Sebuah lembaga independen pemerintah federal Amerika Serikat melaporkan pada Rabu (7/8) bahwa Afghanistan telah mengalami penurunan kebebasan beragama yang "terus-menerus dan signifikan" di bawah pemerintahan Islamis Taliban.
Komisi Kebebasan Beragama Internasional AS (USCIRF) menyebut dalam laporan barunya bahwa otoritas Taliban "terus menekan dan secara signifikan menghambat setiap tindakan atau perilaku yang tidak sesuai dengan interpretasi mereka yang ketat terhadap Islam."
Taliban merebut kekuasaan setelah pasukan internasional yang dipimpin AS keluara dari negara tersebut pada Agustus 2021. Otoritas de facto Afghanistan kemudian telah menerapkan interpretasi ekstrem terhadap hukum Islam sejak kembali memimpin negara tersebut, yang mengarah pada pembatasan besar-besaran terhadap kebebasan pribadi, serta membatasi perempuan Afghanistan untuk berpartisipasi dalam sebagian besar aspek kehidupan publik.
USCIRF menyatakan bahwa para pemimpin garis keras telah membungkam para ulama, mencegah kelompok agama minoritas untuk melakukan upacara keagamaan, serta terus membatasi pergerakan dan akses pendidikan bagi perempuan dan anak perempuan Afghanistan.
BACA JUGA: Taliban Menolak Banyak Misi Diplomatik Afghanistan di Luar Negeri"Di bawah pemerintahan de facto Taliban, penggunaan hukuman fisik dan hukuman mati dilanjutkan di Afghanistan, untuk menghukum pelanggaran yang dianggap sebagai pelanggaran Syariat (hukum Islam). Hukuman termasuk eksekusi di depan umum, cambuk, rajam, pemukulan, dan tindak penghinaan di depan umum seperti pencukuran kepala secara paksa," ujar laporan tersebut.
Taliban tidak segera mengomentari temuan pengawas AS dan tidak menanggapi pertanyaan VOA karena mereka telah melarang media di Afghanistan. Laporan AS itu muncul pada hari ketika Mahkamah Agung Taliban mengumumkan bahwa seorang pria dan perempuan dihukum cambuk di depan umum di ibu kota Afghanistan, Kabul, karena melakukan "hubungan terlarang." MA tidak menjelaskan lebih lanjut dan menyatakan bahwa terpidana perempuan menerima 32 kali cambukan, sementara pria dicambuk 39 kali.
Hampir 600 orang, termasuk perempuan, telah dicambuk secara terbuka setelah Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan; memicu protes dan seruan dari PBB untuk segera mengakhiri hukuman fisik tersebut karena dianggap melanggar hukum internasional.
Pada bulan Juni, otoritas fundamentalis mencambuk lebih dari 63 orang, termasuk 14 perempuan, di stadion olahraga Afghanistan utara yang penuh sesak setelah memvonis mereka dengan tuduhan homoseksualitas, perzinahan, dan "kejahatan asusila" lainnya.
Taliban juga telah mengeksekusi secara terbuka setidaknya lima orang Afghanistan yang dihukum karena pembunuhan, dengan mengutip konsep Islam tentang keadilan retributif yang dikenal sebagai qisas.
Amerika Serikat dan dunia internasional pada umumnya menolak untuk mengakui otoritas Taliban sebagai pemerintah resmi Afghanistan, dengan alasan pembatasan akses perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan, di antara berbagai persoalan HAM lainnya.
Anak perempuan berusia 12 tahun ke atas tidak diizinkan untuk bersekolah di sekolah menengah, menjadikan Afghanistan satu-satunya negara di dunia yang menerapkan pembatasan semacam itu, sementara mahasiswi dilarang masuk ke universitas. Sebagian besar perempuan Afghanistan dilarang bekerja di sektor publik dan swasta, termasuk di PBB.
BACA JUGA: Para Pedagang Akhiri Protes 9 Bulan di Perbatasan Pakistan-AfghanistanUSCIRF merekomendasikan dalam laporan tahunan 2024 bahwa Washington menetapkan Afghanistan yang dikuasai Taliban sebagai "negara yang menjadi perhatian khusus" di bawah Undang-undang Kebebasan Beragama Internasional atas dugaan "pelanggaran berat" terhadap kebebasan beragama. Laporan tersebut juga menyerukan agar sanksi terus ditargetkan kepada para pejabat Taliban yang bertanggung jawab atas pelanggaran berat terhadap kebebasan beragama.
Taliban terus-menerus menolak tuduhan pelanggaran HAM atau diskriminasi terhadap perempuan yang dilontarkan dalam laporan PBB maupun kelompok HAM internasional lainnya, menyebutnya sebagai propaganda untuk menentang pemerintahan Islam mereka.
Pemerintah de facto bersikeras bahwa hak-hak perempuan di Afghanistan dilindungi di bawah prinsip-prinsip Islam, dan bahwa "sistem peradilan Taliban memberikan keadilan" kepada masyarakat sesuai dengan Al-Qur'an dan hukum Syariat. [th/ab]