Menyusul penolakan Gereja Inggris untuk mengangkat uskup perempuan, pihak internal sendiri mengecam gereja buta terhadap tuntutan masyarakat.
LONDON —
Uskup Agung Canterbury mengecam Gereja Inggris buta terhadap perilaku masyarakat Inggris modern, menyusul kesepakatan gereja pada Rabu (21/11) untuk menolak uskup perempuan, sebuah kemenangan bagi kelompok minoritas yang tradisional.
Setelah lebih dari 10 tahun bergulat dalam debat yang membelah dua, pemungutan suara oleh Sinode, atau badan legislatif Gereja, sepakat menolak pengangkatan uskup perempuan, meski 42 dari 44 keuskupan sebelumnya sudah menyetujuinya.
Perempuan diperbolehkan menjadi pendeta Gereja selama lebih dari 20 tahun, namun pemungutan suara tersebut secara efektif menutup akses mereka ke eselon lebih tinggi dalam hierarki gereja.
Hal ini bertentangan dengan masyarakat Inggris yang menganggap kesetaraan gender adalah hak asasi. Komentar di koran-koran Inggris menyusul keputusan tersebut menggambarkan Gereja sebagai salah langkah dan terancam tidak relevan.
“Sepertinya kita sengaja buta terhadap kecenderungan dan prioritas dari masyarakat yang lebih luas,” Uskup Agung Rowan Williams berkata dalam pidatonya kepada Sinode.
“Kita harus menjelaskan hal ini. Hasil pemungutan suara tidak diragukan lagi membuat Gereja kehilangan kredibilitas dalam masyarakat.”
“Gereja Tidak Mati”
Sesuai struktur Sinode, reformasi yang diusulkan tersebut harus ditunda paling tidak lima tahun, sehingga memperpanjang debat yang membuat kaum reformis beradu dengan kelompok konservatif.
Pejabat paling senior kedua Gereja menyangkal tuduhan bahwa lembaga tersebut menghadapi krisis eksistensial setelah pemungutan suara.
“Orang-orang berkata ‘Gereja bunuh diri, Gereja telah mati,” Uskup Agung York John Sentamu berkata pada Radio BBC.
“Orang mati tidak berdiskusi. Kami telah berdiskusi, kami sama sekali tidak bunuh diri, kami masih sangat hidup,” ujarnya.
Sudah ada uskup Anglikan perempuan di Australia, Selandia Baru, Kanada dan Amerika Serikat, namun kemajuan di Inggris sangat lambat karena terlalu mengakomodasi kelompok konservatif yang mengatakan kepastoran yang beranggotakan laki-laki semua adalah kehendak Tuhan.
Secara teori, Gereja telah sepakat untuk memperbolehkan uskup perempuan. Namun sebelum mereka diangkat, harus ada alternatif uskup laki-laki jika ada penolakan dari pendeta atau dioses untuk memiliki pemimpin perempuan.
Gereja Inggris, induk bagi 80 juta umat Anglikan di dunia, harus fokus pada isu tersebut atau berisiko mengucilkan masyarakat yang lebih luas, ujar Williams. Jajak pendapat menunjukkan ada dukungan substansial bagi uskup perempuan di antara umat Anglikan di Inggris.
“Setiap kali kita gagal menyelesaikan isu ini, kredibilitas kita di mata publik menurun. Kita tidak sanggup berada dalam situasi tersebut,” ujarnya.
Gereja Terancam
Tony Baldry, wakil Partai Konservatif yang berbicara untuk Gereja di Parlemen, mengatakan bahwa lembaga tersebut berisiko menjadi tidak relevan di mata masyarakat Inggris.
“Risiko yang terbesar sekarang bagi Gereja Inggris adalah hilangnya ketertarikan dari masyarakat. Ada risiko Gereja hanya akan terlihat sama seperti sekte agama yang lainnya,” ujarnya.
Kelompok konservatif Reform menyambut baik keputusan Gereja.
