Senyampang belum ditetapkan, buruh di Jawa Tengah bertemu dengan Gubernur Ganjar Pranowo di Semarang, Senin (15/11). Mereka membawa hitung-hitungan konsep kenaikan upah di provinsi itu. Sekjen Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Aulia Hakim mewakili sejumlah serikat buruh menyebut, semestinya tahun depan kenaikan upah di atas 10 persen.
“Ketika kita tambahkan antara lain hand sanitizer, masker, segala macam kita jumlahkan itu muncul angka di atas 10 persen. Atau bisa kita sebut itu sekitar Rp300 ribu sampai Rp400 ribu,” kata Hakim.
Dia juga mengingatkan, para buruh yang anak-anaknya sekolah daring, harus membeli tambahan kuota selama pandemi. Jika pembelajaran jarak jauh masih berlanjut, tentu pengeluaran mereka ke depan cukup tinggi.
Tahun ini, kata Hakim, pemerintah memiliki PP 36/2021 sebagai dasar hitungan pengupahan. Regulasi itu, menurut KSPI, membuat kenaikan upah akan sangat kecil. Pertemuan dengan Ganjar Pranowo sekaligus dijadikan desakan, agar daerah memanfaatkan kewenangannya, menaikkan upah lebih tinggi dari keputusan nasional. Otonomi daerah, kata Hakim, bisa jadi alasan. Tahun lalu, Jawa Tengah melakukan terobosan serupa, dan tidak ada dampak hukum yang muncul.
Ganjar belum menjanjikan apapun, tetapi dia menyebut formula upah dari buruh itu bisa jadi pertimbangan. Setidaknya, ketika memutuskan upah baru, ada dasar hitungan yang bisa dijadikan patokan.
“Syukur-syukur, buruh juga bisa memberikan kepada kita gambaran di industrinya, di pabriknya, di usahanya. Sehingga kita semua nanti tahu kondisi usaha masing-masing seperti apa toh. Apakah untung banget, apakah biasa saja atau malah nyungsep,” kata Ganjar.
Nasib sektor industri di Jawa Tengah memang bervariasi. Sebagian mengalami kesulitan untuk bertahan, tetapi ada juga sektor yang berjaya karena penambahan pesanan, seperti dalam industri tekstil.
Para gubernur di seluruh Indonesia harus menetapkan Upah Minimum Provinsi paling lambat pada 21 November 2021. Sedangkan di tingkat kabupaten atau kota, keputusan terakhir harus dikeluarkan pada 30 November 2021. Setiap tahun, akhir November selalu menjadi ajang pertarungan buruh dan industri dalam penetapan upah, yang kemudian diputuskan oleh pemerintah.
Formula Kenaikan Buruh
Salah satu contoh formula perhitungan disediakan oleh Aliansi Buruh Jawa Tengah, setelah melalui survei. Menurut mereka, Upah Minimum Kabupaten (UMK) di wilayah Jawa Tengah, setidaknya harus naik 16 persen dari angka saat ini. Rumus yang mereka pakai adalah UMK saat ini ditambah kebutuhan tambahan masa pandemi yang menghasilkan UMK baru.
Dalam keterangan yang dikirim ke VOA, ABJT menyebut tambahan pengeluaran mereka selama pandemi meliputi masker N 94, hand sanitizer, sabun cair 150 ml, vitamin, pulsa atau data untuk sekolah daring dan kenaikan biaya pembelian air. Untuk seluruh kebutuhan pembelian barang tambahan selama pandemi demi protokol kesehatan itu, maka dalam satu bulan ada tambahan pengeluaran Rp449.600.
Angka itu merupakan 16 persen dari UMK tahun ini, dan buruh menuntut angka itu dijadikan dasar kenaikan upah pada 2022.
Jika kenaikan 1,09 persen ditetapkan di Jawa Tengah tanpa perubahan, kira-kira buruh di sana hanya menerima kenaikan upah sekitar Rp19 ribu. Upah Minimum Provinsi (UMP) yang ditetapkan pada 2021 adalah Rp1.798.979, dan akan menjadi Rp1.813.011 pada 2022. Kenaikan itu jauh di bawah hitungan buruh yang lebih dari Rp400 ribu.
Kenaikan Upah Sangat Kecil
Sayangnya, pemerintah punya dasar perhitungan berbeda, yang menghasilkan kenaikan upah minimum tahun depan ada di 1,09 persen.
BACA JUGA: Buruh di Masa Pandemi: Vaksinasi dan Gelombang PHK Adu CepatPemerintah memang memiliki instrumen baru pengupahan sebagai dasar hukum, yaitu PP 36/2021. Peraturan pemerintah ini merupakan produk turunan UU Cipta Kerja atau Omnibus Law Ketenagakerjaan yang mengundang protes. PP 36/2021 mengatur pengupahan pekerja, menggantikan dasar hukum lama, yaitu PP Nomor 78 Tahun 2015.
