Oposisi sayap kiri Korea Selatan mengecam presiden negara itu, Yoon Seok Yeol, hari Jumat (17/3), sewaktu ia kembali dari pertemuan puncak yang bertujuan untuk membuka era baru dalam hubungan Korea Selatan-Jepang.
Yoon pada hari Kamis menjadi presiden Korea Selatan pertama dalam 12 tahun yang mengadakan pertemuan puncak bilateral dengan sejawatnya dari Jepang, sewaktu ia bertemu PM Fumio Kishida di Tokyo.
Keduanya sepakat untuk memulihkan saling kunjung rutin, mengambil langkah-langkah untuk meredakan ketegangan perdagangan, dan bertekad akan memperkuat kerja sama keamanan untuk menghadapi ancaman bersama seperti China dan Korea Utara.
Hasil pertemuan puncak itu tidak cukup memuaskan kalangan sayap kiri Korea Selatan, yang menentang keras upaya Yoon untuk melihat keluar sengketa sejarah yang telah lama membuat hubungan tegang dengan Jepang.
“Pertemuan puncak Korea-Jepang kemarin merupakan hal paling memalukan dan disayangkan dalam sejarah diplomatik Korea Selatan,” kata Lee Jae-myung, ketua oposisi utama, Partai Demokrat.
Berbicara pada rapat partainya, Lee mengatakan “kita seolah-olah terlihat memberi penghormatan kepada Jepang, memohon rekonsiliasi dan menyerah.”
Reaksi itu, meskipun telah banyak diperkirakan, menyoroti tantangan yagn dihadapi Yoon dalam memajukan upaya-upaya untuk memperbaiki hubungan dengan Jepang.
Proposal kerja paksa
Pekan lalu, Yoon meluncurkan rencana untuk menyelesaikan salah satu sengketa paling sulit antara kedua negara, penggunaan tenaga kerja paksa oleh Jepang pada masa pendudukannya yang brutal di Semenanjung Korea pada tahun 1910-1945.
Berdasarkan rencana Yoon, Seoul membatalkan permintaan agar perusahaan-perusahaan Jepang memberi kompensasi kepada para korban kerja paksa. Alih-alih, perusahaan Korea Selatan akan memberikan kompensasi melalui yayasan yang didukung pemerintah.
Sekitar 60 persen warga Korea Selatan menentang rencana itu, menurut berbagai jajak pendapat umum.
Sejumlah politisi kiri dan kelompok aktivis telah menyerukan demonstrasi menentang proposal kerja paksa Yoon, mengingatkan pada protes besar-besaran anti-Jepang di Seoul pada 2019, pada puncak sengketa kerja paksa.
Perhitungan Yoon
Tidak jelas Seberapa besar kecaman yang akan merugikan Yoon, yang tingkat dukungan terhadapnya relatif rendah, hanya 33 persen, menurut jajak pendapat yang dirilis Gallup Korea hari Jumat.
Yoon masih memiliki lebih dari empat tahun masa jabatan tersisa. Seperti semua presiden Korea Selatan lainnya, ia dilarang konstitusi untuk mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua.
Ia mungkin bertaruh bahwa tekanan politik terkait isu tenaga kerja paksa akan mereda pada waktu partainya harus mengajukan kandidat dalam pemilihan presiden 2027, menurut Mason Richey, profesor politik internasional di Hankuk University of Foreign Studies di Seoul.
“Ini pertaruhan yang dibuat Yoon, menurut saya ia cukup bersedia untuk menghadapi situasi panas sekarang ini,” kata Richey.
Posisi lemah
Masalahnya adalah apakah Partai Demokrat pada akhirnya akan berhenti menggunakan isu ini untuk menyerang Yoon, dan apakah presiden liberal berikutnya akan membatalkan proposal tenaga kerja paksa Yoon.
Sejarah belakangan ini menunjukkan upaya Yoon berada dalam posisi lemah.
Pada tahun 2015, presiden konservatif terakhir Korea Selatan, Park Geun-hye, mencapai kesepakatan di mana Jepang akan memberi kompensasi kepada perempuan Korea Selatan yang dipaksa menjadi budak seksual. Presiden Moon Jae-in, seorang liberal, belakangan menolak kesepakatan itu.
