Utusan PBB Serukan Pencabutan Sanksi untuk Bangun Kembali Suriah

Utusan PBB untuk Suriah, Geir Pedersen

Utusan PBB untuk Suriah, Geir Pedersen pada hari Minggu (15/12) menyerukan diakhirinya sanksi-sanksi Barat terhadap Suriah agar pembangunan negara itu dapat segera dimulai. Sementara pemimpin baru negara itu dan kekuatan-kekuatan regional dan global mulai memetakan jalan ke depan setelah tergulingnya Presiden Bashar Al Assad.

Pemerintah Suriah telah dikenai sanksi-sanksi ketat oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara-negara lain selama bertahun-tahun sebagai akibat dari kebijakan brutal Assad terhadap warga sipil, yang berawal dari demonstrasi anti-pemerintah yang damai pada tahun 2011 dan bergulir menjadi perang saudara.

Kelompok Hayat Tahrir Al-Sham Gulingkan Assad Setelah 54 Tahun Berkuasa

Aliansi pemberontak yang menggulingkan Assad dan mematahkan cengkeraman besinya di negara itu pada 8 Desember lalu kini berhadapan langsung dengan sebuah negara yang dilanda krisis dan sangat terisolasi oleh sanksi-sanksi internasional yang keras, yang memperburuk masalah ekonomi Suriah sebelumnya. Namun sejumlah tantangan lain ikut memperumit pembangunan kembali negara berpenduduk 25 juta jiwa itu, antara lain: kepemimpinan transisi baru yang belum memiliki visi yang jelas tentang bagaimana akan mengatur negara ini, dan kelompok utama di balik penggulingan Assad yang telah ditetapkan sebagai teroris oleh Amerika.

Utusan PBB Untuk Suriah, Geir Pedersen, mengatakan kepada wartawan di Damaskus bahwa mengembalikan Suriah ke jalur yang benar setelah beberapa minggu yang penuh gejolak akan sangat terbantu dengan pelonggaran sanksi. “Mudah-mudahan dengan segera diakhirinya sanksi maka kita bisa melihat dukungan untuk membangun kembali Suriah,” katanya.

BACA JUGA: Pemimpin De Facto Suriah Tidak Tertarik pada Konflik Baru Meski Israel Menyerang

Beberapa kota terbesar di Suriah masih rusak atau hancur akibat pertempuran selama bertahun-tahun. Upaya rekonstruksi umumnya terhambat oleh sanksi yang semula dimaksudkan untuk mencegah pembangunan kembali infrastruktur dan properti yang rusak di wilayah yang dikuasai pemerintah, jika tidak ada solusi politik.

Pedersen terbang ke Damaskus untuk bertemu dengan para pejabat pemerintahan sementara yang baru dibentuk oleh mantan pasukan oposisi yang menggulingkan Assad, yang dipimpin oleh kelompok militan Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS).

AS Indikasikan Cabut Sebutan Teroris bagi HTS

Para pejabat di Washington telah mengindikasikan bahwa pemerintahan Biden sedang mempertimbangkan untuk menghapus sebutan kelompok teror tersebut. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, yang sedang menghadiri pertemuan darurat di Yordania, Sabtu lalu (14/12) mengatakan pihaknya telah melakukan kontak langsung dengan kelompok tersebut. Blinken mengatakan telah mendapat dukungan dari 12 menteri luar negeri dari Liga Arab, Turki dan pejabat tinggi dari Uni Eropa dan PBB mengenai bagaimana sedianya Suriah dibangun setelah puluhan tahun dikuasai keluarga Assad.

Mereka sepakat bahwa pemerintah baru Suriah harus menghormati hak-hak kelompok minoritas dan perempuan, mencegah kelompok teror mengambil alih kembali kekuasaan, memastikan akses bantuan kemanusiaan bagi mereka yang membutuhkan, dan mengamankan serta menghancurkan sisa senjata kimia era Assad. Blinken telah berjanji bahwa Amerika akan mengakui dan mendukung pemerintahan baru yang memenuhi prinsip-prinsip tersebut.

BACA JUGA: Blinken: Amerika Kontak Langsung dengan Pemberontak yang Gulingkan Assad

Belum Jelas Arah Pendekatan Trump pada Suriah

Namun mengingat hampir habisnya masa pemerintahan Biden, belum jelas pendekatan apa yang akan diambil oleh presiden terpilih Donald Trump terhadap Suriah.

Pemerintah sementara Suriah akan memerintah hingga Maret 2025, tetapi belum jelas proses yang akan menggantikannya dengan pemerintahan permanen yang baru.

Pedersen mengatakan, “Kita perlu menjalankan proses politik yang inklusif bagi semua warga Suriah. Proses itu jelas harus dipimpin oleh rakyat Suriah sendiri.”

Dia menyerukan “keadilan dan akuntabilitas atas kejahatan” yang dilakukan selama perang dan agar masyarakat internasional meningkatkan bantuan kemanusiaan. [em/jm]