Menurut aturan lama, upah minimum ditetapkan dengan mempertimbangkan kebutuhan hidup layak, produktivitas dan kebutuhan ekonomi. Omnibus Law mengubahnya dengan menyebut bahwa pertimbangan upah minimum adalah kondisi ekonomi dan situasi ketenagakerjaan. Dasar hukum baru ini juga menghapus upah minimum sektoral, dan hanya mengakui dua jenis upah minimum, yaitu tingkat provinsi (UMP) dan tingkat kabupaten/kota (UMK). Di tingkat UMK, pertimbangan tambahan juga disebutkan, yaitu pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerah.
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Senin (15/11), membela keputusan baru ini, dan menyebutnya sebagai konsep yang lebih adil.
“Sebenarnya ini adalah salah satu kebijakan yang justru berimbang untuk mengurangi kesenjangan antarwilayah, yang upah minimumnya tinggi, dan ada yang upah minimum wilayah yang rendah. Filosofinya adalah terwujudnya keadilan antarwilayah,” kata Ida menjawab pertanyaan anggota DPR.
Your browser doesn’t support HTML5
Upah minimum, kata Ida, adalah upah terendah yang ditetapkan pemerintah. Tujuannya adalah memacu laju pertumbuhan upah minimum di wilayah yang besarannya masih rendah. Pemerintah tidak menghendaki ada upah yang berada di bawah batas terbawah ini. Jika diterapkan, formula ini akan mendorong upah buruh di wilayah yang masih rendah untuk terus naik, mengejar upah buruh di wilayah lain yang sudah cukup tinggi
“Dalam aturan lama yang sudah tinggi itu naik terus, sementara yang bawah meski naik, tidak bisa mengejar. Tidak akan pernah bertemu pada titik ideal. PP 36/2021 mencoba mengatasi kesenjangan upah minimum, sehingga terwujud keadilan antarwilayah,” tambah Idah.
Dasar penetapannya, lanjut Ida, bisa pertumbuhan ekonomi atau bisa juga inflasi, tergantung mana yang lebih besar.
Dalam penjelasan resmi di laman Kementerian Tenaga Kerja, Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan, Dinar Titus Jogaswitani menyebut keadilan upah antarwilayah dicapai melalui pendekatan rata-rata konsumsi rumah tangga di masing-masing wilayah. Dia juga menyebut, penetapan upah minimum ditujukan untuk kesejahteraan buruh dengan tetap memperhatikan kemampuan perusahaan dan kondisi nasional. Data ekonomi dan ketenagakerjaan yang dipakai, bersumber dari Badan Pusat Statistik (BPS).
“BPS sebagai satu-satunya wali data nasional merupakan lembaga yang independen dan kompeten dalam hal penyediaan data-data makro yang dibutuhkan oleh seluruh pihak yang berkepentingan. BPS tidak melakukan kegiatan pengumpulan data yang secara khusus ditujukan untuk penghitungan upah minimum,” jelas Dinar.
Buruh Siap Gelar Aksi
Keputusan pemerintah tentu ditolak mentah-mentah seperti disampaikan Dian Septi Trisnanti, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) kepada VOA.
“Kami menolak. Kemungkinan akan ada aksi serentak nasional dari gerakan buruh. Tanggal 18-21 November akan ada aksi-aksi massa,” kata Dian.
Menurut Dian, kenaikan upah seharusnya didasarkan pada Kebutuhan Hidup Layak (KHL) selama masa pandemi. Dengan standar itu, buruh menetapkan angka kenaikan di kisaran 15-30 persen. Omnibus Law dan produk hukum turunannya, kata Dian, telah terbukti menggerus upah buruh.
Dian juga mengkritisi penetapan upah minimum berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan dengan variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, dan median upah.
“Data pertumbuhan ekonomi, inflasi dan variabel tersebut bersumber dari BPS, sehingga BPS memainkan peran kunci penentuan upah, menggantikan Dewan Pengupahan,” lanjut Dian.
BACA JUGA: ILO: Harus Ada Perbaikan KondisiBuruh, kata Dian, menuntut kesejahteraan merata tanpa diskriminasi dengan standar upah layak nasional. Skema upah layak nasional ini telah disuarakan gerakan buruh sejak tahun 2006. Standar upah layak nasional menurut buruh seharusnya mengacu pada kebutuhan riil buruh dan keluarga mereka secara nasional, dengan pemenuhan kebutuhan fisik dan mental buruh berikut keluarga mereka, khususnya pada masa pandemi.
“Bukan standar kebutuhan yang sebelumnya selalu dibatas-batasi oleh negara dengan standar paling minim, bahkan cenderung tidak manusiawi,” tambah Dian.
Karena itulah, FSBPI jelas menuntut pencabutan PP 36/2021 dan SE Menaker Tentang Upah Minimum. Mereka juga meminta berlakunya kembali penghitungan upah berdasarkan standar kebutuhan hidup layak. Buruh juga menuntut kenaikan upah minimum sesuai standar kebutuhan hidup layak sebesar 15-30 persen di seluruh wilayah Indonesia.
“Setop politik upah murah, wujudkan upah layak nasional,” pungkas Dian membacakan tuntutannya. [ns/lt]