Tanpa kaki dengan ditemani putrinya yang masih balita, Maria Argentina melintasi Sungai Rio Grande untuk menyerahkan diri kepada pihak berwenang AS di Kota Eagle Pass. Kota itu berada di Texas barat daya, berbatasan dengan Kota Piedras Negras di Meksiko.
Sekelompok migran di dekatnya membantu ia melintasi kawat berduri yang dipasang di sana. Petugas patroli perbatasan mengawasi mereka. Pada satu titik, salah satu petugas memotong kawat berduri untuk membantu perempuan difabel asal Honduras itu. Ia sangat kelelahan, tapi lega karena akhirnya sampai ke daratan dengan selamat.
Maria memberi tahu petugas bahwa ia menyeberang bersama putrinya yang masih berusia dua tahun dan adik laki-lakinya. Ia dan banyak migran lain kemudian ditangkap oleh petugas Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan (CBP).
Gilberto Lopez dan Alexander Nava adalah dua di antara banyak migran yang datang dari Venezuela.
“Perjalanan melintasi hutan, melewati negara demi negara sungguh sulit. Meksiko sangat sulit… Kami tiba di sini dengan harapan akan diberi izin masuk,” jelas Gilberto López.
“Kami telah melalui sebulan penuh perampokan, penjambretan, penculikan…,” kata Alexander Nava.
Mereka menggunakan pakaian dan selimut untuk membuka jalan di tengah kawat berduri yang dipasang Garda Nasional Texas, untuk menghalangi mereka masuk ke Amerika. Sementara sisanya menunggu di balik kawat-kawat itu.
Menurut Kepala Patroli Perbatasan Jason Owens, para petugas bekerja secara aktif untuk mengatur gelombang para migran. Biasanya, gelombang berjumlah 1.000 sampai 2.000 migran berusaha menyeberang ke AS, di mana banyak di antaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Your browser doesn’t support HTML5
Para petugas terkadang memotong kawat berduri untuk membantu mereka melintas, sebuah tindakan yang dikritik Gubernur Texas Greg Abbott, yang menyebutnya “membuka pintu bagi imigran gelap.” Namun Owens membela aksi itu.
“Saat para migran bertemu dengan petugas kami, mereka sudah berada di AS. Mereka tidak bisa memanjat tepi sungai dan itu tidak masalah, kecuali mereka mulai menghadapi rintangan. Jika mereka terbawa arus, jika mereka mulai tidak tahan dengan lingkungan sekitar, suhu ekstrem misalnya – dan para petugas melihatnya, mereka tidak akan membiarkan orang lain mati atau berada dalam bahaya,” komentar Jason Owens.
Karena kewalahan dan tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk menangani lonjakan migran yang membutuhkan makanan dan tempat tinggal, pejabat Kota Eagle Pass pun mengumumkan keadaan darurat.
Wali Kota Rolando Salinas telah meminta bantuan pemerintah federal untuk menangani situasi itu. Ia mengklaim, sekitar 12.000 migran tiba di kota berpenduduk 28.000 jiwa itu dalam kurun satu minggu.
Pemerintahan Biden pun mengambil tindakan pekan lalu dengan mengumumkan anggaran lebih dari $12 juta untuk komunitas yang menerima arus migran. Rolando mengatakan, “Saya mengerti orang-orang ini melarikan diri dari kondisi yang sulit di negara asal mereka. Saya tidak menyangkalnya, tetapi harus ada tata tertib. Kita tidak bisa hanya mengatakan, ‘Oh, kami kasihan pada mereka, biarkan semua orang datang,’ karena kalau begitu sistemnya akan runtuh.”
Kondisi di sana sudah sangat memprihatinkan, apalagi masih banyak tantangan ke depan. Peraturan pemerintahan Biden yang diumumkan Mei lalu mewajibkan para migran mengajukan permohonan suaka untuk membuat janji temu dengan pejabat imigrasi secara online, atau membuktikan bahwa mereka mencari perlindungan di negara lain terlebih dahulu sebelum tiba di AS. [rd/jm]