Jika Yoon tidak mampu meyakinkan lawan-lawan politiknya mengenai manfaat proposalnya, maka usulan itu akan menghadapi nasib serupa, demikian prediksi Robert Kelly, profesor ilmu politik di Pusan National University, Korea Selatan.
“Ini beban yang cukup besar bagi Yoon,” kata Kelly. “Dan Kishida harus memberinya bantuan, atau kalau tidak, ini tidak akan berhasil.”
Masalah sejarah
Sejauh ini, sedikit saja tanda bahwa Jepang akan menyetujui jenis konsesi yang diminta kalangan progresif di Korea Selatan, seperti permintaan maaf baru terkait kekejaman pada masa perang atau kompensasi langsung bagi para korban kerja paksa.
Pada pertemuan puncak hari Kamis (16/3), Kishida tidak mengajukan permintaan maaf baru. Ia malah mengukuhkan bahwa pemerintah Jepang “mewarisi seluruh persepsi historis dari pemerintah terdahulu,” termasuk deklarasi tahun 1998 yang mencakup permintaan maaf.
Berbicara di samping Kishida, Yoon mengatakan ia tidak memiliki renana untuk meminta ganti rugi dari Jepang.
Jepang bersikeras bahwa isu kerja paksa dan kompensasi lainnya telah diselesaikan oleh suatu perjanjian tahun 1965 yang menjalin hubungan antara Jepang dan Korea Selatan. DI bawah perjanjian itu, Korea Selatan menerima $300 juta bantuan ekonomi dan $500 juta pinjaman dari Jepang.
Akan tetapi, para korban kerja paksa Korea Selatan mulai menuntut kompensasi sejak tahun 1990-an dan putusan pengadilan Korea Selatan selanjutnya memihak para korban.
Tantangan bersama
Bagi banyak kalangan konservatif Korea Selatan, ada isu lebih besar yang dipertaruhkan, seperti menghadapi ancaman rudal nuklir Korea Utara yang meningkat pesat dan mengamankan rantai pasokan global.
“Ini sebabnya mengapa Yoon mengusulkan solusi bagi isu tenaga kerja paksa meskipun risiko politiknya besar,” menurut editorial di harian konservatif Chosun Ilbo. “Pertemuan puncak ini menawarkan kesempatan untuk memperbaikinya lagi.”
Choi Eun-mi, peneliti di Asan Institute yang berbasis di Seoul, proposal Yoon tidak dimaksudkan untuk menjadi solusi menyeluruh bagi masalah tenaga kerja paksa, tetapi lebih merupakan langkah penting pertama.
“Tidak ada cara untuk memuaskan semua orang,” kata Choi. “Saya berharap kita bisa, tetapi ini tidaklah mudah.”
Presiden AS Joe Biden pekan lalu memuji proposal Yoon, dengan mengatakan ini menandai “babak baru berupa terobosan kerja sama dan kemitraan antara dua sekutu terdekat AS.”
Membaiknya hubungan Jepang-Korea Selatan dapat bermanfaat besar bagi AS, yang telah lama mengupayakan kerja sama trilateral dalam menghadapi ancaman regional.
Beberapa analis AS yakin perbaikan hubungan Jepang-Korea Selatan mungkin akan bertahan lebih lama daripada masa jabatan Yoon dan Kishida, mengingat peningkatan kekuatan militer Tiongkok dan uji coba rudal Korea Utara yang hampir terus menerus serta berbagai ancaman lainnya.
Setidaknya untuk saat ini, banyak politisi oposisi Korea Selatan yang terlihat tidak menyetujuinya.
Ko Min-jung, legislator senior Partai Demokrat, mengatakan kepada VOA hari Jumat (17/3) bahwa mungkin saja bagi Korea Selatan untuk menghadapi tantangan keamanannya sekaligus menghindari apa yang ia sebut “diplomasi menyerah.”
“Ada alasan kuat untuk mempertanyakan apa manfaat Korea Selatan menyerah tanpa syarat, semuanya, kepada Jepang,” katanya. [uh/ab]