Bulan lalu, Presiden AS Joe Biden meminta para pemimpin baru Israel untuk mengambil langkah-langkah membangun kepercayaan untuk meningkatkan kehidupan warga Palestina. Imbauan ini mendorong para pejabat Israel untuk mengumumkan paket yang mencakup pinjaman 120 juta dolar dan 16.000 izin kerja Israel untuk warga Palestina.
Ramallah seharusnya menjadi ibu kota keuangan negara baru Palestina. Tapi 25 tahun setelah perjanjian damai Oslo antara Palestina dan Israel, janji untuk sebuah negara merdeka terombang-ambing seperti bendera yang berkibar di atas pusat bisnis Ramallah.
Dalam upaya untuk mendukung ekonomi Palestina tanpa melakukan perundingan politik, Israel baru-baru ini mengumumkan apa yang disebutnya isyarat niat baik, termasuk perluasan zona penangkapan ikan di Gaza, mengizinkan masuknya bahan bangunan untuk rekonstruksi ke jalur Gaza, dan meminjamkan $120 juta kepada Otoritas Palestina.
Banyak ekonom dan pebisnis Palestina yakin langkah ekonomi Israel ini tidak cukup. Raja Khalidi dari Institut Penelitian Ekonomi Palestina termasuk di antara yang meragukan niat Israel itu.
“Ini bukan bantuan. Langkah itu mungkin disebut sebagai langkah guna membangun kepercayaan, tetapi ini adalah pemulihan hak Israel kepada rakyat Gaza. Sejauh pandangan Tepi Barat dan keseluruhan masalah mengenai langkah-langkah membangun kepercayaan (CBM) - kata "CBM" (Confidence Building Measures) punya sejarah kelam dalam perundingan ekonomi Palestina dengan Israel selama 25 tahun. Kita sudah banyak menyaksikannya datang dan pergi,” jelasnmya.
Banyak program ekonomi Israel diumumkan setelah pertemuan baru-baru ini antara Menteri Pertahanan Israel Benny Gantz dan pemimpin Otoritas Palestina Mahmoud Abbas. Pertemuan kedua pemimpin ini merupakan pertemuan tingkat tinggi pertama dalam sepuluh tahun.
Your browser doesn’t support HTML5
Naser Abdelkarim adalah profesor Ekonomi di Universitas Arab Amerika di Tepi Barat.
“Pentingnya pertemuan Gantz dengan Abbas hanya terkait ekonomi. Pertemuan itu akan menyebabkan dampak, dampak ekonomi. Tapi tidak langgeng, tidak berkelanjutan. Karena langkah-langkah ini, tanpa mengandalkan apa yang kita sebut penyelesaian politik, penyelesaian politik yang adil, tidak akan bertahan lama. Karena sebentar lagi kita mungkin akan kembali dari awal atau bahkan nol dan kembali bentrok dengan Israel dan berselisih,” imbuhnya.
Prediksinya mengenai bentrokan kembali, menjadi kenyataan selama akhir pekan ketika Hamas menembakkan roket ke Israel selatan dan Israel menanggapi dengan serangan udara. Sebagian analis Israel setuju langkah-langkah ekonomi ini tidak mencerminkan solusi jangka panjang.
Amotz Asa'el dari Institut Hartman di Yerusalem mengatakan, “Saya kira sikap-sikap ini akan menciptakan atmosfir yang berbeda. Dengan kata lain, ini bukan revolusi. Ini bukan terobosan bersejarah yang terkadang dianggap bisa dilakukan, jika saja salah satu pihak melakukan ini atau itu. Tapi tidak demikian halnya di sini, tidak ada kepura-puraan seperti itu pada kedua pihak dalam dinamika ini. Namun, dalam hal atmosfer, sikap-sikap ini akan berarti."
Seperti Palestina, Israel memperingatkan akan adanya harapan yang berlebihan.
Dalam pertemuannya baru-baru ini dengan Presiden Biden, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett menjelaskan bahwa pemerintahannya, yang mencakup partai-partai politik dari seluruh kalangan, tidak akan menyetujui konsesi-konsesi politik besar kepada Palestina, tetapi hanya langkah-langkah ekonomi semacam ini. [my/lt]