Walhi: Sanksi Administratif Efektif Cegah Kebakaran Hutan

  • Fathiyah Wardah

Kebakaran hutan di Pekanbaru, Riau. (Foto: Dok)

Sanksi administratif, jika diberlakukan serius, dapat efektif mencegah kembali terjadinya pembakaran lahan dan hutan yang terus berulang.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menganggap sanksi administratif bagi perusahaan yang terbukti membakar hutan dan lahan adalah efektif jika dilakukan secara serius untuk mencegah kembali terjadinya pembakaran lahan dan hutan yang terus berulang.

Pemerintah telah menggunakan pendekatan baru yaitu pemberian sanksi berupa pembekuan hingga pencabutan izin usaha yang dimiliki oleh korporasi atau perusahaan.

Langkah ini diambil karena penegakan hukum pidana kerap tidak optimal dalam menghentikaan kebakaran hutan dan lahan.

Manajer Walhi untuk kampanye hutan dan perkebunan skala besar, Zenzi Suhadi, mengatakan langkah ini dapat efektif mencegah kembali terjadinya pembakaran lahan dan hutan yang terus berulang.

Pemerintah, lanjut Zenzi, seharusnya juga melakukan audit terhadap seluruh koorporasi yang ada terkait analisis dampak lingkungan (Amdal) dan juga izin lingkungan. Apabila ditemukan penyimpangan dari Amdal maupun izin lingkungannya, maka hal ini dapat menjadi salah satu basis untuk melakukan pencabutan izin, ujarnya.

Ia menambahkan bahwa pemerintah juga harus melihat apakah ditemukan titik api di dalam konsesi perusahaan karena dalam aktivitas perkebunan sawit atau hutan tanaman industri, pembakaran lahan tidak dibolehkan.

"Sebenarnya ketika terjadi kebakaran maka sebenarnya perusahaan itu telah melanggar ketentuan perizinan artinya sanksi itu bisa dilakukan secara langsung," ujarnya kepada VOA, Selasa (8/9).

Lebih lanjut Zenzi mengatakan bahwa dalam menanggulangi dan pemulihan akibat kebakaran hutan dan lahan, pemerintah harus membebankan juga biaya tersebut kepada seluruh perusahaan pemegang izin konsesi.

Sebelumnya, Kepala Kepolisian Jenderal Badrodin Haiti mengatakan personelnya kerap mengalami kesulitan mengungkap pelaku pembakaran dan memperkarakannya hingga ke meja hijau.

Menurut Zenzi, kesulitan tersebut terjadi karena tak jarang personil kepolisian justru bekerja dengan perusahaan perkebunan. Walhi, kata Zenzi, tidak sedikit menemukan polisi bekerja kepada perusahaan untuk menangkapi warga yang menolak adanya perusakan lingkungan.

Selain itu, penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian sehubungan dengan pembakaran hutan dan lahan banyak yang tidak dilanjutkan prosesnya oleh kejaksaan sehingga tidak bisa sampai ke meja hijau.

Untuk itu, tambah Zenzi, Presiden Joko Widodo harus mengkoordinasikan secara baik kepolisian, kejaksaan dan Kementerian Hukum dan HAMterkait soal penegakan hukum terhadap mereka yang melakukan pembakaran.

Selain itu, menurutnya, kontrol terhadap penegakan hukum itu sendiri juga harus dilakukan oleh Presiden sehingga ada mekanisme evaluasi terhadap para penegak hukum.

"Seharusnya presiden yang mendudukan Kejaksaan, Kapolri dan Menteri Hukum dan HAM bagaimana dikoordinasikan dalam proses hukum dan visinya disamakan," ujarnya.

Setidaknya ada enam provinsi di Sumatera dan Kalimantan yang terkena bencana asap tahun ini. Kepungan asap di lokasi-lokasi tersebut sudah masuk level parah. Sejumlah bandara tutup karena jarak pandang hanya 300 meter.

Data satelit menunjukan bahwa 80 persen wilayah Sumatera diselimuti asap.

Direktur Pengendalian Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rafles Pandjaitan mengatakan, selain ulah pihak yang membakar lahan dan hutan, kebakaran juga diperparah karena adanya El nino dan musim kemarau panjang.

"Makanya sekarang jalan yang paling tepat adalah water bombing. Water bombing harus didukung semua pihak terutama Kementerian Perhubungan, izin terbang yang diajukan oleh BNPB harus segera," ujarnya.

Kepolisian menemukan indikasi kesengajaan dalam kasus kebakaran hutan di beberapa wilayah di Indonesia.