diniatkan, dan Carter salah satu yang betul-betul tercatat abadi oleh sejarah dunia, bahwa ternyata kontribusi Carter kepada dunia barangkali lebih besar dibandingkan waktu Carter memimpin Amerika selama empat tahun sebelumnya,” pungkasnya.
Upacara kebaktian penghormatan bagi Carter di Katedral Nasional Washington dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden, Ibu Negara Jill Biden, mantan sekaligus Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump dan Melania Trump, serta para mantan presiden Amerika Serikat yang masih hidup: Bill Clinton, George W. Bush, dan Barack Obama. Hadir pula Wakil Presiden Kamala Harris dan sang suami, Doug Emhoff, Wakil Presiden terpilih J.D. Vance dan istrinya, Usha Vance, serta mantan Wakil Presiden Mike Pence dan Al Gore. Barisan lengkap para pemimpin Amerika Serikat yang masih hidup itu merupakan pemandangan langka yang hanya terjadi pada momen-momen tertentu, seperti pemakaman pemimpin bangsa. [rd/lt]