Puluhan aktivis anti korupsi berunjuk rasa di Yogyakarta, Selasa sore, hanya beberapa jam setelah DPR mengesahkan revisi UU No 30 tahun 2002 tentang KPK. Sejak awal mereka yakin, revisi ini akan melemahkan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Dibentuknya Dewan Pengawas yang akan ditunjuk oleh Presiden, menjadi kekhawatiran terbesar mereka.
Koordinator Jaringan Anti Korupsi (JAK) Yogyakarta, Zaenur Rohman menyebut, independensi KPK akan hilang oleh keberadaan Dewan Pengawas.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dewan Pengawas itu akan membatasi kewenangan-kewenangan penindakan KPK. Dewan Pengawas itu dibentuk oleh Presiden. Artinya, jelas itu adalah orang-orangnya Presiden. Sedangkan katanya KPK adalah lembaga independen, tetapi Dewan Pengawasnya itu jelas-jelas adalah tidak independen karena orang-orangnya Presiden. Jadi, saya menggunakan bahasa, bahwa KPK berada di ketiak Presiden,” kata Rohman.
Revisi Hilangkan Independensi KPK
Independensi manajemen kepegawaian juga akan hilang oleh hadirnya UU baru ini. Jika pegawai KPK menjadi Aparat Sipil Negara (ASN), maka mereka akan tunduk pada sistem dan manajemen ASN. Sudah menjadi pemahaman umum, bahwa ASN akan tunduk kepada atasannya. Mereka tidak memiliki ruang untuk melakukan kritik, misalnya mempertanyakan kebijakan atasan. Padahal selama ini, pegawai KPK dapat leluasa memberikan kritik kepada pimpinan mereka.
Perubahan juga akan terjadi dalam rekrutmen pegawai yang harus mengikuti ketentuan peraturan ASN. Kementerian PAN dan RB turut berperan dalam proses ini dan KPK tidak bisa mandiri melakukan rekrutmen. Dalam dalam rekrutmen penyelidik dan penyidik, KPK juga harus bekerja sama dengan kepolisian atau kejaksaan. Kondisi ini juga menghapus independensi mereka.
“Dan yang paling dikhawatirkan adalah, kalau sudah yang tidak independen, KPK bisa menjadi alat politik. Dalam hal ini misalnya untuk tujuan menyasar lawan politik ataupun menjadi tempat berlindung bagi para pendukung penguasa. Ini bisa menimbulkan impunitas, itulah kegelisahan kami yang paling besar,” tambah Rohman.
Karena itulah, lembaga swadaya masyarakat dan aktivis antikorupsi berbagai perguruan tinggi akan secepatnya mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Begitu penomoran UU dilakukan dan diundangkan dalam lembaran negara, permohonan akan langsung diajukan.
Satu Langkah Hukum Tersisa
Dalam beberapa diskusi sepanjang proses revisi UU KPK di DPR, para aktivis antikorupsi di Yogyakarta sepakat uji materiil dan uji formil layak diajukan. Uji materiil revisi UU KPK jelas bisa diajukan mengingat isinya yang menjadikan KPK tidak independen. Sedangkan uji formil dilakukan untuk menguji bagaimana proses pembahasan UU ini. Para aktivis meyakini, langkah DPR melanggar Undang-Undang No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Sebuah RUU semestinya tidak dibahas jika tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Porlegnas). Setidaknya ada dua ketentuan yang bisa digunakan, jika pembahasan dilakukan tanpa melalui Prolegnas. Keduanya adalah adanya keadaan tertentu, seperti krisis ekonomi atau bencana alam dan faktor ke-dua adalah urgensi nasional. Kedua kondisi itu dipercaya tidak terpenuhi pada proses revisi UU KPK.
Baharuddin Kamba, Koordinator Pengurus Harian Jogja Corruption Watch (JCW) meminta seluruh elemen gerakan sipil melakukan konsolidasi. Salah satu langkah penting dalam upaya uji materi di Mahkamah Konstitusi adalah kualitas materi gugatan. Meski banyak faktor meyakinkan bahwa upaya ini akan berhasil, tetap harus dipastikan alasan hukumnya kuat.
