Warga Muslim di Tripoli Rasakan Kebebasan Pasca Rezim Gaddafi

  • Elizabeth Arrot

Para perempuan muslim ikut menjadi sukarelawan membagi-bagikan air bersih yang menjadi barang langka di ibukota Tripoli (29/8).

Warga muslim selama puluhan tahun telah dipaksa mengikuti pemimpin yang merayakan kebesarannya sendiri lebih dari membesarkan nama Allah.

Pasukan pemberontak Libya masih terus mencari keberadaan Moammar Gaddafi, tetapi banyak warga Libya menggunakan waktu mereka untuk merayakan akhir bulan Ramadan atau Idul Fitri tanpa pemimpin sekuler lama mereka.

Pasca Gaddafi, Islam di Libya mengalami kebangkitan kembali. Persoalannya sekarang adalah seberapa besar pengaruhnya terhadap pemerintah yang akan datang.

Adzan berkumandang di Tripoli kota di mana banyak masjid yang sampai belum lama ini dikuasai penuh oleh Moammar Gaddafi. Ini adalah saat-saat penting bagi para warga yang taat beragama di Libya, yang selama puluhan tahun telah mengikuti pemimpin yang merayakan kebesarannya sendiri lebih dari membesarkan nama Allah.

Di Masjid Mawlai Mohammad, salah satu masjid terbesar di Tripoli, Abdallah Ahmed Bilal bangga dengan apa yang telah dicapai oleh para jemaah.
"Masjid ini mempunyai peran sangat penting pada masa (penjatuhan rezim Gaddafi). Masjid ini ikut mengatur rakyat revolusioner untuk melawan Gaddafi dengan cara apapun. Dan Gaddafi juga menyerang dan membom masjid ini," ujar Bilal.

Masjid tersebut selamat dari serangan pasukan Gaddafi dan pada umumnya tidak rusak. Seorang laki-laki yang tidak bisa menahan marah mengatakan, “Ini Masjid Tuhan”. Ia menjelaskan bahwa sewaktu mereka memuja Tuhan dengan mengumandangkan Allahu Akbar melalui pengeras suara, pasukan Gaddafi menyerang. Dia juga menyebut Gaddafi sebagai diktator.

Para permulaan pergolakan, Moammar Gaddafi menyebut pemberontak sebagai teroris Islam. Tetapi ketika arus pertempuran berbalik, Gaddafi dan kalangan terdekatnya mulai menghubungi para pemimpin Islam (untuk meminta dukungan).

Setelah kedudukan pasukan pro-Gaddafi semakin terpojok, putera Gaddafi, Seif al Islam, tidak lagi mengenakan setelan jas dan mencukur janggut, namun berjenggot dan kemana-mana membawa tasbih. Katanya, ia menghendaki Libya yang dipimpin golongan agama seperti Iran atau Arab Saudi.

Para perempuan muslim Libya yang ikut membantu perjuangan pemberontak, merayakan kebebasan setelah jatuhnya kekuasaan rezim Gaddafi di ibukota Tripoli (29/8).

Banyak warga muslim Libya menganggap apa yang dilakukan Seif al-Islam sebagai sikap yang tidak tau malu terhadap warga negara yang kebanyakan penduduknya Muslim itu. Ini karena sebagian besar warga Libya tahu bahwa kemenangan pemberontak adalah kemenangan Islam.

Seorang ulama muslim di Tripoli mengatakan, dia ingin melihat Islam dipraktekkan di mana-mana, di sekolah-sekolah, di perusahaan-perusahaan, dan di pengadilan. Islam, katanya, akan menjadi hukum di Libya.

Kalau keinginannya terwujud, -- melihat banyaknya pemberontak dan rakyat Libya yang menyebut nama Tuhan-- bentuk kekuasaan Islam yang bagaimana yang akan berlaku belum jelas.

Pada masa lalu, sebagian pemberontak memuji Osama bin Laden dan menyebutnya sebagai sosok yang bagus sekali. Tetapi seorang pemimpin al Qaida yang terbunuh belakangan ini, adalah warga Libya.

Dewan Transisi Nasional yang beroposisi sekarang kebanjiran permintaan mendesak, termasuk bagaimana mengatasi kekurangan air yang gawat di Tripoli.

Di Masjid itu , mereka membuat satu langkah kemajuan, dengan menghemat air untuk berwudhu sebelum sholat. Namun, bagaimana agama dilaksanakan di Libya akan ditentukan kemudian.