Bepergian ke Amerika sudah menjadi kegiatan rutin bagi Rahimah Abdulrahim, Direktur Eksekutif Habibie Center, LSM yang bertujuan mengembangkan demokrasi di Indonesia.
Setiap tahun Ima, begitu panggilannya, mengunjungi AS yang dianggapnya sebagai rumah keduanya untuk berbagai urusan pekerjaan terkait Habibie Center dan posisinya sebagai Dewan Penasihat US-Indonesia Society (USINDO), untuk networking, main ke kampus lamanya di Yale University sekaligus mengunjungi sejumlah teman dekatnya di negara ini. Namun tahun ini, meski visa AS selalu ada di tangannya, Ima memutuskan untuk membatalkan kunjungannya yang semula direncanakan April.
Batal ke AS
“Nama saya terdengar Arab dan paspor saya penuh stempel negara Timur Tengah termasuk Arab Saudi dan Yordania,” kata Ima pada VOA.
“Mendengar berbagai cerita menyedihkan terkait travel ban Presiden Trump saya jadi malas dan mempertimbangkan untuk membatalkan kunjungan saya. Apalagi karena saya dengar banyak orang diganggu, diinterogasi dan isi telponnya diperiksa," imbuhnya.
Ima mengaku putusannya bulat setelah mendengar berita tentang putra Muhammad Ali yang ditahan berjam-jam di bandara padahal ia warga negara AS, putra seorang pahlawan dan ikon Amerika.
“Kalau itu bisa terjadi padanya yang warga negara, bagaimana dengan orang seperti saya?,” tutur Ima.
Bagi Ima ini putusan pragmatis sekaligus untuk menunjukkan sikapnya menentang travel ban yang menurutnya tidak mencerminkan Amerika yang ia kenal. Meski banyak berkiprah dalam membangun jembatan antara Indonesia dan AS, Ima realistis bahwa, “Petugas imigrasi di bandara mungkin tak kenal apa itu USINDO, dia tak akan peduli saya pernah magang di Kongres AS selama setahun, tak peduli saya pernah jadi Yale World Fellow.” Jadi baginya lebih baik tidak berangkat.
"Welcome Home"
Tidak semua orang menangguhkan perjalanan ke AS. Rosa Rai Djalal, istri mantan Duta Besar RI untuk AS Dino Patti Djalal, Maret lalu berada di Washington, DC untuk mempersiapkan sejumlah proyek pribadi termasuk bertemu LSM, akademisi dan teman-teman lamanya para istri anggota Kongres AS.
Rosa bersyukur pengalamannya di imigrasi bandara Dulles berlangsung cepat dan mulus meski ia datang dengan visa pengunjung biasa dan menggunakan maskapai penerbangan Qatar. Bahkan, ia disambut dengan senyum dan ucapan “welcome home” oleh petugas. Namun Rosa mencatat antrian imigrasi bagi warga asing yang biasanya panjang mengular kali ini sangat sepi. Sambutan ramah juga dialaminya menjelang pilpres AS November lalu di bandara Los Angeles.
Penurunan Wisatawan AS
Data terbaru dari ForwardKeys, perusahaan yang memonitor tren turisme global menunjukkan penurunan wisatawan yang masuk ke Amerika sebanyak 6,5 persen secara internasional, dengan penurunan signifikan dari daerah Timur Tengah (menurun 37,5 persen) dan Asia Pasifik (penurunan 14,01 persen) jika dibandingkan dengan tahun lalu. Sedikitnya 80 persen Muslim dunia tinggal di kedua wilayah ini.
Sementara menurut Global Business Travel Association (GBTA), perwakilan industri perjalanan bisnis, industri penerbangan kehilangan $ 185 juta dalam pemesanan perjalanan bisnis dalam seminggu setelah larangan perjalanan pertama dikeluarkan pada bulan Januari. Setelah travel ban kedua dikeluarkan awal Maret, GBTA mengadakan survei terhadap anggotanya di AS dan Eropa mengenai dampak inpres ini. Hasilnya, 37 persen pekerja industri wisata bisnis AS memproyeksi adanya penurunan dalam sektor ini, sementara bagi pekerja industri wisata bisnis Eropa, 47 persen. 17 persen pekerja industri wisata bisnis Eropa menyatakan telah membatalkan rencana kunjungan perusahaan mereka ke AS akibat travel ban ini. Menurut Direktur Eksekutif GBTA Michael McCormick, "Hasil jajak pendapat ini menunjukkan bahwa persepsi Amerika Serikat merupakan tujuan ramah untuk perjalanan bisnis telah berubah."
