Keberadaan villa di tengah hamparan sawah di kawasan subak diminta ditertibkan karena melanggar rencana tata ruang wilayah.
Ketua Kelompok Peneliti Subak Universitas Udayana, Wayan Windia, mengusulkan kepada pemerintah provinsi Bali dan pemerintah kabupaten/kota di Bali untuk melakukan penertiban terhadap villa-villa yang berada di kawasan subak karena bangunan-bangunan tersebut telah melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW).
Keberadaan villa di kawasan subak juga telah menyebabkan lahan subak berkurang dan nilai jual obyek pajak (NJOP) lahan subak meningkat tajam, sehingga petani tidak mampu membayar pajak lahan pertaniannya.
“Tahun lalu petani membayar Rp 1 juta per hektar, sekarang Rp 4 juta per hektar, berarti naik hampir 300 persen. Di Denpasar Barat, petani membayar Rp 40 juta untuk 70 are. Ini sangat meyakitkan, jadi perlu ditata kembali undang-undang perpajakan itu supaya dasarnya bukan NJOP tetapi produksi,” ujarnya pada Senin (16/7).
Ketua Harian Dewan Pengelola Warisan Budaya Bali, I Wayan Alit Artha Wiguna mengusulkan agar pemerintah provinsi Bali melakukan pemetaan ulang terhadap luasan subak di seluruh Bali untuk mengetahui secara pasti luasan lahan subak. Belum lagi di tengah perkembangan pariwisata banyak lahan subak yang telah beralih fungsi, tambahnya.
Sementara itu Gubernur Bali Made Mangku Pastika mempertimbangkan untuk memberikan insentif berupa keringanan pajak bagi lahan kawasan Subak. Kebijakan insentif ini terkait rencana pemerintah provinsi Bali untuk memberlakukan kebijakan Peraturan Daerah (perda) perlindungan subak.
“Dana yang dikumpulkan dari pariwisata harus memberikan kesejahteraan juga kepada mereka. Misalnya ada wisatawan yang sedang menonton mereka sedang membajak sawah , itu kan sama saja dengan wisatawan yang sedang seniman yang sedang pentas di panggung, kenapa mereka tidak di bayar?” ujarnya.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Bali, luas lahan subak sawah di Bali saat ini mencapai 81.000 hektar. Sebelumnya United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau organisasi dunia di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan telah menetapkan Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia.
Keberadaan villa di kawasan subak juga telah menyebabkan lahan subak berkurang dan nilai jual obyek pajak (NJOP) lahan subak meningkat tajam, sehingga petani tidak mampu membayar pajak lahan pertaniannya.
“Tahun lalu petani membayar Rp 1 juta per hektar, sekarang Rp 4 juta per hektar, berarti naik hampir 300 persen. Di Denpasar Barat, petani membayar Rp 40 juta untuk 70 are. Ini sangat meyakitkan, jadi perlu ditata kembali undang-undang perpajakan itu supaya dasarnya bukan NJOP tetapi produksi,” ujarnya pada Senin (16/7).
Ketua Harian Dewan Pengelola Warisan Budaya Bali, I Wayan Alit Artha Wiguna mengusulkan agar pemerintah provinsi Bali melakukan pemetaan ulang terhadap luasan subak di seluruh Bali untuk mengetahui secara pasti luasan lahan subak. Belum lagi di tengah perkembangan pariwisata banyak lahan subak yang telah beralih fungsi, tambahnya.
Sementara itu Gubernur Bali Made Mangku Pastika mempertimbangkan untuk memberikan insentif berupa keringanan pajak bagi lahan kawasan Subak. Kebijakan insentif ini terkait rencana pemerintah provinsi Bali untuk memberlakukan kebijakan Peraturan Daerah (perda) perlindungan subak.
“Dana yang dikumpulkan dari pariwisata harus memberikan kesejahteraan juga kepada mereka. Misalnya ada wisatawan yang sedang menonton mereka sedang membajak sawah , itu kan sama saja dengan wisatawan yang sedang seniman yang sedang pentas di panggung, kenapa mereka tidak di bayar?” ujarnya.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Bali, luas lahan subak sawah di Bali saat ini mencapai 81.000 hektar. Sebelumnya United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) atau organisasi dunia di bidang pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan telah menetapkan Subak sebagai bagian dari warisan budaya dunia.