“Seharusnya kita semua bersama-sama. Ini kan keprihatinan semua. Kalau memang kita komitmen dengan upaya pemberantasan korupsi, tentu tidak sulit untuk bergabung. Termasuk teman-teman yang saat ini dekat dengan istana, meskipun tentu akan sulit bagi mereka untuk terlibat dalam upaya ini,” kata Kamba.
Upaya hukum ke Mahkamah Konstitusi menjadi satu-satunya jalan yang saat ini bisa dilakukan terkait polemik ini. Menurut aktivis, sebenarnya ada langkah yang bisa diambil Jokowi jika masih ingin memperbaiki keadaan, yaitu dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Namun kemungkinan ini sangat kecil karena Jokowi sendiri nampak juga menginginkan revisi UU KPK seperti halnya DPR.
“Berharap pada Jokowi sudah tidak mungkin. Dia diam-diam mengiris surat persetujuan, dan begitu kilatnya pengesahan revisi UU KPK ini,” tambah Kamba.
Menunggu Peran Masyarakat Sipil
Dihubungi terpisah, Fajri Nursyamsi, Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) menilai, uji materi sebenarnya langkah terakhir. Dia mengatakan, konsep umum dalam demokrasi memungkinkan terjadinya check and balances. Saling kontrol dan mengimbangi kekuatan ini dibutuhkan untuk membatasi kekuasaan masing-masing. Peran ini dijalankan oleh eksekutif, legislatif dan lembaga yudisial.
Dalam kasus revisi UU KPK yang diusulkan DPR, sebenarnya Presiden dapat menjalankan prinsip itu dengan tidak mengirimkan surat persetujuan. Namun ternyata, kata Fajri, kekuasaan eksekutif justru mendukung apa yang dilakuan DPR.
“Sekarang tinggal satu. Tinggal satu kekuasaan yang bisa mengimbangi proses yang sudah berjalan dalam pembentukan undang-undang. Ada proses yang namanya judicial review setelah undang-undang ini selesai dibahas. Tentu, kalau obyeknya undang-undang, judicial review-nya di Mahkamah Konstitusi,” ujar Fajri.
Fajri menambahkan, masyarakat sipil menjadi pilar kekuatan ke-empat dalam demokrasi. Karena itulah, kelompok ini perlu mengambil peran lebih ketika dua kekuasaan bersatu untuk kepentingan politik praktis. Peran ini dinilai menjadi kekuatan penyeimbang, dan bisa dilakukan melalui jalur hukum formal maupun membangun opini publik.
Masyarakat sipil juga harus menyampaikan pesan jelas kepada KPK, agar tetap menjalankan tugas dan fungsinya seprofesional mungkin. Langkah ini penting agar agenda pemberantasan korupsi, di mana KPK menjadi ujung tombak, tidak terganggu.
“Kita bisa mengambil peran masing-masing untuk saling mendukung agar agenda pemberantasan korupsi ini tidak dibajak oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab,” kata Fajri.
Pakar hukum tata negara UGM, Oce Madril dalam sebuah pernyataan sikap sebelumnya mengatakan, terbuka kemungkinan revisi ini dibatalkan. Faktor terkuat dari kemungkinan itu adalah karena prosedur yang dilaluinya, cacat secara formil.
“Pelanggaran-pelanggaran prosedur atau cacat formil, itu akan menjadi bukti lanjutan di dalam sebuah gugatan hukum, apakah itu ke Mahkamah Konstitusi misalnya di tahap akhir, bahwa memang secara formil, undang-undang ini, perubahan ini, dibentuk dengan cara melanggar hukum. Dan sudah ada preseden, di mana undang-undang yang dibentuk dengan cara melanggar prosedur formil itu, akan dibatalkan secara keseluruhan oleh Mahkamah Konstitusi,” kata Oce.[ns/uh]