Rumiyati warga Desa Lakardowo yang tergabung dalam Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan, harus membeli air galon setiap harinya untuk memenuhi kebutuhan air minum serta memasak karena air sumur atau air sumber yang biasa dipakainya sudah tidak lagi layak dikonsumsi. Ini terjadi setelah berdirinya perusahaan pengolahan limbah Bahan Berbahaya Beracun atau B3, di Desa Lakardowo, Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto, sejak 2010 lalu.
“Kondisi lingkungannya itu ya sudah parah, seperti (sumur) saya ini airnya semakin kuning, semakin hitam, air saya itu. Lalu bahan belanjaan yang dari pasar kalau tidak dicuci kan kuatir kena tangan orang atau yang lain. Nah tapi kalau dicuci, air saya itu seperti itu tambah gimana, jadinya saya masak itu pakai air galon, setiap hari itu beli air galon,” kata Rumiyati.
Tidak hanya kesulitan air bersih yang layak konsumsi, air mandi untuk bayi juga harus menggunakan air galon, karena banyak bayi yang terkena gatal-gatal setelah mandi dengan air sumur mereka.
Heru Siswoyo, warga Desa Lakardowo yang pernah bekerja di perusahaan pengolahan limbah B3 itu menuturkan, pada tahap-tahap awal sejak berdirinya pabrik itu warga masih menggunakan air sumur untuk kebutuhan sehari-hari. Namun sejak tiga tahun terakhir air sumur tidak lagi layak dikonsumsi.
“2010-2012, saya masih kerja disitu alhamdulillah masih bagus (air sumur), tapi mulai 2013 itu sudah mulai kelihatan, mulai dari baunya, warnanya. Saya disitu ganti-ganti bikin sumur, awalnya sih masih bisa, tapi 2013 sudah tidak bisa (air tidak bagus),” jelas Heru Siswoyo.
Heru yang bekerja sejak pertama kali PT. Putra Restu Ibu Abadi (PRIA) berdiri, mengaku mengetahui secara pasti aktivitas yang dilakukan pabrik pengolahan limbah terbesar di Jawa Timur ini.
Sekitar 800 rumah sakit, klinik medis, hingga industri di Jawa Timur mengirimkan limbahnya untuk dikelola oleh PT. PRIA. Heru memastikan pabrik itu menimbun limbah B3 secara serampangan, sehingga seringkali menimbulkan dampak bagi lingkungan dan masyarakat.
“Kayak longsoran dia yang jatuh ke lahan-lahan warga itu, memang dibenahi, memang diambil kembali, dibersihkan, tapi kan banyak sisanya. Besok lagi juga kalau hujan dia longsor lagi, lama-lama yang punya lahan juga kan gak bisa, semua juga rusak tanamannya, lebih-lebih itu air yang meluap dari situ banyak yang ke sawah. Air hitam itu mengalir ke sawah-sawah, juga mengalir ke irigasinya sampai radius satu kilometer,” imbuhnya.
Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, dari riset dan pengamatan di lokasi desa yang berdekatan dengan pabrik, sudah ada indikasi dampak negatif pembuangan limbah B3 terhadap lingkungan.
“Ini sebenarnya masih masalah waktu. Dampak ini akan dirasakan karena otomatis dia menimbun, ada proses hidrologi yang kemudian air itu terkontaminasi oleh timbunan tadi, tinggal menunggu waktu kapan. Tapi indikasi yang kita lihat, seminggu terakhir kita mengidentifikasi pada tiga dusun ini, jenis penyakit, perilaku masyarakat, memang ada gejala-hgejala sakit yang sifatnya iritasi kulit yang sudah diderita oleh masyarakat, yang itu memang disebabkan oleh interaksi mereka dengan kondisi lingkungan yang tercemar, baik itu air, udara maupun tanah,” kata Prigi Arisandi.
Your browser doesn’t support HTML5
Rumiyati berharap pemerintah terlibat dalam menyelesaikan persoalan pencemaran lingkungan di Lakardowo dengan menutup pabrik dan merelokasi limbah B3 dari wilayah desa mereka.
“Harapan saya ya, pemerintah itu segera turun untuk menyelesaikan permasalahan ini, karena permasalahan ini sudah semakin tidak karu-karuan (tidak terkendali), sudah semakin ruwet. Iya melihat langsung, terjun langsung ke sana,” lanjut Rumiyati. [pr/lt]