Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sedang mengkaji opsi atas evaluasi pemilihan kepala daerah atau pilkada langsung. Opsi-opsi tersebut antara lain adalah tetap dilakukan pilkada langsung dengan meminimalisasi efek negatifnya dan pilkada kembali ke DPRD atau pilkada asimetris.
Pilkada asimetris yang dimaksud adalah sistemyang memungkinkan adanya perbedaan pelaksanaan mekanisme pilkada antar daerah. Perbedaan tersebut bisa muncul dikarenakan suatu daerah memiliki karakteristik tertentu, seperti kekhususan dalam aspek administrasi, budaya ataupun aspek strategis lainnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan gagasan Mendagri Tito Karnavian tersebut harus benar-benar dikaji secara mendalam, komprehensif dan juga partisipatif. Jangan sampai, tambah Titi, justru kebijakan menggunakan sistem asimetris itu akhirnya memperlakukan daerah-daerah secara tidak setara dan kemudian dipandang sebuah kebijakan yang diskriminatif terkait dengan proses demokrasi.
Pilkada Asimetris Sudah Diberlakukan di Sebagian Daerah
Sebenarnya pilkada asimetris selama ini sudah diberlakukan di Aceh, Yogyakarta, Jakarta dan Papua. Di Aceh misalnya, kata Titi, keberadaan partai politik lokal bisa mencalonkan kepala dan wakil kepala daerah di pilkada. Di DKI Jakarta hanya ada pemilihan gubernur sementara untuk kabupaten kota tidak ada pilkadanya.
BACA JUGA: Perludem: Demokrasi Mundur Jika Kepala Daerah Kembali Dipilih DPRDSementara Di Jogjakarta ada pilkada kabupaten kota tetapi tidak ada pemilihan gubernur (pilgub), karena pilgub sistemnya penunjukan langsung kepada raja kraton. Sedangkan di Papua, gubernur dan wakil gubernur harus orang asli Papua.
Jika melihat keempat daerah tersebut, tambah Titi, pengaturan yang khusus itu merupakan bagian dari sebuah keistimewaan karena mempertimbangkan asal usul. Kekhususan suata daerah dan kesemuanya itu diatur dalam undang-undang tersendiri.
Menurutnya Perludem pada dasarnya setuju adanya evaluasi terhadap pilkada langsung tetapi pendekatan evaluasinya jangan bias. Salah satu dasar adanya evaluasi pilkada langsung diantaranya karena biaya politik yang tinggi dan maraknya politik uang.
"Kalau untuk menjawab kelemahan-kelemahan pilkada berarti kan identifikasi kelemahannya harus utuh dilakukan. Kalau problemnya ternyata ada di kualitas demokrasi parpol kita maka yang harus kita benahi sungguh-sunggu adalah bagaimana kita memastikan demokrasi di parpol kita , aturan main atau kerangka hukum yang betul2 menjamin proses kontestasi yang demokrasi sehingga tidak memberi celah terjadinya implimentasi kompetisi yang membuka celah pada pelanggaran," jelas Titi.
BACA JUGA: Pilkada Solo 2020 Jalur PDIP, Petahana VS Putra Presiden JokowiDitemui secara terpisah, pengamat Politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro, mengungkapkan setelah dievaluasi sejak 2005-2018, pelaksanaan pilkada langsung memang tidak seluruhnya positif.
Di Indonesia ada 542 pilkada, yang dilangsungkan di 34 provinsi, 99 kota dan selebihnya kebupaten. Dan tidak seluruhnya kecamatan, desanya maju.
Menurutnya ada daerah yang cukup baik melaksanakan pilkada langsung, tetapi ada banyak juga daerah yang tidak pas diterapkan pilkada langsung sehingga tidak menutup kemungkinan bisa diterapkan model asimetris untuk pilkada di daerah yang dinilai tidak pas itu.
"Artinya ada daerah yang bisa melaksanakan pilkada langsung, ada daerah yang untuk beberapa alasan dilaksanakanlah pilkada melalui DPRD. Tapi tentu melalui DPRD bukan tanpa persyaratan tambahan. Menurut saya daerah-daerah tertentu tidak bisa diseragamkanbegitu saja dengan pilkada langsung," papar Siti Zuhro
BACA JUGA: KPU Ingin Menghasilkan Pemimpin Yang BersihSiti Zuhro menambahkan tidak benar juga pelaksanaan pilkada dengan gaya penyeragaman dari Sabang sampai Merauke karena masing-masing daerah sangat memiliki karakteristik, kekhasan, kapasitas dan kompetensi masing-masing.
Pilkada langsung, lanjutnya, lebih tepat untuk daerah yang masyarakat pendidikan dan ekonominya baik, atau minimal pelayanan dasarnya sudah baik.
Menurutnya, masalah utama di Indonesia adlaah bagaimana partai politik melakukan reformasi secara serius di lingkungan internal sehingga menjadikan partainya sebagai partai kader.
BACA JUGA: Kelompok Minoritas Diminta Tidak Takut Maju Jadi Calon PemimpinPilkada Dinilai Rawan Korupsi, Tito Usul Pilkada Asimetris Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menilai pilkada langsung dengan biaya politik yang tinggi bisa menimbulkan potensi korupsi bagi kepala daerah terpilih. Meski sistem pemilihan langsung bermanfaat untuk meningkatkan partisipasi politik masyarakat namun Tito menyatakan sistem tersebut memiliki banyak dampak negatif
"Dampak negatif positif pilkada langsung adalah kalau dianggap positif, fine. Tapi bagaimana mengurangi dampak negatifnya, politik biaya tinggi, potensi konflik, dan korupsi. Bagaimana solusi untuk mengurangi dampak negatifnya supaya tidak terjadi korupsi, kalau nggak terjadi OTT lagi. Tinggal pilih saja kok kepala daerah yang mau di OTT," ujar Tito. [fw/em]