“Kami berterima kasih kepada Tuhan karena Gereja Inggris terhindar dari kesalahan besaryang akan mengarah pada perpecahan nyata dan Gereja yang lebih inklusif,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
“Gereja telah terhindar menempatkan kelompok minoritas signifikan, yang seperti umat Anglikan taat lainnya bertekad mengikuti ajaran Alkitab, pada posisi yang mustahil.” (Reuters/Alessandra Prentice)
Setelah lebih dari 10 tahun bergulat dalam debat yang membelah dua, pemungutan suara oleh Sinode, atau badan legislatif Gereja, sepakat menolak pengangkatan uskup perempuan, meski 42 dari 44 keuskupan sebelumnya sudah menyetujuinya.
Perempuan diperbolehkan menjadi pendeta Gereja selama lebih dari 20 tahun, namun pemungutan suara tersebut secara efektif menutup akses mereka ke eselon lebih tinggi dalam hierarki gereja.
Hal ini bertentangan dengan masyarakat Inggris yang menganggap kesetaraan gender adalah hak asasi. Komentar di koran-koran Inggris menyusul keputusan tersebut menggambarkan Gereja sebagai salah langkah dan terancam tidak relevan.
“Sepertinya kita sengaja buta terhadap kecenderungan dan prioritas dari masyarakat yang lebih luas,” Uskup Agung Rowan Williams berkata dalam pidatonya kepada Sinode.
“Kita harus menjelaskan hal ini. Hasil pemungutan suara tidak diragukan lagi membuat Gereja kehilangan kredibilitas dalam masyarakat.”
“Gereja Tidak Mati”
Sesuai struktur Sinode, reformasi yang diusulkan tersebut harus ditunda paling tidak lima tahun, sehingga memperpanjang debat yang membuat kaum reformis beradu dengan kelompok konservatif.
Pejabat paling senior kedua Gereja menyangkal tuduhan bahwa lembaga tersebut menghadapi krisis eksistensial setelah pemungutan suara.
“Orang-orang berkata ‘Gereja bunuh diri, Gereja telah mati,” Uskup Agung York John Sentamu berkata pada Radio BBC.
“Orang mati tidak berdiskusi. Kami telah berdiskusi, kami sama sekali tidak bunuh diri, kami masih sangat hidup,” ujarnya.
Sudah ada uskup Anglikan perempuan di Australia, Selandia Baru, Kanada dan Amerika Serikat, namun kemajuan di Inggris sangat lambat karena terlalu mengakomodasi kelompok konservatif yang mengatakan kepastoran yang beranggotakan laki-laki semua adalah kehendak Tuhan.
Secara teori, Gereja telah sepakat untuk memperbolehkan uskup perempuan. Namun sebelum mereka diangkat, harus ada alternatif uskup laki-laki jika ada penolakan dari pendeta atau dioses untuk memiliki pemimpin perempuan.
Gereja Inggris, induk bagi 80 juta umat Anglikan di dunia, harus fokus pada isu tersebut atau berisiko mengucilkan masyarakat yang lebih luas, ujar Williams. Jajak pendapat menunjukkan ada dukungan substansial bagi uskup perempuan di antara umat Anglikan di Inggris.
“Setiap kali kita gagal menyelesaikan isu ini, kredibilitas kita di mata publik menurun. Kita tidak sanggup berada dalam situasi tersebut,” ujarnya.
Gereja Terancam
Tony Baldry, wakil Partai Konservatif yang berbicara untuk Gereja di Parlemen, mengatakan bahwa lembaga tersebut berisiko menjadi tidak relevan di mata masyarakat Inggris.
“Risiko yang terbesar sekarang bagi Gereja Inggris adalah hilangnya ketertarikan dari masyarakat. Ada risiko Gereja hanya akan terlihat sama seperti sekte agama yang lainnya,” ujarnya.
Kelompok konservatif Reform menyambut baik keputusan Gereja.
“Kami berterima kasih kepada Tuhan karena Gereja Inggris terhindar dari kesalahan besaryang akan mengarah pada perpecahan nyata dan Gereja yang lebih inklusif,” ujarnya dalam pernyataan tertulis.
“Gereja telah terhindar menempatkan kelompok minoritas signifikan, yang seperti umat Anglikan taat lainnya bertekad mengikuti ajaran Alkitab, pada posisi yang mustahil.” (Reuters/Alessandra Prentice)