Jurnal di Inggris melaporkan bahwa warga Palestina di West Bank dan Gaza menghadapi krisis kesehatan, menderita penyakit akut dan kronis.
Pengungsi Palestina dan mereka yang tinggal di West Bank dan Gaza sedang menghadapi masalah kesehatan yang darurat, menurut jurnal kesehatan Inggris, The Lancet.
The Lancet telah menerbitkan 32 laporan yang menyoroti serangkaian masalah kesehatan dari pengungsi Palestina yang tinggal di Timur Tengah dan wilayah Palestina.
Jurnal tersebut mengatakan bahwa pengungsi Palestina menghadapi “krisis tersembunyi” tingkat tinggi karena penyakit akut dan kronis.
Para peneliti dari American University of Beirut menyurvei warga Palestina yang tinggal di kamp pengungsi dan berapa daerah di Libanon. Mereka menemukan bahwa 31 persen dari lebih dari 300 orang yang diwawancara menderita penyakit kronis. Hampir setengah dari responden tinggal di tempat beratap bocor, suatu kondisi yang dapat mengancam kesehatan.
Studi lain dari universitas yang sama menemukan bahwa warga Palestina yang mengungsi di Libanon menghadapi kekurangan makanan. Sebuah survei terhadap 2.500 rumah tangga menunjukkan bahwa 63 persen mengalami masalah keamanan pangan dan 13 persen sangat membutuhkan makanan yang bergizi.
Wakil Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk West Bank dan Jalur Gaza Strip, Tony Laurance, yang risetnya diterbitkan The Lancet, mengatakan bahwa banyak orang Palestina yang menderita penyakit tingkat lanjut, termasuk kanker. Ia mengatakan bahwa mereka kesulitasn mendapatkan pengobatan karena tidak mendapat ijin menyeberangi Israel.
“Dilihat dari sejarahnya, rumah-rumah sakit spesialis merupakan rumah-rumah sakit amal yang melayani penduduk Palestina selama satu abad atau lebih, yang berbasis di Yerusalem Timur. Yerusalem dicaplok Israel pada perang 1967. Jadi untuk pergi ke sana dari West Bank mereka harus menyeberangi pembatas,” ujar Laurance.
Menurut riset Laurance, 19 persen pasien di West Bank yang meminta ijin pemerintah Israel untuk alasan kesehatan mendapatkan permintaannya ditolak atau ditunda. Ia mengatakan bahwa pihak berwenang di Israel telah berupaya meningkatkan akses, namun upaya tersebut tidak pernah bergerak maju.
“Saya kira pihak berwenang di Israel telah berupaya untuk menjamin sebanyak mungkin orang mendapatkan ijinnya tepat waktu, namun masih ada 10 persen pasien yang tidak mendapatkannya. Dan 10 persen tersebut adalah sekitar 1.000 pasien per tahun, dan itu mengkhawatirkan. Statistik memang tidak terlalu bercerita atau memperlihatkan sisi emosional. Tapi jika Anda berada di pihak pasien atau keluarganya, saya kira Anda akan menyadari apa maknanya terhadap manusia yang terkait,” ujar Laurance.
Seorang juru bicara Kementerian Kesehatan Israel menolak memberi komentar pada VOA mengenai temuan dari laporan-laporan dari The Lancet tersebut. The Lancet setiap tahun menyoroti penderitaan warga Palestina.
Pada 2009, jurnal tersebut menggambarkan sistem layanan kesehatan di wilayah-wilayah Palestina sebagai “terpecah-pecah dan kacau.” Seorang juru bicara pemerintah Israel menyebut laporan tersebut sebagai propaganda sepihak.
The Lancet telah menerbitkan 32 laporan yang menyoroti serangkaian masalah kesehatan dari pengungsi Palestina yang tinggal di Timur Tengah dan wilayah Palestina.
Jurnal tersebut mengatakan bahwa pengungsi Palestina menghadapi “krisis tersembunyi” tingkat tinggi karena penyakit akut dan kronis.
Para peneliti dari American University of Beirut menyurvei warga Palestina yang tinggal di kamp pengungsi dan berapa daerah di Libanon. Mereka menemukan bahwa 31 persen dari lebih dari 300 orang yang diwawancara menderita penyakit kronis. Hampir setengah dari responden tinggal di tempat beratap bocor, suatu kondisi yang dapat mengancam kesehatan.
Studi lain dari universitas yang sama menemukan bahwa warga Palestina yang mengungsi di Libanon menghadapi kekurangan makanan. Sebuah survei terhadap 2.500 rumah tangga menunjukkan bahwa 63 persen mengalami masalah keamanan pangan dan 13 persen sangat membutuhkan makanan yang bergizi.
Wakil Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk West Bank dan Jalur Gaza Strip, Tony Laurance, yang risetnya diterbitkan The Lancet, mengatakan bahwa banyak orang Palestina yang menderita penyakit tingkat lanjut, termasuk kanker. Ia mengatakan bahwa mereka kesulitasn mendapatkan pengobatan karena tidak mendapat ijin menyeberangi Israel.
“Dilihat dari sejarahnya, rumah-rumah sakit spesialis merupakan rumah-rumah sakit amal yang melayani penduduk Palestina selama satu abad atau lebih, yang berbasis di Yerusalem Timur. Yerusalem dicaplok Israel pada perang 1967. Jadi untuk pergi ke sana dari West Bank mereka harus menyeberangi pembatas,” ujar Laurance.
Menurut riset Laurance, 19 persen pasien di West Bank yang meminta ijin pemerintah Israel untuk alasan kesehatan mendapatkan permintaannya ditolak atau ditunda. Ia mengatakan bahwa pihak berwenang di Israel telah berupaya meningkatkan akses, namun upaya tersebut tidak pernah bergerak maju.
“Saya kira pihak berwenang di Israel telah berupaya untuk menjamin sebanyak mungkin orang mendapatkan ijinnya tepat waktu, namun masih ada 10 persen pasien yang tidak mendapatkannya. Dan 10 persen tersebut adalah sekitar 1.000 pasien per tahun, dan itu mengkhawatirkan. Statistik memang tidak terlalu bercerita atau memperlihatkan sisi emosional. Tapi jika Anda berada di pihak pasien atau keluarganya, saya kira Anda akan menyadari apa maknanya terhadap manusia yang terkait,” ujar Laurance.
Seorang juru bicara Kementerian Kesehatan Israel menolak memberi komentar pada VOA mengenai temuan dari laporan-laporan dari The Lancet tersebut. The Lancet setiap tahun menyoroti penderitaan warga Palestina.
Pada 2009, jurnal tersebut menggambarkan sistem layanan kesehatan di wilayah-wilayah Palestina sebagai “terpecah-pecah dan kacau.” Seorang juru bicara pemerintah Israel menyebut laporan tersebut sebagai propaganda sepihak.