Warga Rembang dan Pati Tolak Pendirian Pabrik Semen di Jawa Tengah

  • Nurhadi Sucahyo

Warga Rembang dan Pati berunjuk rasa menentang rencana pendirian pabrik semen di Jawa Tengah (Foto: VOA/Ming Ming Lukiarti-JMPPK Rembang)

Masyarakat Kabupaten Rembang dan Pati, Jawa Tengah, menentang rencana dua perusahaan semen terkait pendirian pabrik di kawasan itu.

Sudah hampir seratus hari, warga sejumlah desa di kaki Gunung Watuputih, Kabupaten Rembang Jawa Tengah bergantian tinggal di tenda, di lahan yang rencananya akan dijadikan bagian dari proyek pabrik semen. Pabrik ini akan didirikan oleh PT Semen Indonesia, produsen semen raksasa yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sebagai bahan baku, menurut rencana PT Semen Indonesia akan menambang batu karst di Pegunungan Kendeng. Pegunungan yang membentang di wilayah utara Jawa Tengah dan Jawa Timur ini diyakini menjadi pemasok kebutuhan air bagi kawasan pertanian di sekitarnya. Karena itulah, menurut koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Ming Ming Lukiarti, warga menolak langkah apapun terkait pendirian pabrik semen karena diyakini akan merusak sumber daya air dan mematikan sektor pertanian.

"Cekungan air tanah Watuputih itu adalah kawasan lindung geologi, dan itu yang akan ditambang. Karena itulah kami kemudian protes, sampai ibu-ibu itu sekarang masih di tenda hampir seratus hari. Gunung itu merupakan penyimpan dan sumber mata air untuk masyarakat bukan hanya untuk yang ada di sekitarnya, tetapi juga untuk warga Rembang Kota," kata Ming Ming Lukiarti.

Konflik seratus hari terakhir ini terjadi karena PT Semen Indonesia telah mulai mendirikan bangunan pabrik pada pertengahan Juni lalu. Perjalanan panjang penolakan terjadi sejak sekitar tahun 2010, ketika sosialisasi mulai dilakuan.

Penolakan juga terjadi di wilayah kaki Pegunungan Kendeng yang lain, yaitu Kabupaten Pati, dimana PT Indocement sejak tiga tahun lalu telah memulai studi pendirian pabrik semen.

Bambang Sutikno dari JMPPK Pati kepada VOA mengatakan, mereka merasa ditipu oleh berbagai pendekatan yang ujung-ujungnya selalu meminta persetujuan warga atas pendirian pabrik semen di kawasan itu.

"Sementara ini baru sosialisasi untuk tahapan proses Amdal. Dan selama ini memang dalam sosialisasi dari pabrik semen, banyak dari kami yang dibohongi. Saya sendiri 3 kali diundang untuk sosialisasi tapi semua bohong. Misalnya, kami diundang di Bakorwil Jawa Tengah, yang mengundang Badan Lingkungan Hidup, di situ temanya Kenduri Lingkungan, tetapi ternyata di dalamnya yang dirembug di forum itu, tentang rencana pendirian pabrik semen," jelas Bambang Sutikno.

Kepala Operasional Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, Zaenal Arifin kepada VOA menegaskan, penolakan warga khususnya petani terhadap rencana pendirian pabrik semen, tidak bersifat emosional tetapi berdasar kajian ilmiah. Apalagi, pihaknya terus melakukan pendidikan kepada masyarakat, akan pentingnya pelestarian lingkungan untuk menjamin keberlangsungan sektor pertanian yang menjadi tumpuan mayoritas masyarakat kawasan ini.

"Sekarang ini masyarakat juga mulai mengetahui, bagaimana pentingnya karst. Karst itu apa. Cekungan Watuputih itu apa dan kemudian jika ditambang akan berdampak seperti apa. Kemudian ada berapa gua yang ada disana. Apakah sama datanya dengan yang ada di Amdal. Dan masyarakat menjadi subyek dari proses pendampingan ini," kata Zaenal Arifin.

Didampingi LBH Semarang, warga Rembang saat ini sedang menggugat surat keputusan Gubernur Jawa Tengah ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkait izin lingkungan yang sudah dikeluarkan untuk pabrik semen milik PT Semen Indonesia. Permintaan wawancara oleh VOA, kepada Agung Wiharto selaku Sekretaris Perusahaan PT Semen Indonesia untuk melakukan konfirmasi, tidak memperoleh tanggapan hingga berita ini disusun.