Larangan Pendatang Trump
Antara Januari hingga Maret 2017, Presiden Trump dua kali mengeluarkan travel ban dalam bentuk executive order, setara dengan instruksi presiden, yang melarang sementara masuknya pendatang dan pengungsi dari tujuh negara mayoritas Muslim. Ketujuh negara tersebut adalah Iran, Irak, Libya, Suriah, Somalia, Sudan dan Yaman. Dalam travel ban versi kedua berkat lobi dari sejumlah pejabat Departemen Pertahanan AS, Irak dihapus dari daftar karena pemerintahnya dianggap turut berperan memerangi terorisme. Menurut inpres ini, proses pemberian visa pendatang dan penerimaan pengungsi berperan penting dalam mendeteksi dan mencegah pelaku teror masuk AS. Pemerintah menilai proses tersebut perlu diperbaiki di negara yang masuk daftar, sehingga ditangguhkan selama 90 hari.
Namun keputusan yang dikeluarkan tiba-tiba ini menuai kebingungan di bandara dan disambut unjuk rasa penolakan oleh masyarakat AS yang menilai kebijakan ini diskriminatif terhadap Muslim. Travel ban dijegal oleh tuntutan hukum di pengadilan sejumlah negara bagian, yang menuduh kebijakan yang dikenakan kepada negara mayoritas Muslim ini melanggar konstitusi AS yang menjamin kebebasan beragama dan kesetaraan hak semua umat. Putusan pengadilan ini juga mempertimbangkan retorika anti-Muslim Presiden Trump selama kampanye pilpres, termasuk seruannya melarang Muslim masuk AS yang kemudian berubah menjadi proposal "pemeriksaan ekstrim" terhadap orang-orang dari negara-negara yang memiliki kaitan dengan terorisme.
Pemerintahan Trump bersikeras bahwa travel ban ini bukan tentang agama melainkan ditujukan untuk menjamin keselamatan rakyat AS. Awal Februari lalu Presiden Trump menegaskan inpres ini dilakukan demi “keamanan bangsa kita, keamanan warga negara kita agar orang yang ingin berbuat jahat pada kita tak ke sini.” Presiden Trump bersumpah akan “melawan putusan pengadilan yang buruk ini” dan mengalahkannya di Mahkamah Agung. Namun hingga kini masih diproses di pengadilan.
"America First" atau "America Alone"?
Sementara proses pengadilan berlangsung, travel ban ini masih ditangguhkan pelaksanaannya dan warga keenam negara tersebut masih boleh datang ke AS sepanjang memiliki visa. Meski demikian dampak psikologisnya telah dirasakan banyak pihak, termasuk Rosa dan Ima. Sebagai Istri Duta Besar yang menganggap Washington, DC sebagai rumahnya selama 2010 - 2013, Rosa menyesalkan retorika negatif yang menurutnya tidak mencerminkan Amerika yang ia kenal. Ia menyatakan harus banyak menjelaskan kepada ketiga anaknya yang meski baru berusia antara 9 hingga 11 tahun mempertanyakan apakah mereka sebagai Muslim masih bisa berkunjung ke AS. Menurutnya banyak teman-temannya di Indonesia yang menjadi khawatir dan ragu mengirimkan anak-anak kuliah ke AS dan akhirnya memilih Inggris atau Australia. Namun masih ada yang disyukurinya, yaitu pertemanannya dengan warga Amerika yang tidak berubah, bahkan dengan para istri anggota Kongres Partai Republik sekalipun yang menurutnya selalu mendukung berbagai kegiatannya sejak menjadi ketua Muslim Women’s Association hingga sekarang.
Sementara Ima untuk sekarang ini akan tetap menangguhkan kunjungan meski rekannya di kedutaan besar AS berusaha meyakinkannya bahwa "it’s not that bad." Apalagi kini dengan adanya larangan bagi penumpang yang berasal atau transit dari bandara sejumlah negara Timur Tengah dan Afrika untuk membawa alat elektronik kecuali ponsel di kabin pesawat, bertambah lagi alasan bagi Ima untuk tidak ke AS. Ia memahami berbagai langkah ini memang sesuai dengan janji kampanye Trump untuk selalu mengedepankan Amerika. Namun ia memperingatkan agar jangan sampai “America First” menjadi “America Alone”.