Walikota Mogadishu Kewalahan Hadapi Gelombang Pengungsi

  • Wita Sholhead

Kamp pengungsi Badbaado di ibukota Mogadishu. Ratusan ribu warga Somalia mengungsi ke Mogadishu akibat bencana kelaparan dan konflik di sana.

Diperkirakan lebih dari 300.000 warga Somalia mengungsi ke ibukota Mogadishu dalam beberapa bulan terakhir untuk menghindari kelaparan dan konflik di bagian-bagian lain negeri itu.

Walikota Mogadishu Mohammed Ahmed Noor sibuk. Baru setahun menjabat, Noor menyaksikan gelombang besar pengungsi yang memadati kota yang prasarananya minim.

Noor mengatakan di sana sudah ada ratusan kamp. Salah satu yang terbesar adalah Badbaado, artinya “penyelamatan”.

“Saya rasa di kamp itu ada 4,927 keluarga, kalikan dengan tujuh, karena keluarga Somalia rata-rata terdiri dari tujuh orang. Jadi ada sekitar 35.000 orang di satu kamp. Bagaimana kita bisa bertahan sebulan tanpa bantuan? Kita tidak mungkin bertahan. Menurut saya, kita tinggal menunggu keruntuhan,” ujarnya.

Para pengungsi itu datang dari wilayah Bay dan Bakool, di Somalia selatan, yang dilanda kelaparan.

Banyak yang datang dalam keadaan lapar, lemah, dan sakit setelah menempuh perjalanan jauh. Warga di kamp itu mengatakan hanya mendapat sedikit bantuan, yaitu sedikit makanan yang disediakan oleh masyarakat setempat.

Walikota Mogadishu, Mohammed Ahmed Nur kewalahan menghadapi banyaknya pengungsi.

Walikota Noor mengeluh bahwa pangan yang disediakan badan-badan bantuan teronggok di gudang dan tidak dibagikan ke orang-orang itu. Tetapi, ia enggan membagikannya sendiri.

Ia mengatakan, “Saya tidak bisa melakukannya, karena ada Badan Pangan PBB, misalnya. Kalau saya katakan mari kita lakukan, dan saya menggunakan kewenangan dan memerintahkan agar pangan dikirim kepada orang-orang itu, maka akan ada kecaman dan mereka akan mengatakan saya menjarah. Mereka tidak akan mengatakan saya membagi pangan itu untuk orang-orang tersebut. Mereka akan mengatakan walikota menjarah makanan. Saya tidak mau itu terjadi.”

Catherine Bragg, Asisten Sekretaris Jenderal PBB sekaligus Wakil Koordinator Penyelamatan Daurat, berbicara di Dewan Keamanan hari Rabu dan mengatakan bahwa operasi-operasi kemanusiaan di Mogadishu rumit dan distribusi bantuan bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan dengan cepat.

Terpisah dari krisis pangan, salah satu kesulitan terbesar yang dihadapi Mogadishu adalah pemberontakan oleh kelompok militan Al-Shabab yang terkait al-Qaida.

Kelompok militan itu menguasai sebagian besar wilayah Mogadishu untuk waktu lama, sampai kelompok itu mengumumkan penarikan diri dari kota itu minggu lalu.

Walikota Noor mengatakan kembalinya kota itu merupakan awal berakhirnya al-Shabab.

“Ideologi Shabab sudah mati. Tidak ada yang setuju dengan ideologi itu, karena didasarkan pada penindasan, pertumpahan darah, pengusiran warga, kegelapan, kelaparan dan kemiskinan. Rakyat Somalia menampik ideologi itu. Shabab tidak bisa bertahan hidup lagi di Somalia,” ujar Noor.

Meskipun al-Shabab tidak ada lagi, Mogadishu, kota tanpa layanan dasar, seperti air minum atau badan pemadam kebarakaran, tidak stabil. Walikota Noor, yang biasa dipanggil Tarzan, akan harus menghadapi berbagai tantangan.